Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dialog Imajiner dengan R.A. Kartini

21 April 2020   09:42 Diperbarui: 21 April 2020   10:12 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sugeng  Enjing,  Den Nganten (selamat pagi, Den Nganten).*

"Selamat pagi Mas, ada perlu apa?"

"Eee, Saya seorang blogger Kompasiana. Pengin mengetahui lebih dalam tentang visi Den Nganten masalah perempuan."

"Sudah banyak kemajuan Mas, saat ini terutama di kota besar, seperti Jakarta peranan perempuan malah semakin menegaskan perempuan itu tangguh dalam hal belajar."

" Berarti itu keberhasilan anda Den Nganten, dalam menanamkan kemandirian belajar bagi kaum perempuan."

"Maaf, jangan panggil saya dengan Den Nganten bisa, sebut saja Mbak Kartini, meskipun saya istri bupati, tetapi rasanya aneh jika dipanggil Den Nganten. Terasa jauh dengan rakyat saya."

"Tapi itu sebutan pas untuk Den..."

"Mbakyu saja ya..."

"Baiklah mbak, eh Mbakyu. Begini ada banyak pertanyaan tentang emansipasi perempuan. Bolehkah minta waktu yang cukup panjang untuk mengajukan pertanyaan- pertanyaan yang cukup serius, terutama menyangkut kumpulan surat-surat anda kepada para sahabat di Belanda. Pengetahuan anda tentang masalah emansipasi amat menginspirasi. Kepada Rosa Abendanon dan kepada sahabat lain di Belanda dan luar negeri."

"Baiklah saya punya waktu, besok sore sekitar jam 4 sore. Mas bisa?"

"Bisa, Mmm permisi dulu ya...besok saya ke sini."

Ternyata Kartini memang beda dengan perempuan yang lain. Ia mempunyai emosi yang tertata, rendah hati dan yang jelas intelektualnya tinggi. Saya tidak sabar mengajukan banyak pertanyaan,terutama masalah emansipasi. Kartini adalah istri bupati Rembang. Bukan istri pertama, tetapi suaminya adalah orang moderat yang bisa mengerti pikiran Kartini. 

Tetapi seperti halnya feodalisme priyayi Jawa. Kartini tidak berdaya pada aturan ketat kaum ningrat yang penuh unggah-ungguh. Perempuan masih diklasifikasikan kelas kedua setelah Lelaki. Lelaki berhak mempunyai istri lebih dari satu, mempunyai beberapa selir disamping istri sahnya.Merubah gaya feodalisme kaum bangsawan sangat susah. Seperti menemui tembok tebal. Perempuan tidak bisa seenaknya pergi keluar, bebas belajar sampai pendidikan tertinggi karena akhirnya perempuan menjadi istri atau tepatnya konco wingking bagi bangsawan.

Aturan protokoler bangsawan yang rumit tidak memungkinkan perempuan bisa dengan leluasa melakukan protes terbuka. Bisa saja akhirnya mereka terbuang, dijauhkan dan akhirnya terkatung-katung. Perempuan jaman dulu begitu lemah dalam posisi politik. Bargaining positionnya lemah. Lalu bagaimana dengan Ratu Sima, Ratu kalinyamat, dan Tribuana Tunggadewi, Putri Campa dan pejuang perempuan lain yang begitu kuat posisinya dalam sebuah negara. Mereka perkecualian, Hanya ada satu di antara seribu, satu dalam satu abad atau berabad-abad.

Kartini kuat dalam konsep  berpikirnya, seperti yang tercatat dalam surat- suratnya pada sahabatnya di luar negeri, pemikirannya seperti suluh dalam kegelapan. Jauh melebihi jamannya. Sementara jamannya adalah ketika perempuan masih diperlakukan budak seksual, pemuas nafsu laki-laki dan sebagai konco wingking, yang hanya melengkapi suami sebagai penguasa dan bangsawan yang terikat oleh aturan-aturan.

Tetapi meskipun bukan sebagai istri utama Kartini diberi kebebasan dalam mengembangkan pemikiran. Diam-diam suaminya mendukung perjuangan Kartini dari belakang.

Saya penasaran ingin segera bertemu Kartini yang lahir di Jepara.21 April 1879. Putri dari Raden Mas Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati setelah Kartini lahir. Karena lahir dari keluarga bangsawan maka Kartini menikmati pendidikan  ELS (Europese Lagere School) sampai usia 12 tahun. Selanjutnya setelah usia 12 tahun Kartini dipingit.

"Mbakyu sering berkirim surat dengan  Rosa Abendanon?"

"Iya saya bersahabat karib dengan Rosa. Ia sangat mengerti pemikiran saya maka tidak heran saya rajin berkirim surat dengannya."

"Apa sih kegelisahan Mbakyu menyaksikan perempuan jaman anda."

"Melihat perempuan Eropa yang maju dalam berpikir, saya iri perempuan Indonesia tidak maju karena selalu diperlakukan hanya sebagai konco wingking, bukan pendamping. Seharusnya perempuan Indonesia mampu melawan aturan-aturan yang membatasi ruang gerak perempuan."

"Mbakyu sendiri dipingit saat usia 12 tahun."

"Ya sejak usia akhil balik perempuan sudah disiapkan untuk menjadi istri, maka umur 12 tahun sudah harus dipingit."

"Anda tidak protes?"

"Sudah pasti saya protes, tetapi ibu saya juga keras, ia mengikuti aturan-aturan bangsawan yang sangat membatasi ruang gerak perempuan."

