Secara tidak langsung tugas penulis adalah memberi semangat, menuliskan tentang kebaikan dan menularkan optimisme walaupun banyak bencana mengurung sekitar kehidupan manusia. Yang akhir - akhir ini membuat repot banyak orang adalah covid 19. Duka lara, kepedihan kehilangan sanak keluarga datang silih berganti. Penulis Kompasiana, menurut saya tidaklah cengeng selalu ada cara untuk keluar dari lingkar kesedihan dan selalu membangun optimisme dengan tulisan- tulisan yang menginspirasi. Membaca Kompasiana membangun imun, menambah semangat di tengah arus pesimisme yang di sebar para buzzer atau pendengung yang seringkali membuat banyak bermunculan berita yang didramatisir.
Di Tengah Gejolak "Permusuhan" Pramilenial dan Milenial Tetap Harus Menebar Optimisme
Meskipun saya sering mengkritik Kompasiana, sering mengeluh terhadap nasib saya sebagai orang lama Kompasiana, sering merasa iri, cemburu atas kesuksesan para kompasianer muda, namun sebagai warga Kompasiana tetap selalu menulis pentingnya membangun optimisme. Dalam dunia ini selalu ada bentangan warna kontras.Â
Ada hitam ada putih, ada kesenangan ada kesedihan, ada optimisme ada pesimisme. Dalam kepedihan selalu muncul kebangkitan untuk membangun kembali semangat baru untuk move on dari situasi sulit.
Agustus tahun ini semoga menjadi awal kebangkitan bangsa untuk lepas dari kungkungan wabah. Dengan pemberlakuan PPKM semakin disiplinnya masyarakat mengikuti protokol kesehatan. Â Biarkan saja dengungan para buzzer yang selalu mengeluh, selalu pesimis atas upaya pemerintah menekan berkembangnya wabah.Â
Tutup buku dengan segala keluh kesah tentang sulitnya kehidupan saat wabah terus mengungkung seakan tidak pernah tahu kapan berakhirnya.
Bagaimanapun manusia tetap harus berusaha meskipun tantangan di depan mata menghadang. Bila manusia optimis lepas dari kesulitan, Tuhan  pasti tidak akan lepas tangan, selalu ada jalan bagi manusia yang mau berusaha.Â
Di Kompasiana saya seperti melihat banyak dari para Kompasianer berusaha memberikan sharing pengalaman, memberikan lmunya secara tulus kepada para pembacanya, lepas apakah dibaca atau hanya dilihat judulnya, tetapi ribuan dan bahkan jutaan artikel itu memberi gambaran tentang isi pikiran manusia.Â
Mereka yang menulis dan rajin mengirimkan artikel tentulah sebagian dari mereka yang sadar akan pentingnya menulis, pentingnya membaca, melebarkan sayap pengetahuan untuk membangun peradaban baru.
Mereka Pada Pemburu Pengetahuan dan Doyan Bacaan
Para penulisnya tidak mungkin mereka yang jarang belajar dan anti buku. Ada banyak pegiat literasi, ada banyak ahli, pelajar, sarjana, praktisi dalam bidang- bidang tertentu yang rela menyumbangkan tulisan hingga Kompasiana menjadi semacam persemaian ilmuwan dan ajang penggemblengan penulis.Â
Para kompasianer yang datang dari latar belakang selalu mengirimkan artikel segar yang bisa menjadi penyemangat bagi pembaca yang tengah berusaha mencari jati diri, mencari sumber ilmu yang mampu membangun optimisme. Ada banyak penulis yang selalu mememberikan petuah dengan sharing pengalaman.Â
Berbagai karakter penulis muncul membuat siapapun yang mengikuti perkembangan Kompasiana dari waktu ke waktu menjadi kaya filosofi kehidupan, kaya pengalaman, terbuka matanya terhadap perkembangan dunia. Apalagi penulisnya bukan hanya yang bermukim di Indonesia.Â
Yang berada di Eropa seperti Belanda, Jerman, Perancis, Finlandia, juga di Hongkong, Jepang, Australia turut memberi pengalaman dengan menuliskan seputar kehidupan di negara yang disinggahi atau negara yang ditinggalinya. Banyak komunitas Kompasiana yang saling bertemu di dunia virtual saling berbagi pengalaman.Â
Banyak di antara kompasiana yang terjun langsung, membantu masyarakat yang kekurangan dengan bantuan dari komunitasnya, relasi kompasianer yang tersebar baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Mereka sebenarnya pejuang, mereka benar- benar mampu mewujudkan mimpi, untuk berbagi kebaikan. Sudah banyak warga Kompasiana yang walaupun sekarang jarang menulis, telah menulis pengalaman kehidupan di dunia nyata untuk membangun optimis di sekitar lingkungannya. Salah satu inspirasinya karena membaca artikel di Kompasiana.
Contoh Nyata seperti Agung Han, Tamita WIbisono, Bambang Setyawan yang sekarang lebih sibuk dengan aksi sosialnya. Mereka optimis bisa membantu masyarakat bermula dari kesukaan menulis di Kompasiana, terus melebarkan sayap untuk membantu sesama.
Ya sebagai Kompasianer harus tetap optimis, meskipun sekarang kalau menulis mesti berjibaku untuk mendapatkan ceceran sisa perhatian dari pembaca. Kompasiana adalah rumah bersama, rumah di mana secara bebas bisa mengirimkan tulisan.Â
Namun kebebasan bukan berarti tanpa rambu- rambu, penulisnya mesti sabar untuk tidak menulis yang isinya hanya hoaks, atau tulisan bombastis yang sifatnya hanya lucu- lucuan tidak berbobot, Kalaupun di Kompasiana banyak tulisan humor, rata- rata tulisannya adalah tulisan cerdas, seperti tulisan Engkong Felix Tani, Daeng Rudy dan masih Prof Febrianov.
Meskipun kritis dan sering menyerang Admin tapi gaya tulisannya yang menghibur sangat ditunggu pembaca, nyatanya tulisan mereka sering nangkring di NT, sebuah penghormatan pada mereka yang peduli pada sesama Kompasianer.Â
Kalau saya sih masih belum berani eksis karena menulis saja masih kucing- kucingan dengan istri, takut jika diprotes lebih banyak menyentuh tuts komputer daripada sayang - sayangan hahaha...Â
Ya nasib penulis yang lebih banyak menyumbang tulisan daripada menghasilkan uang dari menulis. Sebab saya masih amatir, meskipun banyak menulis masih sekedar hobi belum menjadi profesi menjanjikan. Maka setiap hari saya sisihkan waktu menulis diantara kesibukan mencari uang di ladang di mana dapur bisa ngebul.
Jika nanti terjun sebagai penulis total, Â mesti berhitung terhadap apa yang saya tulis. Sebab tulisan itu adalah mata pencarian jadi ada target yang harus dicapai, ada manfaat dari kegiatan menulis.Â
Untunglah selama ini saat menulis di Kompasiana saya menulis banyak artikel dari kelebihan rejeki yang saya dapatkan di ladang pekerjaan yang menjadi andalan.Â
Sebagai guru swasta yang puji syukur masih memberikan gaji cukup untuk makan dan menyekolahkan anak- anak. Kalau saya saat ini tidak ikut menjadi anggota komunitas aktif di Kompasiana bukan berarti tidak tertarik tetapi titik fokus adalah kesenangan keluarga dan kecukupan sandang pangan istri dan anak. Kalau sesekali kumpul kopi darat ya masih bisa dicari waktunya.
Membangun Optimisme Penulis
Diantara pesimisme menghadapi hidup setiap orang harus optimis bisa mengurai masalah demi masalah. Selalu ada tantangan yang harus ditaklukkan, selalu ada rintangan yang mesti ditebas. Saya menamakannya pendewasaan. Tidak setiap hari bisa tertawa lebar, terkadang, menggigit bibir atas masalah ruwet yang mendera, tetapi dengan doa dan usaha keruwetan berlalu kembali bisa tersenyum.Â
Dalam rasa kebahagiaan karena bisa jalan- jalan, sesekali tersandung batu, jatuh berdebam dan terluka. Namun, manusia tidak perlu memaki nasib buruknya. Yang utama harus segera bangkit dan mengobati luka yang dideritanya setelah itu mengejar peluang dan kesempatan untuk merasakan kesenangan lagi.
Kompasiana itu perpustakaan, hampir semua pengetahuan hadir dari ribuan anggotanya dan mereka yang aktif menulis. Bukan sekedar omong kosong, sebab proses menulis itu pasti sudah melewati beberapa fase, beberapa ujian sehingga bisa menghasilkan tulisan bermanfaat dan inspiratif.Â
Kalau dalam prosesnya dihasilkan dari proses menjiplak itu tanggungjawab pribadi. Sebuah usaha untuk menulis hanya belum percaya pada diri sendiri. Semoga cepat bertobat dan sejelek apapun tulisan kita kalau ditulis dengan kejujuran dan percaya diri setiap tulisan pasti menarik.Â
Jika dirasa kurang yakin dan belum puas, ada banyak kesempatan memperbaikinya dengan mengirim dan mengirim artikel sampai tulisan terlihat nyaman dan disukai pembancanya.
Pada saat awal menulis, saya juga merasakan bagaimana mindernya mempublikasikan tulisan. Sampai puluhan hingga ratusan tulisan hanya sempat terbaca oleh diri sendiri sebagai catatan pribadi atau diary yang hanya bisa dibaca diri sendiri dan orang terdekat saja.Â
Setelah cukup percaya diri baru berani mengirimkan ke koran, mengikuti berbagai ajang atau lomba menulis. Kegagalan dan keberhasilan selalu beriring. Namanya usaha.
Gojlokan Mental sebagai Penulis
Kompasiana bagaimanapun telah menggembleng dan menempa para penulisnya. Kesetiaannya menulis mungkin tidak mendapat penghargaan setimpal namun nilai kesetiaan itu akan bermanfaat untuk diri penulisnya. Bagaimana tetap mencintai aktivitas menulis meskipun kadang merasa tidak diperhatikan dan mulai tergusur oleh para penulis muda yang hasil karyanya lebih segar dan kekinian.
Kalau saya memotivasi diri sendiri, tetaplah menulis kawan, sebab kamu akan tercatat sejarah. Ingat pesan maestro dalam bidang seperti Kuntowijoyo, untuk menulis menulis dan menulis, ingat juga petuah dari Pramoedya Ananta Toer, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."
Kompasiana turut menyumbang sejarah dan kita warga rumah besarnya turut berbangga.Tapi mengkritik dan memberi masukan pada admin tetaplah keharusan demi kemajuan bersama. Meskipun diterma Pandemi semoga tidak berkurang rasa optimism teman -- teman. Salam optimis dan merdeka berkarya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI