Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dilema Guru Zaman Milenial

3 Agustus 2018   14:24 Diperbarui: 3 Agustus 2018   14:40 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aktifitas Anak Fieldtrip di Bandung didampingi Guru (dokumen Pribadi)

Saya guru sebuah sekolah menengah di Jakarta. Sudah bertahun - tahun menghadapi siswa(sejak 2001). Tipe siswa yang beragam membuat saya mengerti betapa kompleksnya masalah yang dihadapi setiap orang tua. Dari latar belakang yang berbeda- beda itu saya melihat semakin modern semakin banyak benturan antara kepentingan guru dan orang tua murid.

Guru Amat Menentukan Tumbuhnya Karakter Siswa

Dulu guru amat menentukan dalam membentuk karakter siswa, orang tua pun tidak terlalu campur tangan bila ada masalah antara murid dan guru. Ibaratnya guru adalah orang tua di lingkungan sekolah. Ia bisa memukul, menampar atau menghukum anak  tanpa ada gesekan berarti dari orang tua siswa. Guru disegani dan mampu bersikap tegas terhadap siswa dengan cara menghukum entah fisik maupun psikis. 

Orang tua menyerahkan sepenuhnya pengasuhan dan pendidikan pada guru. Guru galak dan tegas begitu dikenang siswa. Malah banyak murid yang datang berterimakasih karena telah dididik dengan keras, sehingga mentalnya menjadi kuat saat harus terjun dalam "universitas" kehidupan. Gemblengan guru menjadi point positif terhadap karakter ketika sudah dewasa.

Siswa mendengarkan pengalaman alumni yang sudah bekerja sebagai motivasi untuk belajar tekun dan mempelajari kehidupan pasca sekolah (dokumen pribadi)
Siswa mendengarkan pengalaman alumni yang sudah bekerja sebagai motivasi untuk belajar tekun dan mempelajari kehidupan pasca sekolah (dokumen pribadi)
Guru menjadi tokoh sentral yang memberi pondasi bagi karakteristis siswa di lingkungan sekolah. Dulu sekolah dengan disiplin tinggi dan dengan peraturan yang tidak memungkinkan siswa "seenak gue" banyak dicari. 

Catatan- catatan penulis ini ketika sekolah di sekolah swasta katolik, memberi bukti bahwa sekolah adalah tempat penggodokan disiplin, tempat bersosialisasi, melatih komunikasi serta memungkinkan siswa meningkatkan kemampuan diplomasi dengan ikut organisasi sekolah. 

Bahkan kemampuan entrepreneurpun terlatih dengan memberi kesempatan usaha, promosi, eksperimen untuk sebuah usaha. 

Kegagalan kecil adalah sebuah pembelajaran untuk bisa belajar dari kesalahan. Nah peran sekolah dan guru sangat penting untuk mendampingi siswa yakin dengan kemampuan dan intelegensinya.

Sekolah Adalah Otoritas Guru

Tapi semakin modern dan semakin canggih teknologi ada dampak besar yang terasakan oleh guru. Guru merasa ada mata- mata yang melihat aktifitasnya di sekolah. Media sosial, memungkinkan orang tua siswa "nyinyir" terhadap apapun kebijakan guru. 

Salah sedikit guru menjadi bahan bullyian di grup medsos dan akhirnya menjadi viral hingga menyebabkan reputasi guru jatuh.

Orang tua milenial, merasa bahwa ia berhak memantau, campur tangan dan ikut andil dalam membentuk karakter anak walaupun itu di lingkungan sekolah. Bukankah sekolah adalah wilayah guru? Metode pengajaran guru serta aktifitas di lingkungan sekolah adalah wilayah hukum guru. Otoritas guru besar dalam mendidik anak dengan cara apapun sejauh untuk meningkatkan kecerdasan intelektual maupun emosional siswa.

Bukan hendak menjelekkan orang tua tetapi beberapa kasus terpapar bahwa jika orang tua kecewa dengan guru ujung-ujungnya mereka memilih menempuh jalur hukum dengan menyewa pengacara, atau langsung mengadukan kelakuan guru ke yayasan atau pejabat yang berwenang menegur guru. Guru menjadi serba salah dan tidak lagi bebas menghukum atau memberi efek jera pada siswa. 

Akhirnya banyak guru masa bodoh dan terkesan cuek dengan segala problem siswa yang setengahnya terbawa dari kondisi keluarganya yang broken home, pola didik orang tua yang terlalu melindungi anak dengan bersikap terlalu protektif. Malah dalam beberapa kasus Orang tua marah besar jika anaknya dimarahi guru karena tindakan indisipliner.

Zaman Tunggang Langgang dan Problem Guru "Jadul"

Banyak orang tua sekarang seperti menempatkan diri sebagai majikan yang berhak mendikte sekolah karena ia mempunyai kuasa telah membayar uang sekolah yang cukup mahal, lalu menuntut balik kontibusi sekolah terhadapa dirinya dan anaknya untuk diperlakukan ekslusif, tak tersentuh.

Ketika banyak kasus pelecehan sexual yang melibatkan oknum guru, banyak guru yang sebetulnya amat professional, begitu peduli, berdedikasi menjadi  ikut terdampak dengan kasus itu. 

Guru menjadi semakin dilematis ketika di sisi lain pengetahuan umumnya kedodoran oleh agresifnya murid mencari pengetahuan dari internet. Ia lebih tahu sebelum guru mengajarkannya dan menganggap guru kudet( kurang update).

Gurupun semakin terpinggirkan karena Internet telah begitu banyak memberi  pengetahuan daripada guru yang hanya berdasarkan catatan pengetahuan masa lalu atau dari buku sumber dari dinas pemerintah atau penerbit.

sumber: guraru.org
sumber: guraru.org
Dilema guru milenial adalah  begitu banyaknya tugas administrasi yang harus diselesaikan serta padatnya waktu karena aktifitas belajar mengajar, tetapi kurang waktu untuk mengolah diri dengan membuka- buka pengetahuan entah buku pengetahuan, entah ilmu-ilmu baru yang bisa diikuti lewat tutorial internet, youtube. 

Sekarang ada aplikasi ruang guru yang memungkinkan anak- anak milenial tanpa pendampingan guru langsung tetapi secara virtual. Posisi guru semakin sulit karena media sosial sekarang lebih berperan sebagai mata-mata daripada alat bantu komunikasi yang memudahkan interaksi guru, murid dan orang tua.

Saya jadi ingat artikel saya yang menjadi salah satu pemenang penulisan tentang pendidikan di penerbit Kanisius. Di zaman yang berlari ini guru harus terbirit-birit mengikuti perkembangan teknologi yang amat cepat. Antony Gidden(2000) menyebut dunia yang lari tunggang langgang. Canggihnya internet membuat guru mau tidak mau harus selalu Up to date, sebab jika tidak guru tidak lagi dianggap. 

Meskipun secara teori  pendidikan guru sekarang (Kurikulum 2013) lebih sebagai fasilitator, tetapi seharusnya guru adalah tumpuan utama sebagai pendidik dan pembentuk karakter siswa yang efektif. Donny Koesuma A.(dalam Buku Pendidikan Karakter terbitan Grasindo) menulis Guru bukanlah profesi yang mampu berdiri atas dasar kharisma pribadi. Kehadirannya selalu ada dalam jalinan relasi sosial dengan masyarakat.

 Guru bersama orang tua harus bersinergi, bukannya berseberangan. Problem keluarga bisa diredam dengan kemampuan guru untuk memberi pencerahan pada siswa didik sehingga persoalan keluarga tidak sampai mempengaruhi perfoma siswa  di sekolah. 

Sekolah itu adalah tempat menggodok mental dan menemukan jati diri, bersama guru yang berperan sebagai sahabat, orang tua, fasilitator siswa menemukan dirinya.

Menjadi guru juga perlu ditegaskan dengan ikut andil menjadi penulis sehingga pengetahuan dan kemampuan ilmu terus terasah. Untuk  itu keaktifan menulis bisa memberi nilai plus. Mari berlari mengejar zaman yang tunggang langgang ini dengan terus mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan mengelola gagasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun