"Alif berdoa supaya ibu pulang saat ulang tahun Alif."
Ustad Salim terdiam. Benar. Anak itu sudah enam tahun tidak bertemu ibunya. Sejak ibunya memutuskan bekerja ke luar negeri sebagai TKW, Alif tidak pernah lagi bertemu dengan ibunya. Padahal, ustad Salim pernah mendengar kabar bahwa ibu Alif tidak pernah ke luar negeri. Ia bekerja di kota, hanya tak pernah ingin kembali.
"Sesuai janji ibu, katanya akan pulang saat Alif 12 tahun," gumam Alif rendah.
***
Ini malam terakhir Alif berdoa untuk kepulangan ibu di ulang tahunnya yang ke 12. Sungguh Alif meminta hingga air matanya luluh. Di sepertiga malam, Alif menundukkan kepala begitu dalam, berharap sekaligus pasrah pada keputusan Tuhan.
Pagi hari Alif duduk termenung di depan pintu. Pandangannya meratapi bambu-bambu yang berdiri di pelataran. Tidak ada kerupuk yang dijemur pagi ini. Bukan karena hari ini hari spesial hingga bapak berhenti membuat kerupuk. Melainkan karena bapak sakit kian parah hingga harus istirahat.
Sasag masih ditumpuk di belakang rumah. Tidak ada asap mengepul. Semua hening, sehening hati Alif hari itu. Ada rasa sedih, ada harap yang kelewat tinggi hingga saat mata Alif tak menemukan siapapun di ujung jalan, ia menangis.
Pagi, siang, hingga menjelang sore. Alif masih setia duduk di depan rumah. Sesekali pergi menyuapi bapak makan dan membantu minum obat.
Napas Alif berembus kencang. Lalu diakhiri dengan embusan tipis yang panjang. Ia beranjak. Selangkah mundur ke arah pintu.
"Assalamualaikum!" Teriakan yang kencang itu menghentikan langkah Alif. Ia menolah. Seorang wanita paruh baya berlari ke arah Alif. Tanpa basa-basi ia memeluk Alif dan mengucurkan air mata.
"Ibu, Alif kangen...." Suara Alif sumbang, terucap di antara jeda pelukan kerinduan itu.