Terlalu rindu menjadi penyair
seribu buku puisi kubaca tuntas dari Amir Hamzah sampai Sujiwo Tedjo
dari Shakespeare sampai Sapardi Djoko Damono
dari obsesi setara Chairil Anwar hingga tertikam kata Neno Warisman
Sebenarnya aku rindu,
terlalu rindu bila tanpa puisi.
Sebenarnya aku ini penyendiri
karena tidak gampang bicara dengan mereka yang lebih senang mengumbar kata daripada memaknai kata
aku muak oleh celotehan -- celotehan yang hanya membuat sumpek pikiran
dengan ramainya perbicangan receh.
Aku rindu ketika semilir angin menerpa wajah,
seribu kata berjejalan di kembara jiwaku,
antri untuk dijadikan peluru kata.
Kesendirian terkadang memberi kesempatan
membuka selubung kata yang diam diam menangis karena  tersembunyi di kolong pikiran.
Ketika suasana meditatif tercipta makna berlepasan
ia begitu memanjakan kata
satu persatu berteriak kegirangan karena ada kebebasan berlompatan,
bermanuver memainkan emosi yang tercekat ketika ada sosok disamping begitu menjajah jiwa menekan hingga kata hanya berdesakan di ujung tenggorokan.
Sementara dada sesak karena sumbatan kata itu mengurangi asupan oksigen di jejaring paru- paru.
Betapa rindu aku menulis puisi dan akhirnya ketika kutulis semua beban lepas sudah dan aku bisa tidur dengan nyenyak,Â
tidak peduli nyamuk menyesap darah, tapi aku bisa bermimpi indah
Selalu rindu menjadi penyair
Sayang pada akhirnya aku hanyalah pengecer kata
yang tidak tahu sebenarnya istilah sastra
kini aku telah tersedot pusaran hoax
dari perang kata antar kampret dan kecebong
Puisi  kini benar- benar menderita
karena caci maki telah melenyapkan keagungan sastra
mimpi menjadi penyair hanyalah impian sepotong kertas di sela- sela lembaran buku.
Jakarta. 29 Maret 2019