Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kompas, Kompasiana, dan Jakob Oetama

10 September 2020   07:43 Diperbarui: 10 September 2020   16:09 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artikelnya yang panjang membuat saya mesti sabar membuka lembar demi lembar. Endingnya kadang susah ditebak dan itu yang membuat saya selalu penasaran dengan cerita kriminal di Intisari. Rupanya kakek saya dulu pernah berlangganan Intisari sekitar tahun 1970 dengan kertas stensil. Menguning lama -- lama.

Tapi bukan masalah kertasnya, tetapi isi dari intisari yang saya kagumi. Para redakturnya termasuk pimpinannya Pak Jakob Oetama sepertinya sangat mengerti selera pembaca. Intisari lama walau dibaca nanti -- nanti tetaplah aktual, itu karena majalah itu bukan hanya menyajikan tulisan yang dinikmati sekilas, tapi pengetahuannya bisa dinikmati selamanya.

Dan ketika saya kerja di Jakarta keingintahuan saya pada Intisari terbayar karena tempat saya bekerja juga berlangganan Intisari. Meskipun saya tidak pintar -- pintar amat menulis ( nyatanya sampai saat ini belum pernah bisa masuk artikel opini di halaman 6; mungkin mimpi saya terlalu jauh hehehe).

Di Kompas yang paling saya sukai adalah rubrik gaya hidup, feature, terutama ketika muncul tulisan dan Romo Sindhunata yang membahas Bola, wah luar biasa ulasannya. Mengalir dan kaya pengetahuan. Penyajiannya enak, bahasa runtut dan dalam.

Untuk sekelas saya tentu harus berkerut-kerut sebab itu gaya pastor Jesuit yang otak dan kecemerlangan pikirannya tidak diragukan lagi.

Kompas telah membuka wawasan saya. Kalau dipikir-pikir saya ini bodoh, tapi dari kebodohan ini akhirnya saya tidak ingin menyerah untuk selalu membaca artikel-artikel Kompas yang bermutu, maka kadang gaya menulis saya kadang terbawa seperti Kompas (ah Geer saja hehehe). 

Betul saya punya tumpukan kliping cerpen kompas juga artikel berisi kritik seni, artikel budaya yang sering saya baca berulang-ulang.

Sayangnya tanpa saya ketahui koran dan koleksi cerpen Kompas sering di lego ke tukang loak keliling, ya menyesal juga tidak segera menyusun kliping, hingga tumpukan koran itu harus pergi tanpa sepengetahuan saya.

Aneh juga mengapa saya membeli koran jika yang dibaca hanya tertentu, berita utama di halaman depan, opini di halaman 6 dan rubrik sosial budaya, touring cerpen dan puisinya tentu.

Di tahun 2010 secara iseng saya melihat ada blog Kompasiana saya temukan di internet, saya jadi penasaran, apa sih isinya. Itu sih semacam jurnalisme warga, tulisan datang dari orang -- orang dan terutama wartawan Kompas yang ingin menulis ringan-ringan tanpa harus menggunakan bahasa baku jurnalistik

Saya malah menemukan keasyilan sendiri. Membaca Pak Prayitno Ramelan tentang dunia intelijen, membaca tulisan Omjay, Pak Dhe Kartono. Bercanda tapi menarik, maka saya memberanikan membuka akun kompasiana. Maka sejak akhir januari saya langsung tancap dan sering mengirimkan artikel di Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun