Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kompas, Kompasiana, dan Jakob Oetama

10 September 2020   07:43 Diperbarui: 10 September 2020   16:09 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku dokumen penulis

Mengapa saya membuat judul, tentang Kompas, Kompasiana, dan Jakob Oetama?

Apakah ingin agar tulisan saya terkerek karena bicara tentang Kompas, dan juga tentang Kompasiana sebagai media untuk mengekspresikan hasrat menulis, tidak peduli dibayar atau tidak?

Ataukah saya mencoba bergaya kenal dengan sosok pendiri Kompas itu? Pernah dekat secara fisik dengan Pak Jakob? Atau hanya mengenalnya lewat Kompas, dengan tajuk rencananya dan artikel- artikel kompasnya yang berkualitas?

Yang saya ingat dari motto Kompas dalam bahasa latin Fortiter in Re suaviter in modo, Tegas dalam prinsip namun luwes dalam cara mencapainya. Itulah.

Setiap membaca kompas saya katakan tulisannya tidak pernah bergaya frontal, melawan. Bahasa Kompas itu lembut tapi jika merasakan benar sebetulnya menohok. Itulah gaya Kompas.

Saya mengikuti dan sering membaca koran Kompas sejak SMA. Sering beli di terminal, ketika pulang sekolah.

Meskipun terkesan berat artikelnya tetapi sebetulnya saya suka dengan bahasanya yang bijak. Sama sebetulnya seperti saya yang cenderung tidak meledak- ledak dalam menulis. Malah gaya Kompas itu yang menjadi panutan saya.

Sayangnya untuk menembus Kompas susahnya minta ampun, sampai sekarang susah dan belum pernah ada satu artikelpun yang dimuat di halaman opini.

Akhirnya saya seperti menyerah dan kendor tidak lagi ngotot pengin menulis di Kompas, cukup saya menikmatinya, membaca tulisan-tulisannya terutama koran Sabtu Minggu. Sampai sekarang saya masih membeli koran Kompas Sabtu Minggu kalau hari biasa cukuplah membaca di kantor (itu sebelum covid-19).

Ketika saya berumur sekitar 8 tahun saya pernah menemukan Intisari di laci lemari. Itu peninggalan kakek yang rajin membaca, Tulisan di Intisari itu everlasting. Mau dibaca kapanpun rasanya tetap aktual.

Yang saya sukai itu di artikel kriminal, kasus, kasus kejahatan dengan modus yang luar biasa beratnya. Rasanya ada perasaan teraduk aduk sambil penasaran bagaimana ending cerita dari cerita kriminal tersebut.

Artikelnya yang panjang membuat saya mesti sabar membuka lembar demi lembar. Endingnya kadang susah ditebak dan itu yang membuat saya selalu penasaran dengan cerita kriminal di Intisari. Rupanya kakek saya dulu pernah berlangganan Intisari sekitar tahun 1970 dengan kertas stensil. Menguning lama -- lama.

Tapi bukan masalah kertasnya, tetapi isi dari intisari yang saya kagumi. Para redakturnya termasuk pimpinannya Pak Jakob Oetama sepertinya sangat mengerti selera pembaca. Intisari lama walau dibaca nanti -- nanti tetaplah aktual, itu karena majalah itu bukan hanya menyajikan tulisan yang dinikmati sekilas, tapi pengetahuannya bisa dinikmati selamanya.

Dan ketika saya kerja di Jakarta keingintahuan saya pada Intisari terbayar karena tempat saya bekerja juga berlangganan Intisari. Meskipun saya tidak pintar -- pintar amat menulis ( nyatanya sampai saat ini belum pernah bisa masuk artikel opini di halaman 6; mungkin mimpi saya terlalu jauh hehehe).

Di Kompas yang paling saya sukai adalah rubrik gaya hidup, feature, terutama ketika muncul tulisan dan Romo Sindhunata yang membahas Bola, wah luar biasa ulasannya. Mengalir dan kaya pengetahuan. Penyajiannya enak, bahasa runtut dan dalam.

Untuk sekelas saya tentu harus berkerut-kerut sebab itu gaya pastor Jesuit yang otak dan kecemerlangan pikirannya tidak diragukan lagi.

Kompas telah membuka wawasan saya. Kalau dipikir-pikir saya ini bodoh, tapi dari kebodohan ini akhirnya saya tidak ingin menyerah untuk selalu membaca artikel-artikel Kompas yang bermutu, maka kadang gaya menulis saya kadang terbawa seperti Kompas (ah Geer saja hehehe). 

Betul saya punya tumpukan kliping cerpen kompas juga artikel berisi kritik seni, artikel budaya yang sering saya baca berulang-ulang.

Sayangnya tanpa saya ketahui koran dan koleksi cerpen Kompas sering di lego ke tukang loak keliling, ya menyesal juga tidak segera menyusun kliping, hingga tumpukan koran itu harus pergi tanpa sepengetahuan saya.

