Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Panggung Besar Ratna Sarumpaet dan Jebakan Kebohongan

6 Oktober 2018   11:48 Diperbarui: 6 Oktober 2018   13:21 1842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari ini dalam jagad media sosial heboh oleh pernyataan Ratna Sarumpaet(RS) yang mengaku berbohong telah merekayasa bahwa dirinya dikeroyok orang hingga mukanya lebam. 

Sontak jagad netizen geger, Tim Prabowo meradang dan perang opini ramai menanggapi drama RS yang sepertinya akan membawa gaung penganiayaan itu untuk menjungkalkan kredibilitas Presiden Petahana. Ratna di framing sebagai korban dan tim Prabowo sudah ancang-ancang untuk menarik kasus RS sebagai senjata menekan lawan politiknya.

Perang media sosial telah membagi masyarakat menjadi beberapa bagian. Bagian pertama adalah masyarakat yang pro status quo. Mereka masih berharap petahana meneruskan kebijakannya untuk membangun daerah-daerah tertinggal yang perlu mendapat perhatian dan sentuhan dari seorang pemimpin yang menurut mereka sangat sederhana dan memberi teladan bagaimana bekerja tanpa banyak berbicara. 

Presiden adalah pemimpin yang melayani, pemimpin yang tegas dan berpikir sederhana namun cepat tanggap. Tidak penting penampilan fisik yang penting keluarga, perilakunya menginspirasi.

Kedua adalah masyarakat yang sudah lelah dengan upaya menunggu janji-janji presiden untuk hidup tentram, BBM murah, harga-harga kebutuhan pokok terjangkau, beras mampu berswasembada, merindukan pemimpin yang terkesan tegas, gagah dan berwibawa. Mereka telah melihat sosok itu di dalam diri lawan Petahana saat ini. 

Kerinduan saat hidup di jaman orde baru, dimana banyak kemudahan,kenyamanan menjadi senjata untuk menyerang petahana yang belum bisa memenuhi janji sepenuhnya. Enak Jamanku Tho seakan-akan ikut membentuk nostalgia orang-orang yang dulu memang dimanjakan dengan kemudahan, meskipun harus dengan melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.

Ketiga andalah masyarakat yang sudah apatis dengan janji-janji yang tidak pernah ditepati oleh politisi. Mereka swing voter atau masyarakat yang memilih menjadi golput karena tidak mempunyai tokoh yang mampu memberi harapan pada mereka. Bagi mereka dua calon itu tidak sesuai ekspektasi, tidak sesuai dengan gambaran idealnya. Politik diibaratkan selalu buruk dan sudah tidak percaya pada apapun janji-janji politisi.

Keempat adalah masyarakat yang berdiri pada upaya menggiring negara untuk menjadi sebuah negara agama. Apapun harus berlandaskan pada aturan dan norma agama, sehingga melahirkan chaos yang yang sebermula dari konflik agama. 

Pemaksaan, mengkafiran, penghukuman karena beda agama telah memberi ruang bagi tumbuhnya kebencian, radikalisme, fanatisme sempit dan penghakiman atas nama agama. 

Agama tidak boleh disalah-salahkan dan jika ada yang berani akan mendapat hukuman sosial berat dari masyarakat yang secara sepihak langsung menghakimi dengan menjatuhkan hukuman berat.

***

Ternyata sederhana, berperilaku baik saja tidak cukup bagi sebagian masyarakat Indonesia. Mereka butuh pemimpin yang bisa berpidato secara menggelegar, berpenampilan gagah, mengesankan keberpihakan pada masyarakat kecil dan memanjakan masyarakat dengan subsidi-subsidi sehingga rakyat bahagia, tidak terbebani dengan cekikan kebutuhan pokok sehari- hari yang sulit dijangkau oleh orang miskin papa. 

Nah mimpi-mimpi sebagian masyarakat itulah yang ingin digarap oleh oposisi. Mereka menggiring sebagaian masyarakat yang malas bekerja keras memimpikan pemimpin yang mau memanjakan mereka dengan subsidi, kemudahan dan mimpi-mimpi mereka mendapat sandang papan yang murah. Janji - janji politisi itu terus dikumandangkan sehari - hari dan akhirnya menggoda masyarakat yang lelah dengan kemiskinan ikut dalam suasana mimpi yang sedang dibangun.

Petahana dan oposisi saling serang. Perang komentar dahsyat malah muncul pada tataran pendukung pendukung yang aktif di media sosial. Mereka seperti ingin menunjukkan bahwa merekalah yang benar. 

Dengan sudut pandang argumen sendiri. Yang satu merasa lebih benar yang lain tidak mau disalahkan. Yang satu punya pendapat bahwa kebijakan petahana terlalu menguntungkan asing, aseng sehingga mereka takut Indoensia tidak bisa mandiri dan terlalu bergantung pada negara lain. 

Gelegar janji politisi memberi mimpi-mimpi selangit tentang demokrasi, tentang sebuah negara mandiri, yang tidak mau didikte negara lain, tidak mau mempunyai beban hutang yang akan mencekik leher sendiri.

Pihak satunya mempunyai alasan mengapa harus berhutang, membangun infrastruktur, membangun dari tepian, mengurangi subsidi BBM, mengurangi ketergantungan pada bantuan langsung tunai, memberi rangsangan kreatif masyarakat untuk mencari pekerjaan-pekerjaan kratif, entrepreneurship dan melayani sepenh hati dengan memangkas birokrasi yang rumit menjadi lebih sederhana. 

Ada masyarakat yang masih ingin bernostalgia  dengan kemakmuran masa lalu, ada masyarakat yang berpikir ke depan dengan mengedepankan rasinalitas dan kemandirian berpikir. Ada pula masyarakat yang hidup dari mimpi-mimpi, janji-janji dan khayalan-khayalan tanpa harus bekerja keras.

Masyarakat demokratis yang baru saja tertidur panjang setelah ditekan oleh represifnya pemerintahan Orde Baru itu akhirnya berlari amat cepat, tetapi demokrasi itu akhirnya kebablasan, sebab kadang kebebasan itu menjadi demokrasi kurang ajar, demokrasi tanpa sopan santun, terjebak dalam pengkultusan, memberhalakan agama. Padahal tujuan utama agama-agama itu adalah menyembah Tuhan bukan mengkultuskan agama. 

Setiap kali bersentuhan dengan aturan agama orang mudah tersinggung, marah, beringas. Padahal fungsi agama adalah memberi ruang kebijaksanaan, menyuburkan luasnya jiwa untuk bertoleransi, saling menghargai kepercayaan satu dengan yang lainnya. Agama saat ini malah menjadi biang dari perpecahan, pertengkaran, perdebatan yang berujung pertumpahan darah, perang dan air mata kesedihan.

Ketika agama menjadi biang dari kerusuhan, muncul pertanyaan mengapa harus beragama jika ujung -- ujungnya berperang. Fanatisme memunculkan permusuhan. Siapa yang berbeda  itulah musuh sebenar- benarnya. Padahal semua manusia tidak ada yang sama persis pendapatnya. Tiap orang tentu mempunyai paradigma yang beda dalam memandang kehidupan.

 Yang sekarang sedang hangat dibicarakan adalah fenomena bohong. Ratna Sarumpaet. Menjadi tokoh utamanya. Ia adalah tokoh utama yang menjadi buah bibir dalam beberapa hari ini. 

Banyak sekali komentar yang nyinyir(bagi yang merasa sepaham dengan Ratna Sarumpaet, komentar yang beredar di media sosial dengan obyek sindiran dan cibiran itu adalah suara nyinyir). Tapi untung saja banyak trik dari pendukung RS yang mengobok-obok upaya mengalihkan masalah, menutupi dosa dan kebohongan yang sudah diakui untuk kembali membangun opini bahwa RS itu adalah korban dari berita hoax yang beredar di masyarakat. 

Rakyat yang cerdas itu selalu ditelikung dengan berita-berita bombastis, seakan- akan masyarakat memang masih bodoh dan perlu dikasih janji-janji oleh para politisi yang ingin mengeruk suara dengan menyebarkan ujaran kebencian terhadap petahana atau lawan politiknya.

RS, Gusti mboten sare (Tuhan Tidak Tidur). Jika anda ingin tetap terkenal, lalu  ngotot beda beda pilihan politik dengan selalu memandang tidak ada yang benar dengan apa yang dilakukan petahana saat ini, Tuhan pasti sudah berhitung. Suatu saat kelakuan yang mengedepankan kebohongan, intrik-intrik busuk, selalu melihat keburukan orang lain tentu akhirnya akan berbalik arah menunjuk dirinya sendiri.

Jika tujuan perjuangan anda itu mulia hanya untuk membahagiakan masyarakat tanpa maksud terselubung tentu Tuhan akan mencatatnya. Kebaikan awal mulanya akan selalu pahit. Tidak ada perjuangan yang langsung mudah. Tidak ada usaha tanpa tantangan, kegagalan, kepahitan, sedih, sengsara. Anda akan selalu menapaki bara api masalah dan tidak luput dari sindiran, nyinyiran orang yang tidak sepaham. 

Bekerja dengan diam, terus bekerja dengan tulus, tidak gembar-gembor dengan menunjukkan kebaikan diri sendiri itu banyak tantangannya namun akan manis pada ujungnya. Orang akan mengapresiasi, mencatat, dan akhirnya respek. Tentunya dengan tanpa syak dan prasangka sebagai sebuah pencitraan.

Kalau saya(penulis) mengamati pernyataan- pernyataan anda secara jujur,terus terang penulis tidak suka. Anda terlalu keji untuk selalu memandang diri anda baik sedangkan lawan politik anda buruk. Akhirnya anda ditegur. JIka anda tidur di atas kebohongan demi kebohongan lama-lama teguran keras akan menimpa anda. Anda disihkan, anda dibully, dipojokkan dan dijadikan bahan tertawaan. 

Untung saja anda adalah pemain teater, pemain watak, anda sudah terbiasa dengan dengan situasi tantrum, situasi di mana sudah menjadi resiko jika anda bermain sebagai tokoh antagonis yang akan selalu mendapat omelan, dampratan dan sinisme dari penonton yang melihat acting anda.

Akhirnya banyak orang menghakimi anda dengan aksi-aksi teatrikal anda. Lebih enak sebetulnya jika membungkus kritik terhadap dunia politik di atas panggung teater, tetapi terasa aneh ketika seniman seperti anda bermain api di dunia politik yang memang sudah konyol dari sananya. Apalagi, suara-suara anda yang kritis dan cenderung kontroversial dilengkapi dengan wajah anda yang memang cocok jika menjadi tokoh antagonis. Kloplah.

Sekali lagi Tuhan itu tidak pernah tidur. JIka anda berbohong hanya dalam hati saja Tuhan Tahu apalagi anda benar-benar berbohong hanya untuk trik politik dan membangun opini seakan-akan lawan musuh anda memang layak dibenci.

Sebelum berbicara dan mengritik itu seharusnya berkaca dulu, melihat wajah sendiri. Kalau sempurna berarti memang anda berhak mempunyai mengritik orang lain. Tetapi apakah ada manusia sesempurna pujaan anda.

Kritik itu baik, tetapi jika kritik itu membabi buta dan menutup mata terhadap kebaikan lawan berarti anda tidak adil. Lebih baik jika mengritik itu disertai solusi, tetapi itulah yang tidak terpikirkan oleh para oposan. Mengritik kebanyakan bertujuan untuk menjatuhkan, menekan agar musuh akhirnya mendapat malu, musuh akhirnya tersingkir oleh gencarnya hasutan, gencarnya ujaran kebencian yang menggiring masyarakat percaya dengan bombardir opini yang memojokkan seakan- akan semua salah dia, tidak ada yang bagi yang bisa dilakukan dimata dia.

Pada latihan dasar teater sering kali calon aktor belajar untuk bermeditasi, belajar mengenal diri secara utuh, belajar mengenal watak-watak. Kekritisan orang teater tentu karena pengendapan. Seringkali merenung dan mengamati dan akhirnya mampu melihat dengan mata bathin. 

Anda tentu bisa membedakan orang yang benar- benar tulus bekerja atau sekedar mencari popularitas hanya untuk mendapat posisi dalam lingkup kekuasaan. Sekarang jika anda  orang teater di manakah posisi anda? Bagi saya dulu ketika pernah berlatih teater, melihat dengan mata bathin itu adalah latihan yang dilakukan oleh orang yang benar- benar mampu dengan jernih melihat baik dan benarnya tingkah seseorang. 

Katakanlah WS Rendra, dengan puisinya dia mengritik kehidupan sosial, bukan sekedar mengritik membabi buta, tetapi kritikannya penuh tuntunan. Tokoh lain adalah Emha Ainun Nadjib.Kritikannya menghunjam nurani pada siapa saja, Tidak peduli kepada presiden, ulama, pejabat, hakim, masyarakat biasa, manusia - manusia yang masih kerdil pikirannya.

Saya sebetulnya tidak percaya sekelas anda sebagai aktor watak ternyata anda menggadaikan idealisme sebagai seniman teater bermain dalam politik praktis yang penuh onak duri. Apalagi dengan berbohong hanya untuk trik-trik politik busuk demi kemenangan. Menjadi seniman teater itu sebuah pilihan pun dengan menjadi politisi. 

Mungkin ini perjuangan anda sebagai seniman yang kritis tapi banyak orang memandang anda sebagai tokoh pembohong kelas kakap. Bukan pimpinan teater yang disegani. Opini masyakarakat terbanyak menjadi hukum utama masyarakat media sosial dan anda kalah telak!(meski hati kecil anda merasa masih menggenggam kemenangan.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun