Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Gelisah Jiwa Pak Guru Seno

21 Mei 2018   15:33 Diperbarui: 21 Mei 2018   15:50 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh:Ign Joko Dwiatmoko

Masam muka pak Guru Seno. Berangkat sekolah dengan muka ditekuk. Tak ada kegembiraan terpancar. Sudah beberapa bulan belakangan Pak Guru Seno selalu diam tanpa sebab. Murid-murid seperti Hardo, Masnain, Sarwono, Sumarman hapal dengan perubahan wajah Pak Guru Seno. Pertengahan bulan, hari Senin atau  Selasa. Rasa penasaran Hardo menjadi-jadi saat  ia melihat mata  cekung Pak Guru Seno menampakkan mata sayu seperti putus asa.

Semenjak menikah banyak perubahan yang terjadi dalam sikap, pembawaan Pak Guru Seno. Candaan yang begitu lepas, senyum yang penuh arti dan imajinasi yang tak pernah henti saat mengajar. Kini Hardo tengah bersiap menghadapi berbagai try out try out karena sebentar lagi ujian nasional akan segera tiba.

Tapi rasa penasaran Hardo membuat ia memutuskan untuk membuntuti Pak Guru Seno setelah jam pelajaran selesai.  Pak Guru seperti enggan pulang, ia ingin menikmati suasana baru yang tak pernah terasa semenjak menikah yaitu kebebasan berekspresi. Pak Guru Seno rebahan di kolam pemancingan Mbah Karso. Tempatnya sejuk karena di sekitar kolam terdapat pohon rimbun menjuntai hampir ke tengah kolam. Sejenis pohon maja dan sederetan pohon talok dan Kayu  Mahoni.

Dari jauh Hardo melihat ada kegelisahan di mata Pak Guru Seno.

"Aaaaaaauuuuuuuuu......"

Secara tiba-tiba Pak Guru seno teriak sekencang-kencangnya, tangannya mengepal lalu kepalannya menghunjam tanah. Emosinya yang menekan itu ia buang paksa. Ia tak ingin ada kekesalan berlarut-larut.

Dari balik gerumbul Hardo  bengong antara kaget dan penasaran apakah yang terjadi dalam diri pak guru yang terkenal dengan banyolannya itu. Dengan penuh kehati-hatian  Hardo mendekat ia ingin melihat langsung ekspresi Pak Guru seno. Matanya berkaca-kaca, bibirnya bergerak-gerak. 

Tampak emosional, tampak rasa kesal itu bertumpuk selama berbulan-bulan. Orang lain mungkin tidak menangkap perubahan pak Guru Seno, tapi ia hapal ekspresi itu saat melihat ayahnya sering berantem dengan ibunya. Ekspresi itu persis tampak ketika ia memandang ayahnya yang sudah meninggal tiga tahun lalu akibat sakit Lever akut.

Ia seperti melihat ulangan-ulangan kejadian saat ayahnya yang penyabar dan tekun tak berdaya dengan tuntutan-tuntutan hidup dan standar lebih dari ibunya yang suka dandan dan pergi ke salon rutin. Padahal ayahnya bukanlah pegawai tinggi. Ia hanya pegawai rendahan yang gajinya habis sebelum pertengahan bulan.

"Dodo, sini nak ayah ingin bicara..."

Wajah pasi ayahnya dan tubuhnya yang kurus dengan muka tirus terangah-engah menahan sakit di bagian dada bawahnya."Kau belajarlah yang tekun, kejar cita-citamu setinggi tingginya"

Tak terasa ada air mengalir dari kelopak mata Dodo, ia tidak tega melihat betapa sengsaranya ayah menahan sakit yang amat sangat. Badannya lemah, senyumnya berat dan sorot matanya menerawang seakan-akan seperti melihat jauh ke awang-awang.

Ia berbisik ke telinga Hardo."Jadilah laki-laki tegar, dan bertanggung jaaawaaabbbbbhhhh...."

Itulah pesan terakhirnya. Kata-kata itu masih ia ingat sampai sekarang. Akhirnya nyawanya meninggalkan raganya merdeka dalam arti sebenarnya meskipun berat meninggalkan anak laki-lakinya yang sedang tumbuh kembang.

Percuma air matanya menetes toh ayahnya tidak akan kembali lagi. Ia sudah bahagia di alam lain, tinggal kini ia harus realistis. Yang ia hadapi adalah realita hidup ia tidak boleh cengeng seperti yang diajarkan ibunya yang keras.

Ia menemukan sosok ayahnya saat masuk ke jenjang SMA  Ia adalah guru IPS yang suka mendongeng dan selalu bercerita tentang bagaimana hidup itu harus dihadapi dengan keceriaan dan kekocakan.

"Hardo, Kau sudah PDKT ke Ningrum belum, ah percuma aku dongengi cerita Arjuna bila kau tidak punya nyali mendekatinya."

"Ehmm. Emang harus pak Guru..."

"Ciee, cupu kau..."

"La bapak guru dulu juga takut ditolak khan hingga jomblo lama...."

" makanya jangan tiru bapak, tiru itu si Arjuna, kau tidak buruk-buruk amat bahkan lumayan ganteng, kulihat Ningrum sebenarnya juga suka sama kamu, kamunya aja yang pasif."

"Ehm kata ibu saya belum waktunya pacaran, nanti berantakan belajarnya."

"Sebagai pengalaman hidup sekali-kali perlu Do''

"Okelah nanti saya coba Pak Guru"

"Hahaha..... bagus!"

Hardo teringat dua tahun lalu, sebuah masa penuh petualangan cinta dan akhirnya ia memang sempat pacaran dengan Ningrum meskipun kini harus berpisah karena keluarga Ningrum memutuskan pindah kota dan kini ia tak tahu lagi kabar tentang Ningrum.

Ia melihat mata itu persis apa yang dirasakan Ayahnya. Ia sayang sama pak Guru Seno dan tak ingin kehilangan lagi. Sesosok ayah yang menginspirasi bahasa kerennya.

Ia mendekat ke Pak Guru, Matanya lekat menerobos liar dalam jiwa Pak Guru Seno. Tercekat Pak Guru Seno menatap betapa tajamnya mata Hardo sampai terasa ada bahasa kalbu yang mampu ia tangkap dari mata bocah yang telah beranjak dewasa tersebut.

Hardo lalu bercerita tentang ayahnya dan cerita pilu yang akhirnya mengakhiri perjalanannya di dunia ini.

"Terimakasih Do, tadinya aku sudah frustasi menghadapi istriku. Apalah dayaku seorang guru yang berpenghasilan pas-pasan tapi tuntutan begitu berat harus kutanggung."Kalau kau tidak datang sekarang mungkin aku sudah mati. Aku ingin mengakhiri hidup Do. Tapi saat melihat sorot matamu, aku jadi sadar, perjalananku masih panjang. Aku harus bisa melewati perjalanan panjang itu dengan usaha dan doa. Melihat senyummu aku seperti melihat kehidupan lagi."

"Ia pak, Bapak itu seperti ayahku, Dodo tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya."

Semburat senja memerah, senja hadir menutup percakapan antara Guru dan Murid. Malam tiba dan mereka kembali ke rumah masing-masing. Dengan hati cerah Pak Guru Seno pulang, ia akan hadapi omelan, keceriwisan istrinya dengan kesadaran penuh. Mencoba bijaksana tidak terpancing emosi dan berusaha mengalah, mengalah dan mengalah dengan senyum kemenangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun