Untunglah selama ini saat menulis di Kompasiana saya menulis banyak artikel dari kelebihan rejeki yang saya dapatkan di ladang pekerjaan yang menjadi andalan.Â
Sebagai guru swasta yang puji syukur masih memberikan gaji cukup untuk makan dan menyekolahkan anak- anak. Kalau saya saat ini tidak ikut menjadi anggota komunitas aktif di Kompasiana bukan berarti tidak tertarik tetapi titik fokus adalah kesenangan keluarga dan kecukupan sandang pangan istri dan anak. Kalau sesekali kumpul kopi darat ya masih bisa dicari waktunya.
Membangun Optimisme Penulis
Diantara pesimisme menghadapi hidup setiap orang harus optimis bisa mengurai masalah demi masalah. Selalu ada tantangan yang harus ditaklukkan, selalu ada rintangan yang mesti ditebas. Saya menamakannya pendewasaan. Tidak setiap hari bisa tertawa lebar, terkadang, menggigit bibir atas masalah ruwet yang mendera, tetapi dengan doa dan usaha keruwetan berlalu kembali bisa tersenyum.Â
Dalam rasa kebahagiaan karena bisa jalan- jalan, sesekali tersandung batu, jatuh berdebam dan terluka. Namun, manusia tidak perlu memaki nasib buruknya. Yang utama harus segera bangkit dan mengobati luka yang dideritanya setelah itu mengejar peluang dan kesempatan untuk merasakan kesenangan lagi.
Kompasiana itu perpustakaan, hampir semua pengetahuan hadir dari ribuan anggotanya dan mereka yang aktif menulis. Bukan sekedar omong kosong, sebab proses menulis itu pasti sudah melewati beberapa fase, beberapa ujian sehingga bisa menghasilkan tulisan bermanfaat dan inspiratif.Â
Kalau dalam prosesnya dihasilkan dari proses menjiplak itu tanggungjawab pribadi. Sebuah usaha untuk menulis hanya belum percaya pada diri sendiri. Semoga cepat bertobat dan sejelek apapun tulisan kita kalau ditulis dengan kejujuran dan percaya diri setiap tulisan pasti menarik.Â
Jika dirasa kurang yakin dan belum puas, ada banyak kesempatan memperbaikinya dengan mengirim dan mengirim artikel sampai tulisan terlihat nyaman dan disukai pembancanya.
Pada saat awal menulis, saya juga merasakan bagaimana mindernya mempublikasikan tulisan. Sampai puluhan hingga ratusan tulisan hanya sempat terbaca oleh diri sendiri sebagai catatan pribadi atau diary yang hanya bisa dibaca diri sendiri dan orang terdekat saja.Â
Setelah cukup percaya diri baru berani mengirimkan ke koran, mengikuti berbagai ajang atau lomba menulis. Kegagalan dan keberhasilan selalu beriring. Namanya usaha.
Gojlokan Mental sebagai Penulis