Ada yang kosong di pelataran rumah. Beberapa waktu lalu, sebelum ada amplop cokelat datang, pelataran itu penuh dengan tiang bambu lengkap dengan sasag. Namun sejak sebuah amplop cokelat mendarat di meja ruang tamu Alif, yang diantar kepala desa dan beberapa orang berbaju tertutup, semua berubah. Tiang-tiang itu sudah dicabut dan asingkan ke samping gubuk. Sasag bertumpuk-tumpuk di belakang gubuk, dekat dengan dapur.
Gubuk itu pun kosong. Tak jauh berbeda dengan pelataran yang menyisakan rumput-rumput tak kasat mata. Ada, tapi diabaikan begitu saja. Dinding geribik dengan lubang-lubang besar mengantar angin dingin merasuk. Kadang kala, terlihat kucing menerobos mencuri ikan asin. Itu pun jika ada.
Atap menghitam meski asap dari tungku tidak lagi mengepul. Lapuk. Beberapa bahkan bisa ditembus air hujan yang deras. Berderai hingga membanjiri kamar-kamar.
Alif masih duduk termangu di depan pintu. Kedua tangan bertopang dagu. Sesekali matanya menjauh seakan menunggu seseorang datang dari ujung jalan. Namun, tidak ada.
Sudah terlalu banyak doa dipanjatkan, hingga rasanya tangan dan mulutnya kehabisan daya. Lelah.
Ingatannya akan kembali jika ia sudah melemah. Air matanya mengalir meski ia berusaha menguatkan diri. Ia harus hidup, agar pelatarannya tak kosong dan atap rumahnya tidak hitam. Atau agar tak ada hujan di kamarnya.
Ah sial, ia tetap seorang bocah sendirian.
***
"Tinggalkan saja. Biar bapak yang menyelesaikan." Bapak meneriaki Alif yang masih membantu mengangkat sasag. "Cepat mandi, lekas ke surau."
Alif menghentikan tangannya. Ia menatap bapak cermat. Sebenarnya ia tidak ingin pergi sebelum pekerjaan bapak selesai. Sudah dua bulan ini, lelaki tua itu tak gagah lagi, sering batuk-batuk, apalagi di malam hari. Sungguh tega jika Alif meninggalkan bapak dengan pekerjaan ini.
"Sebentar lagi, Pak. Toh, Alif nggak akan telat kok. Alif sudah lihai lari di pematang." Tawa Alif melengkapi kalimatnya.