Teknologi Mempermudah Urusan
Boleh jadi kemajuan zaman telah membuat manusia bersorak karena kemudahan-kemudahan, transaksi, belanja, pemesanan barang, jasa perpanjangan SIM, pembayaran listrik, transfer uang tidak harus berpeluh menuju kantor pelayanan. Pergi ke mal atau bertemu langsung antara penjual dan pembeli. Duduk manis di rumah saja dengan gawai, barang datang sendiri.
Sibuk di kantor tidak sempat keluar kantor karena pekerjaan menumpuk tetapi urusan membayar PAM, listrik, cicilan kendaraan, cicilan kartu kredit, PBB mengantri. Pusing? Tidak perlu karena sudah banyak aplikasi yang membantu untuk mempermudah transaksi.
Anda cukup mempunyai smartphone yang capable dan tentu saja pulsa dan paket data internet yang cukup. Bisa mengaktifkan mobile banking, aplikasi pembayaran dari toko online. Bank-bank sekarang juga berekspansi untuk mempermudah pembayaran dan urusan dengan kartu pintar dan gawai.
Orang-orang sekarang dimanja dengan berbagai aplikasi yang memudahkan anda menyederhanakan urusan. Tetapi kemudahan itu kadang banyak kelemahannya.Â
Anda menjadi terlalu sibuk dengan diri sendiri, introvert dan terlalu mengandalkan teknologi. Benda kecil itu sudah seperti istri, bahkan lebih, karena istri tidak mungkin ditenteng ke mana-mana sedangkan gawai di manapun dan kapanpun akan selalu dibawa.
Perubahan Cepat dengan Hadirnya Teknologi
Smartphone, media sosial, teknologi digital telah membawa perubahan budaya. Budaya serba cepat, instan dan milenialis. Orang-orang muda tentu menyambut baik budaya baru tersebut. Mereka menikmati berbagai kemajuan teknologinya dan cepat menyerap pengetahuan baru untuk dicoba dan diterapkan. Yang megap-megap adalah generasi sebelumnya, apalagi mereka yang lahir sebelum era 70 an.
Saya termasuk generasi yang cukup terbirit-birit mengikuti perkembangan dunia digital dan teknologi yang sangat cepat berkembang. Bahkan HP saya pun masih terpaku pada teknologi yang masih menggunakan internet 3G. Tetapi bukan berarti saya tidak berniat mengikuti perkembangan teknologi.
Saya hanya terbata-bata saja karena belum selesai menikmati internet tekhnologi berbasis 3G (Thirt Generation), 4G (Fourth Generation, (Generasi keempat yang kecepatan mengakses gambar, suara, dan pembelian paket data dengan teknologi 4G lebih murah dan lebih jernih menerima gambar dan suara lewat internet).Â
Pengembangan Generasi keempat sudah dikembangkan oleh hampir semua provider baik dari ZTE (Swedia) maupun WIMAX, Korea yang bekerja sama dengan Lippo Group) sudah datang dan sekarang malah sudah berencana meluncurkan yang 5G, semakin terengah-engah saya.
Ketika dulu SMS menjadi lompatan baru dalam komunikasi, sekarang SMS bahkan hampir tidak dilirik. Sudah ada video call lewat WA atau BBM Messenger.Â
Untuk berdialog dengan keluarga tidak perlu lagi harus mengeluarkan uang banyak, cukup mempunyai data internet yang cukup, lalu silahkan ngoceh sepuasnya dengan saling melihat di video secara langsung. Amazing bukan?!
Saya mungkin boleh dikata diketawain oleh kaum milenial karena ketika ditanya ini itu entah tentang game, aplikasi-aplikasi di HP dan kabar-kabar terbaru lainnya saya hanya melongo. "Oooo, ada tho. Hallaah jadul amat mas Brooo".
Tetap Harus Mengikuti Meski Terbirit-birit
Tetapi sebagai orang yang suka menulis, saya harus memaksa diri mengikuti perkembangan teknologi untuk bisa mengikuti tren perkembangan terkini. Boleh jadul tetapi ya tidak perlu terlalu jadul. Itu Terlaluu... kata Rhoma Irama. Hanya ada perasaan aneh dengan majunya teknologi tersebut. Salah satunya adalah merosotnya budaya santun dan ramah seperti yang sering dikemukakan oleh wisatawan manca bila menanggapi tentang masyarakat Indonesia.
Kalau dulu permainan yang melibatkan banyak orang, bekerja secara team work, jalinan persaudaraan kuat, empati, simpati antar teman amat terasa, sekarang anak-anak muda zaman now dan mereka yang terjangkit kemudahan teknologi lebih suntuk dengan gawainya dengan sahabat barunya yang lebih mengasyikkan.
Di rumah ayah dan ibu akan lebih banyak bertengkar dengan anak karena seringnya anak sibuk dengan gawainya daripada belajarnya. Budaya ngeyel dan memberontak lebih sering terdengar hanya gara-gara HP. Bahkan ada anak bunuh diri gara-gara tidak di beri HP. Konyol kan?! Tapi itulah kenyataan.
Kebudayaan telah menemu habitat baru, mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri tetapi tetap harus waspada agar akar budaya yang dibanggakan bangsa selama ini tidak tergerus dengan teknologi yang terlalu kapitalis, hedonis dan liberal.
Anthony Gidden (2000) sudah memperkirakan bahwa manusia harus mengikuti teknologi karena akan terbirit-birit sendiri bila menutup diri dari teknologi, ia menyebut sebuah dunia yang lari tunggang langgang. Tetapi seharusnya tetap ada pijakan kuat budaya lokal yang mengerem dampak buruk teknologi. Manusia tetaplah makhluk sosial yang selalu bergantung pada manusia lain. Homo Homini Lupus.Â
Hubungan manusia dengan manusia lain tetap tidak tergantikan dengan teknologi. Teknologi hanya mempermudah komunikasi tetapi manusia tidak boleh tunduk pada teknologi.Â
Secanggih-canggihnya teknologi tetap lebih sempurna manusia. Makanya manusia tetaplah leader yang harus mampu menundukkan teknologi bukan untuk mendewakan gawai dan menjadi kacung teknologi.
Efektif Menyebarkan Ujaran Kebencian lewat Media Sosial
Sekarang ini dengan kemajuan teknologi terlalu sering mendengar gawai menjadi benda efektif untuk menebarkan ujaran kebencian, memprovokasi orang-orang untuk pesimis atau memanfaatkan teknologi untuk selingkuh dan melakukan penyimpangan-penyimpangan perilaku, seksual atau persekusi lewat kata-kata. Media sosial menjadi penyebar berita bohong, dan penyebaran paham radikal yang mengurangi kadar kebudayaan bangsa yang begitu dibanggakan.
Semakin lama manusia sering terjebak dalam paham fanatik yang membeda-bedakan keyakinan. Agama sering dimanfaatkan untuk melebarkan perbedaan, memicu perseteruan dan mengobarkan perang antar saudara. Budaya menjadi tercabik-cabik remuk redam bila menyaksikan perang komentar di media sosial.
Manusia harus bijaksana memanfaatkan teknologi. Kalau tidak nanti akan akan menjadi bumerang bagi manusia menjauhkan dengan budaya luhur bangsa, etika ketimuran dan terjebak dalam arus liberalisme yang sangat mengagungkan hukum pasar.Â
Gotong royong, ragam budaya nusantara yang kaya filosofi yang adiluhur, lokal genius serta sifat ramah tamah yang dikagumi bangsa lain yang harus dipelihara.
Kalau masyarakat terpancing untuk menebarkan kebencian di media sosial berarti tinggal menunggu kehancuran sebuah bangsa, yang tercabik-cabik dan terpecah- belah oleh kata-kata nyinyir yang beranak pinak dan viral di media sosial.Â
Saatnya kita serukan "Siapa Kita? Indonesia!" (bersama membangun negara agar sejajar dengan negara maju).Jangan hanya sibuk saling sindir dan nyinyir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H