Begitulah sepertinya sebagian masyarakat kita sudah terkena penyakit "Gendeng permanen" yang oposisi terus menyerang tidak peduli apapun pada kesuksesan penguasa, yang penting bisa mencari titik lemah, dan ngublak-ublak kekurangan kemudian diviralkan hingga membuat para barisan sakit hati kompak, seragam misuh-misuh dengan bahasa vulgar yang tidak menunjukkan adab ketimuran sama sekali.
Kembali ke bahasan tentang Puan dan Ganjar. Puan Maharani Anak Megawati Soekarno Putri dan Taufik Kiemas sudah terjun cukup lama mengikuti jejak ibunya menjadi aktivis politik. Masuk organisasi politik Partai Demokrasi Indonesia perjuangan.Â
Belajar dari Megawati yang anak biologis sekaligus ideologis Soekarno. Banyak diam namun sekali bicara mirip dengan Soekarno yang menggebu-gebu jika bicara tentang demokrasi dan masalah rakyat.
Puan belajar dari tangguhnya partai menghadapi tekanan demi tekanan, hujatan demi hujatan partai lain dan pengamat politik dan pemerintahan. Sosok seperti Megawati Puan dan Megawati sudah kenyang dengan semburan hinaan dan cacian dari lawan politiknya, apalagi netizen julid era digital ini.Â
Ribuan bahkan jutaan kata nyinyir pasti sering sampai ke telinga mereka. Apapun hal jelek dari lawan politik dan para buzzer tentang mereka tidak menggoyahkan prinsip politiknya.
Serangan dari lawan politik yang menginginkan Indonesia diarahkan menjadi negara berdasarkan agama tidak surut. Maka ketika demokrasi bisa merangkul banyak agama dan berusaha mendengungkan tentang pentingnya toleransi, ada banyak serangan muncul dari para politisi yang menjalankan strategi politik berdasarkan kebenaran-kebenaran agama.Â
Dan tampaknya agama mayoritas saat ini tengah bergolak dengan munculnya akidah dan tafsir beda padahal mereka berasal dari agama yang sama. Betapa rumitnya menyatukan partai politik dalam satu kandang bersama untuk menegakkan suara- suara satu dalam mayoritas agama.Â
Malah pergolakan, percekcokan dan saling serang antar umat memperuncing situasi dan membuat terjadinya pembelahan. Yang mengaku nasionalis dan yang menginginkan negara agamis.
Agama menjadi pemantik dari pertikaian, membelah dalam sel-sel dan menjadi ormas yang berdiri berdasarkan mashab yang berbeda. Tidak tersedia ruang dialog, yang ada adalah saling mengklaim yang terbenar. Tidak ada yang mau mengalah sebab mereka menanggap diri merekalah yang terbenar yang lain ke laut saja.
Maka muncul partai nasionalis, yang berdiri bukan berdasarkan agama, namun merangkul semua agama termasuk minoritas untuk membangun negeri. Karena Indonesia beragam dan multi ras dan kepercayaan tampaknya cita- cita membangun negara berdasarkan agama utopis.Â
Kalau sampai terjadi sebuah negeri yang terbentuk dan bersatu karena keragaman dan perbedaan yang disatukan secara ideologis dalam negara kesatuan Pancasila dan akan diarahkan ke negara berbentuk berbasis agama akan seperti apakah bentuk negeri ini?