"Tapi setidaknya Mbakyu menikmati pendidikan Eropa, beda dengan perempuan lain."

"Ya saya beruntung bisa belajar bahasa belanda, membaca koran yang terbit di Semarang De Locomotief  pimpinan Pieter Brooshooft. Saya juga menerima paket Ieestrommel (paket langganan majalah), Beruntung saya menikmati buku-buku bermutu dan membaca majalah budaya De Hollandsche Lellie."

"Anda senang menulis, coba kalau dulu ada Kompasiana pasti anda akan rajin menulis di sini.?"

"Hahaha, bisa saja anda. Ya saya senang menulis. Tulisan- tulisan saya banyak saya kirimkan ke majalah De Hollandsche Lellie. Bukan hanya emansipasi, saya juga menulis sosial umum."

"Jadi ternyata mbakyu itu mirip wartawan, penulis freelance yang khusus membahas tentang peran perempuan."

"Begitulah. Hanya itu yang bisa saya lakukan sebagai orang pingitan calon istri bupati."

"Sekarang suami anda K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat mendukung pemikiran anda?"

"Ya, malah saya didukung mendirikan sekolah wanita. Di sebelah Timur rumah saya tepatnya di sebelah pintu gerbang kompleks kabupaten Rembang."

"Anda mempunyai kakak laki- laki yang ahli bahasa dan pintar."

"Nama kakak Saya Sosro Kartono. Sangat mendukung langkah saya, kepadanya saya titipkan pemikiran saya."

"Lalu bagaimana tanggapan anda dengan kemajuan perempuan jaman sekarang?"

"Bangga, sekaligus prihatin juga?"

"Bangga ketika perempuan sudah bisa membuktikan bahwa ia bisa sejajar dengan pria dalam hal pemikiran dan prestasi. Sudah banyak mentri, doktor mumpuni perempuan. Profesor dan politikus. Itu membanggakan. Yang mengecewakan adalah perempuan masih sering dianggap sebagai sasaran kebejadan manusia yang laknat yang menganggap perempuan sebagai pemuas nafsu sex laki-laki. Berapa banyak perempuan tewas setelah diperkosa, berapa banyak perempuan yang juga melacurkan diri, menjual harga diri hanya untuk mengejar kekayaan, mempercantik diri sendiri namun menjual harga dirinya. Ini yang membuat saya prihatin."

"Apakah di Jaman anda tidak ada pelacuran?"

"Sejak jaman baheula pelacuran sudah ada, tetapi terbatas, karena banyak perempuan menjadi selir dari bangsawan."

"Siapakah penulis favorit anda waktu itu? terutama dari Indonesia."

"Saya menikmati karya Multatuli dan surat- surat cintanya, juga buku Max h

Havelaar. Bahkan sudah membacanya dua kali."

"Mbakyu kutu buku juga?"

"Begitulah, untuk mengisi waktu sebagai orang pingitan calon istri dari bupati yang sebelumnya sudah memiliki dua istri."

"Mbakyu, sebetulnya banyak yang ingin saya tanyakan masalah emansipasi, tetapi hari sudah sore, tidak enak dengan suami anda. Pertanyaan terakhir dari saya untuk mbakyu. Apa yang diharapkan mbakyu untuk perempuan Indonesia di masa datang"

"Jangan mau kalah dengan lelaki, tetapi meskipun perempuan cerdas sebagaimana kodratnya perempuan ia harus menjadi pendamping lelaki, mampu membangkitkan semangat agar para lelaki/ suami bisa bekerja keras menjadi penyokong utama keluarga. Kecerdasan perempuan, kemajuan pemikiran perempuan tetaplah dalam alurnya. 

Sekarang saking suksesnya perempuan kadang melupakan hubungan relasional yang saling menghormati. Perempuan akhirnya banyak menjadi single parent karena ia lebih dominan dalam keluarga yang menyebabkan banyaknya perceraian. Sebagai perempuan saya mendukung perempuan maju dalam segala hal. 

Boleh saja di perusahaan ia adalah pimpinan, CEO atau direktur utama yang memagang hak dalam keputusan final, tetapi di rumah dalam kehidupan rumah tangga harus ada relasi saling hormat menghormati, dan menghormati laki- laki sebagai kepala keluarga, kecuali laki-laki itu kurang ajar tidak bertanggunjawab. Oh ya saya titip oleh oleh untuk mu, kata kata ini mungkin berguna nanti:Tiada awan yang tetap selamanya.Tiada mungkin akan terus menerus terang cuaca. Sehabis malam gulita lahir pagi membawa keindahan kehidupan manusia serupa alam."

Raden Ajeng Kartini menikah  tanggal 12 November 1903, Dari suaminya yang bupati Rembang lahir anak bernama raden Soesalit Djojoadiningrat pada tanggal  13 September 1904. Tetapi Kartini meninggal selang beberapa hari setelah melahirkan.Kartini tepatnya tanggal 17 September 1904 meninggal dalam usia 25 tahun. Surat Surat pentingnya kemudian disusun menjadi sebuah buku yang diberi judul Habis Gelap Terbitlah Terang.Kartini meninggalkan pemikiran yang maju untuk generasi perempuan. Berkat Kartini perempuan sekarang bisa menikmati pendidikan sama dengan Lelaki.

* Den Nganten sebutan abdi pada bendoronya jaman feodal atau di kalangan bangsawan jaman dulu.

Referensi: Wikipedia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun