Kalau tidak diterima di Kompas paling tidak saya sudah bisa menulis ratusan tulisan ringan di "Kompas"iana. Dan orang berpikir hebat Joko kamu bisa menulis di Kompas. Hahaha. Apasih benang merahnya tulisan saya.
Saya hanya ingin menulis nostalgia saya rasa penasaran saya terhadap Kompas. Karena menembus Kompas yang berskala nasional itu susah maka saya perlu berkompasiana untuk bisa tetap menulis, mengasah kepekaan, mengasah ketrampilan menulis saya yang mengusung motto menulis, menulis dan menulis. Lalu bagaimana hubungannya dengan pak Jakob?
Paling tidak di tanggal lahir tulisannya mirip, lahir di Magelang, meskipun tanggal dan bulan dan tahunnya beda. Pak Jakob lahir Di Desa Jowahan dekat candi Borobudur, 27 September 1931, itu dulunya adalah guru sejarah, pernah sekolah di seminari Mertoyudan yang berada dipinggiran kota Magelang.
Secara fisik sebetulnya pernah berpapasan atau ketemu saat beliau dulu ke gereja Blok Q di bilangan Senopati, dekat pasar Santa, Jalan Tendean. Ketika di gereja saya lebih sering melihatnya duduk dibangku paling belakang. Ah kenapa memilih belakang padahal beliau adalah orang terdepan di Kompas.
Ketemu lagi saat Kompasiana buat event pas Ulang Tahun Jakob Oetama di Hotel Santika Slipi. Tentu saja Kompasianer bisa bebas masuk dan ikutan makan-makan dan ngobrol dengan sosok elegan Pak Jakob Oetama, itu sekitar 10 tahun lalu tepatnya November 2011 sepertinya.Â
Sempat diberi kesempatan di panggung untuk foto bersama Sang pendiri Kompas Gramedia Grup, tapi foto itu nyelip entah ke mana. Orangnya Low Profile, gaya keguruannya masih tampak. Padahal ia termasuk tokoh entrepreneur yang sukses lho.
Kalau ingat Kompas ya ingat Jakob Oetama, kalau ingat Kompasiana ya Pepih Nugraha. Hehehe. Cuma sayangnya sebagai orang yang cukup lama di Kompasiana saya mesti sadar banyak talenta baru yang jauh lebih piawai dalam menulis, sehingga saya mesti kerja keras untuk mendapatkan view lumayan.
Sampai 100 saja sudah lumayan, apalagi sekedar rubrik, sosial budaya, fiksiana, media. Yang kurang peminatnya. Saya pun masih harus berlangganan premium padahal saya ikut berkontribusi mempertahankan Kompasiana sampai menjelang berusia 12 tahun.
Tapi sudahlah tidak perlu sedih, layaknya kehilangan tokoh panutan seperti Pak Jakob yang berpulang hari Rabu, 9 September 2020. Ia berbaring di Taman makam pahlawan. Beliau sudah menuntaskan pekerjaannya tinggal generasi penerusnya yang harus berjuang agar Kompas, Kompasiana tetap eksis.
Kalau meminta saya penginnya diistimewakan tapi siapa sih saya, cuma penulis yang sepanjang hari harus belajar agar tidak ketinggalan dengan yang lain yang lebih cergas dan cerdas dalam menulis.
Tapi sebagai seorang penulis saya tidak mungkin menyerah, meskipun kenyataannya saya hanya nomor sekian dari banyaknya penulis berbakat yang datang dan pergi di rumah bersama Kompasiana.