Gelaran moto GP Mandalika telah selesai, meskipun sempat terkendala hujan deras dan petir, akhirnya Moto GP sukses dilaksanakan. Dunia mendapat suguhan munculnya video unik tentang aksi pawang hujan Rara Isti Wulandari yang membawa semacam mangkuk warna kuning keemasan (kuningan), memukul-mukul mangkuk itu sambil keliling lintasan  di dekat pitline, peserta balap. Tentu saja tayangan itu menarik, saya melihatnya live di Trans 7, di pandu oleh reporter Lusi Wiryono dan Angie Ang, serta Joni Lono.
Aksi Pawang Hujan Memalukan atau Mengagumkan?
Aksi pawang menuai pro dan kontra, ada yang menganggap aksi itu memalukan bangsa Indonesia, ada yang terkesima. Berbagai komentar bermunculan, namun untungnya setelah beberapa saat aksi itu hujan mereda dan gelaran moto GP dan berlanjut meskipun harus ditunda sampa sekitar jam 16.WITA, atau sekitar jam 3 WIB.
Dunia seperti mendapat hiburan sekaligus mengagumi keunikan gelaran balapan motor terbesar sejagat itu. Indonesia itu unik, sampai mendatangkan pawang dan kebetulan hujan reda dan balapan bisa dilanjutkan meskipun masih ada rintik gerimis dan lintasannya masih banyak yang basah.
Apa yang ada dalam pikiran masyarakat, anda, kalian yang membaca artikel saya. Apakah ikut mengutuk munculnya pawang, atau baru tahu dibalik kisah-kisah yang sering muncul pada gelaran event besar tanah air ada jasa pawang yang sering luput dari pemberitaan media.
Bagi yang menganggap musyrik, pasti punya alasan mengapa dengan sudut pandang masing-masing mereka mempunyai pendapat yang menganggap bahwa apa yang dilakukan pawang itu tidak sejalan dengan ajaran agama. Ritual menghalau hujan, memindahkan hujan atau ekstremnya menolak hujan itu seperti tidak bersyukur atas anugerah Tuhan yang sudah menurunkan hujan.
Banyak komentar yang berasal dari netizen yang nyinyir dengan profesi pawang hujan. Diibaratkan pawang hujan sama saja dukun, yang percaya klenik dan dianggap menyembah berhala. Apakah opini yang menganggap  pawang hujan itu tindakan musyrik dikatakan benar? Menurut saya sebagai penulis opini di Kompasiana, secara pribadi sebetulnya saya dilahirkan dari keluarga yang jarang bersentuhan dengan klenik dan perdukunan.Â
Tidak percaya dan menganggap bahwa klenik itu sesat juga tidak mengiyakan. Saya menghormati kepercayaan dan adat istiadat tanah air. Beribu suku bangsa hidup berdampingan, mereka mempunyai akar tradisi berbeda, mempunyai cara masing-masing dalam menyembah Sang Maha pencipta. Ada yang dalam setiap doa selalu mempersembahkan bunga, persembahan berupa sesaji, makanan terbaik, korban terbaik untuk menghormati dan membalas kebaikan dan kemurahan Sang Pencipta.
Cara mereka berbeda, tetapi intinya adalah percaya pada kekuasaan Sang Maha Tunggal. Nama boleh berbeda, tradisi dan tata cara berdoa boleh berbeda tetapi inti dari semuanya adalah ketaatan, iman dan kepercayaan pada kuasa Ilahi. Dulu waktu kecil saya menikmati sekali adanya tradisi ketika tetangga mengadakan wiwitan atau sesaji sebelum menanam sawah. Kenduri untuk mendoakan dan mengharap perlindungan pada alam dan roh yang menjaga lingkungan.
Apakah yang nyinyir akan keberadaan pawang hujan tahu apa yang didoakan oleh "dukun" yang segala tingkah lakunya saat berusaha meredakan hujan akhirnya tersorot dunia, banyak media menulis tentangnya dan mengaitkan dengan Indonesia yang sangat unik berbeda dengan yang lain. Bisa jadi inti dari doa pawang itu sama, setiap doa yang tulus siapapun yang meminta pasti didengar, tidak perlu melihat apa agamanya, kedudukannya apa, dibayar atau tidak.
Hebohnya Media Sosial Melihat Aksi Pawang Hujan
Melihat fenomena pawang itu, Indonesia tampak heboh di jagat sosial media, mengharu biru dan penuh dengan polemik. Mereka pegiat media sosial punya jari dan pikiran yang ditumpahkan dan memberi pendapat dengan sudut pandang beda, banyak yang nyinyir dan sinis, tetapi banyak juga yang memuji dan malah bangga karena secara keseluruhan menyelenggaraan balapan Moto GP di Mandalika berjalan sukses, meskipun sempat hujan deras cukup lama.
Dengan banyaknya komentar di media sosial itu kadang muncul polemik, terkait tradisi, budaya dan perilaku masyarakat. Banyak pemuka agama lantas mempunyai dalil sendiri dan berusaha mempengaruhi dan mencuci pikiran para pengikutnya. Ada yang bijak, tidak sedikit yang emosional hingga membuat berbagai komentar yang menyudutkan dan menganggap budaya, tradisi itu haram, yang utama itu agama yang terutama itu menyembah Tuhan Allah.
Sambil mengecam dan nyinyir terhadap tradisi dan kepercayaan masyarakat yang sudah tumbuh turun temurun di Indonesia. Banyak ulama dengan pendidikan "luar"berusaha memberi doktrin bahwa tradisi Indonesia perlu diluruskan, kalau perlu dilenyapkan agar fokus pada agama"yang benar". Tidak perlu kearifan lokal, toh mereka menganggap kepercayaan merekalah yang terbenar.
Wayang, Akar Tradisi dan Harmoni dengan Alam Semesta
Seperti wayang yang merupakan sarana dakwah dari pemuka agama zaman dahulu pun berusaha dilenyapkan dengan diberi narasi bahwa wayang itu haram. Padahal wayang merupakan salah satu produk budaya yang membuat Indonesia terkenal dan dikagumi dunia. Wayang merupakan salah satu warisan budaya non bendawi yang mendapat apresiasi luar biasa dunia.
Di zaman ini fenomena orang yang merasa "pintar" menganggap yang lain bodoh dan salah terus berkembang. Banyak doktrin radikal yang merusak kearifan lokal. Bagaimanapun tradisi itu mempunyai nilai positif. Salah satu hal positif dari tradisi antara lain bagaimana manusia harmoni dengan alam semesta.
Ketika manusia mampu menghargai ciptaan Tuhan apapun, termasuk benda-benda seperti batu, candi, pohon-pohon besar, menyayangi alam semesta dengan menganggap sebagai milik bersama yang harus dijaga dan dilindungi, bukankah sebetulnya sudah menerapkan ajaran cinta kasih dalam agama.
Kalau meliha dan merasakan inti ajaran agama, tidak ada agama yang mengajarkan membunuh dan meneror. Tidak ada agama yang mengajarkan untuk membenci dan nyinyir terhadap sesama atau mereka yang kebetulan berbeda kepercayaan. Iman itu adalah hak pribadi manusia, manusia berhak memilih apa yang nyaman menurut mereka.
Pikiran mereka yang radikal dan menganggap bahwa keimanan harus diseragamkan tidak sadar bahwa Tuhan menciptakan manusia dalam keberbedaan. Yang berbeda itu diharapkan manusia saling melengkapi, saling menyempurnakan.
Orang-orang dulu yang selalu melakukan kegiatan bersama-sama dengan alam sadar betul bawa tanpa mereka sadari tradisi telah menyelamatkan mereka dari misalnya eksploitasi hutan, dengan tradisi secara tidak langsung telah melestarikan budaya turun temurun yang memberi warisan pemikiran bijaksana dalam menyikapi bencana dan pagebluk (penyakit).
Dalam pengajaran kebajikan Semar,Petruk, Gareng, Bagong dengan karakter masing-masing sering memberi sindiran pada mereka yang berwatak adigang, adigung, dan adiguna. Sok berkuasa, sok merasa lebih dibanding yang lain dan sok merasa paling benar. Dengan candaan dan guyonan wayang mengajarkan untuk mengerem sikap-sikap bar-bar dan merugikan orang lain, jadi jika misalnya wayang dianggap haram dimana letak haramnya.
Toh wayang bukan disembah, bukan dianggap tuhan, wayang hanyalah sarana mendekati manusia dengan cara yang halus, berakal, melalui tokoh-tokoh wayang yang dimainkan. Dalang piawai untuk memainkan benda pipih simbolisasi dari watak dan karakter manusia.
Menghargai tradisi bukan berarti tidak modern dan menghambat peradaban, malah tradisi bisa menjadi salah satu rem untuk tidak kebablasan dan menyikapi dan meyakini bahwa produk modern,digital, teknologi canggih adalah satu-satunya jalan menuju kemajuan.
Etika Berkomentar dan Pemahaman Budaya Manusia Modern yang tampak "Usang"
Keseimbangan tetap diperlukan maka budaya, akar tradisi, kearifan lokal tetap harus dijunjung tinggi, untuk memberi simbol bahwa Indonesia mempunyai karakter kuat dalam tradisi dan adab ketimuran. Sayangnya dengan adanya media sosial banyak netizen sering kebablasan dan berpendapat dan berkomentar, seakan lupa bahwa ia hidup dalam akar budaya ketimuran yang menjujung tinggi etika.
Nyatanya banyak netizen sering nyablak, nyinyir, dan mengritik tanpa etika dan sangat kasar. Semoga dengan seringnya membaca dan menikmati produk budaya dan tradisi, netizen pegiat media sosial tetap bisa mengerem perkataan yang sering membuat panas telinga.
Kadang kalau melihat dan membaca komentar di media sosial semakin lama peradaban semakin usang,manusia seperti kembali bersifat bar-bar, meskipun beragama tetapi tidak didalami hanya sebatas pengetahuan tanpa mengerti esensi beragama. Saya sendiri jujur sering terjebak dalam arus masa yang mengagungkan teknologi, tetapi lupa bahwa budaya, tradisi itu penting untuk menjaga sikap, moralitas, etika dan karakter bangsa.
Untuk itulah saya senang menulis, salah satunya adalah mengingatkan diri sendiri untuk tetap menghargai akar tradisi, dan budaya nenek moyang yang baik, menyikapi secara wajar perbedaan dan menjalankan demokrasi sepenuhnya meskipun kadang arti demokrasi sering disalahartikan.Modernitas itu keniscayaan tetapi budaya tetap harus lestari. Semoga. Bagaimana caranya saya mencintai budaya salah satunya dengan menulis ini, mengkampanyekan pentingnya memelihara tradisi dan budaya bangsa. Salam selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H