Aneh juga mengapa saya membeli koran jika yang dibaca hanya tertentu, berita utama di halaman depan, opini di halaman 6 dan rubrik sosial budaya, touring cerpen dan puisinya tentu.

Di tahun 2010 secara iseng saya melihat ada blog Kompasiana saya temukan di internet, saya jadi penasaran, apa sih isinya. Itu sih semacam jurnalisme warga, tulisan datang dari orang -- orang dan terutama wartawan Kompas yang ingin menulis ringan-ringan tanpa harus menggunakan bahasa baku jurnalistik

Saya malah menemukan keasyilan sendiri. Membaca Pak Prayitno Ramelan tentang dunia intelijen, membaca tulisan Omjay, Pak Dhe Kartono. Bercanda tapi menarik, maka saya memberanikan membuka akun kompasiana. Maka sejak akhir januari saya langsung tancap dan sering mengirimkan artikel di Kompasiana.

Kalau tidak diterima di Kompas paling tidak saya sudah bisa menulis ratusan tulisan ringan di "Kompas"iana. Dan orang berpikir hebat Joko kamu bisa menulis di Kompas. Hahaha. Apasih benang merahnya tulisan saya.

Saya hanya ingin menulis nostalgia saya rasa penasaran saya terhadap Kompas. Karena menembus Kompas yang berskala nasional itu susah maka saya perlu berkompasiana untuk bisa tetap menulis, mengasah kepekaan, mengasah ketrampilan menulis saya yang mengusung motto menulis, menulis dan menulis. Lalu bagaimana hubungannya dengan pak Jakob?

Paling tidak di tanggal lahir tulisannya mirip, lahir di Magelang, meskipun tanggal dan bulan dan tahunnya beda. Pak Jakob lahir Di Desa Jowahan dekat candi Borobudur, 27 September 1931, itu dulunya adalah guru sejarah, pernah sekolah di seminari Mertoyudan yang berada dipinggiran kota Magelang.

Secara fisik sebetulnya pernah berpapasan atau ketemu saat beliau dulu ke gereja Blok Q di bilangan Senopati, dekat pasar Santa, Jalan Tendean. Ketika di gereja saya lebih sering melihatnya duduk dibangku paling belakang. Ah kenapa memilih belakang padahal beliau adalah orang terdepan di Kompas.

Ketemu lagi saat Kompasiana buat event pas Ulang Tahun Jakob Oetama di Hotel Santika Slipi. Tentu saja Kompasianer bisa bebas masuk dan ikutan makan-makan dan ngobrol dengan sosok elegan Pak Jakob Oetama, itu sekitar 10 tahun lalu tepatnya November 2011 sepertinya. 

Sempat diberi kesempatan di panggung untuk foto bersama Sang pendiri Kompas Gramedia Grup, tapi foto itu nyelip entah ke mana. Orangnya Low Profile, gaya keguruannya masih tampak. Padahal ia termasuk tokoh entrepreneur yang sukses lho.

Kalau ingat Kompas ya ingat Jakob Oetama, kalau ingat Kompasiana ya Pepih Nugraha. Hehehe. Cuma sayangnya sebagai orang yang cukup lama di Kompasiana saya mesti sadar banyak talenta baru yang jauh lebih piawai dalam menulis, sehingga saya mesti kerja keras untuk mendapatkan view lumayan.

Sampai 100 saja sudah lumayan, apalagi sekedar rubrik, sosial budaya, fiksiana, media. Yang kurang peminatnya. Saya pun masih harus berlangganan premium padahal saya ikut berkontribusi mempertahankan Kompasiana sampai menjelang berusia 12 tahun.

Tapi sudahlah tidak perlu sedih, layaknya kehilangan tokoh panutan seperti Pak Jakob yang berpulang hari Rabu, 9 September 2020. Ia berbaring di Taman makam pahlawan. Beliau sudah menuntaskan pekerjaannya tinggal generasi penerusnya yang harus berjuang agar Kompas, Kompasiana tetap eksis.

Kalau meminta saya penginnya diistimewakan tapi siapa sih saya, cuma penulis yang sepanjang hari harus belajar agar tidak ketinggalan dengan yang lain yang lebih cergas dan cerdas dalam menulis.

Tapi sebagai seorang penulis saya tidak mungkin menyerah, meskipun kenyataannya saya hanya nomor sekian dari banyaknya penulis berbakat yang datang dan pergi di rumah bersama Kompasiana.

Kalau sekali sekali senyap tidak menulis tidak apa-apa ya Kompasiana, sebab kadang saya masih butuh asupan untuk bisa tetap bisa membeli pulsa dan paket data agar tetap bisa menulis. Kadang kadang hidup terasa sunyi ketika teman-teman seangkatan dulu, banyak yang hilang dan menghilang dari rumah bersama ini.

Semoga ada event lebih besar untuk bisa mengundang kompasianer lama yang bertebaran membuat konten baru, sebagai kompensasi ketika di Kompasiana saat ini mereka merasakan kesunyian. Salam damai selalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun