Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sungguh, Ibu adalah Sekolah Pertamaku

6 Desember 2020   23:58 Diperbarui: 7 Desember 2020   00:05 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: @dwi_klarasari

Ibu melewati masa yang berat selama mengandung hingga melahirkan aku. Dari cerita ayahku, yang kemudian menjadi prasasti dalam namaku, masa-masa itu merupakan masa tersulit bagi keluarga kami. Bagiku, menceritakan ibu seperti menguras lautan, tak akan pernah ada habisnya.  

Entah sudah berapa puisi dan artikel tentang ibu yang kutulis, tetapi tak habis juga kisah tentang pahlawanku yang satu ini. Tema "Ibu, Sekolah Pertamaku" demikian menggugah hingga membuatku ingin mengenang semua pelajaran pertama yang kudapat dari mendiang ibu.

 

Guru iku digugu lan ditiru.

Akronim "guru" dalam bahasa Jawa yang berarti orang yang dipercaya dan diikuti tersebut mewakili relasiku dengan ibu sebagai "sekolah pertamaku". Aku (dan saudara-saudaraku tentunya) meniru banyak hal positif dari keseharian ibu sepanjang hidupnya. Dari ibu kami belajar banyak hal jauh sebelum masuk sekolah formal. Ibu adalah sekolah pertamaku dalam arti sebenarnya.

Dari "sekolah pertamaku" aku belajar agama dan religiositas, tata krama, budi bahasa, kecintaan pada seni, budaya, dan lingkungan. Dari "sekolah pertamaku" juga kupelajari beragam keterampilan. Aku belajar untuk menjadi pribadi tangguh yang senantiasa bersyukur dan rela berbagi.

Berdoa, Berbahasa hingga Tata Krama

Pada masa balita aku sempat tinggal di desa bersama kakek nenekku. Kala itu orang tuaku hijrah ke kota untuk penghidupan lebih baik. Aku diambil kembali beberapa tahun kemudian. Konon ada pelajaran kurang tepat yang kucerap dalam pergaulan selama tinggal jauh dari orang tua.

Hal ini tidak mematahkan semangat orang tua, terutama ibuku untuk mendidik buah hatinya mulai dari awal. Ibarat komputer mungkin ketika itu aku perlu di-reset. Kesalahanku dalam memaknai agama, bahasa, dan tata krama kembali diluruskan.

Di kota aku kembali dimasukkan TK, padahal di desa aku sudah menjalaninya. Begitu pun rumah dan ibu selalu menjadi sekolah pertamaku. Di rumah ibu mengajari kami berdoa dan beragam kemampuan dasar anak usia dini, termasuk berbahasa dan tata krama.

Selain mengajari berdoa dan kehidupan beragama lain, ibu juga memberi pengertian adanya perbedaan di lingkungan masyarakat. Ibu mengajari kami bagaimana harus rukun dengan teman-teman yang berbeda agama maupun suku. Bukan dengan kata-kata, tetapi melallui teladannya. Ibu bergaul dan menjalin hubungan baik dengan siapa saja.

Ibu mengajari kami basa krama (berbahasa Jawa halus) kepada orang tua. Misalnya, ibu mengajariku menghafal basa krama yang harus kuucapkan ketika memintaku mengantar uang arisan ke Bu RT. Tanpa mengabaikan bahasa Jawa, sejak kecil kami juga dilatih untuk berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Sejumlah teman merasa heran mendengar kami berbahasa Indonesaia saat bicara dengan ayah ibu. Seperti sinetron saja, kata mereka. Sementara banyak di antara mereka asyik ngoko (berbahasa Jawa kasar) pada orang tua mereka.   

Ibu juga mengajari bagaimana melakukan komunikasi jarak jauh dengan berkorespondensi. Saat aku kelas 3 SD, ibu mengajari aku menulis surat pertamaku untuk ayah yang sedang belajar di kota lain. Ibu menumbuhkan minat menulisku dengan membiasakan diri bercerita lewat hobi surat-menyurat.

Rumah sebagai sekolah dengan ibu sebagai guru berlangsung hingga kami duduk di sekolah menengah. Bukan berarti ibuku menguasai semua pelajaran. Namun, kami diajarkan untuk belajar mandiri dan bertanggung jawab. Sampai lulus sekolah menengah kami tidak pernah diikutkan les pelajaran seperti kawan-kawan dari keluarga berada.         

Begitu pun ibu mengajari banyak hal yang tidak kami dapat di sekolah. Satu yang paling kuingat adalah lagu berbahasa Inggris pertama yang diajarkan ibu saat aku masih duduk di bangku SD. Aku teringat betapa bangganya kuajarkan lagu itu pada kawan-kawanku di Gang Beruang. Lagu berjudul "The Happy Wanderer" itu boleh jadi turut menumbuhkan rasa cintaku pada alam.

I love to go a wandering/ Along the mountain track/ And as I go, I love to sing, My knapsack on my back/ Valderi, valdera, valdera, Valdera ha ha ha ha ha ha, Valderi, valdera, My knapsack on my back ...

Ibu juga mengajarkan banyak hal lain yang kurasakan manfaatnya hingga kini. Salah satunya adalah menabung dan mengelola uang. Sejak kecil kami selalu diberi celengan. Kami dilatih menyisihkan uang jajan yang tidak seberapa untuk ditabung serta membeli barang sesuai kebutuhan dan kemampuan.

 

Keterampilan sebagai Perempuan

Dari "sekolah pertamaku" aku juga dibekali aneka keterampilan, terutama sebagai seorang perempuan. Agar dapat melayani orang lain, setiap orang harus mampu dan mau melayani diri sendiri. Mungkin inilah prinsip yang dianut oleh "sekolah pertamaku".

Ibu mengajari kami untuk terampil melayani diri sendiri sejak duduk di sekolah dasar. Sehabis makan, kami wajib mencuci piring dan gelas masing-masing. Aturan kedua, jika saat mencuci ada gelas/piring kotor kami dimintai bantuan untuk mencucinya. Kami juga diajari mencuci dan menyetrika sendiri baju kami. Aduh, aku teringat betapa susah menyetrika seragam karena rok bawah seragam SD-ku modelnya penuh lipitan. Mana pakai setrika arang lagi. Alamak!

Diawali dengan tugas memasukkan benang ke dalam jarum, lama-kelamaan kami pun diajari menjahit. Kata ibu, minimal kami harus bisa memasang kancing yang lepas, ngesum lipatan baju yang koyak, atau sekadar menjahit baju rumah yang robek.   

Ibu juga chef ulung yang mengajari kami memasak. Dengan melibatkan anak-anaknya di dapur ibu menumbuhkan minat sekaligus kreativitas memasak. Diam-diam aku rajin mencatat resep masakan yang dibuat ibu hingga bisa memasak seenak beliau.

Ibu sering mencandaiku 'mosok anak perempuan masak selalu lihat resep'. Waktu itu kujawab 'Ah, ngafalin pelajaran aja susah kok mesti ngafalin resep'. Ibuku hanya tertawa mafhum. Namun, prinsip ibu bahwa enaknya masakan sangat dipengaruhi oleh kasih dan keikhlasan sang juru masak sangat menginspirasiku hingga kini.           

Belajar Mencintai Seni, Budaya, dan Lingkungan

Ibuku seorang pencinta seni. Di lingkungan kerjanya dan di lingkup kelurahan ibu ikut serta dalam kelompok gamelan. Beliau pemegang bonang, dan sesekali memainkan kendang. Kemudian hari ibu juga belajar pranatacara (pembawa acara dalam tradisi Jawa). Tak heran jika ibu pun ingin anak-anaknya berkesenian.

Meskipun kadang kala hati merasa berat, kami menerima saja dorongan ibu untuk mencintai seni dan budaya. Sejak kecil kami ikut latihan menari. Dari rasa berat lama kelamaan kami pun menyukainya. Anehnya aku memang sangat suka berlatih menari, tetapi selalu menangis setiap kali hendak pentas. Aku tidak suka karena dandanan penari sangat tebal. Kata ibu memang harus begitu supaya penonton bisa melihat wajahku yang cantik dari kejauhan. Ah, ibu bisa saja!

Ibu juga sangat getol melatih kami membaca puisi. Pada perayaan-perayaan tertentu tak segan beliau meminta kami untuk tampil. Kami didorong untuk mengikuti kegiatan paduan suara, entah di lingkungan gereja atau di kampung terutama saat perayaan tujuh belasan. Alih-alih untuk mendulang popularitas, semua diajarkan ibu hanya agar kami mencintai seni budaya. Tentunya juga melatih keberanian.

Dari "sekolah pertamaku" aku juga belajar mencintai lingkungan. Minimal ibu mengajak kami untuk suka bercocok tanam di halaman rumah. Menurut ibu, kita tidak bisa hanya  menyiram asal-asalan, tetapi harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. Tanaman pun juga perlu disayangi. Ada kalanya perlu diajak ngobrol agar tumbuh subur dan berbunga/berbuah.    

 

Ibu Mengajari Aku Berbagi Ilmu 

Ibu dan ayahku adalah pendongeng ulung. Setiap malam mereka bergantian mendongengi anak-anaknya. Sejak kecil sudah kupahami betapa dongeng adalah senjata paling ampuh yang dimiliki ibu. Tentu saja hal ini tercerap dalam memoriku tanpa kusadari.

 

Meskipun berada pada puncak kelelahan usai kerja seharian, ibu tetap mendongeng dengan bahagia. Alhasil, walaupun hidup sederhana, aku dan saudara-saudaraku selalu terlelap bahagia di malam hari. Setelah dewasa aku menjadikan dongeng untuk menakhlukkan hati para belia.  

Sebelum diterima menjadi guru di Sekolah Dasar Negeri, ibuku dipercaya menjadi guru TK. Sebuah yayasan merombak rumah kami di Gang Beruang menjadi taman kanak-kanak. Meja kursi, lemari, dan aneka mainan warna-warni lantas memenuhi rumah kami yang sederhana. Di halaman sempit dipasang juga ayunan dan perosotan sebagai sarana bermain.

Aku yangduduk di bangku SD, saat libur sesekali melihat bagaimana ibu mengajar anak-anak TK. Hari-hari tertentu ibu juga memasak bubur kacang hijau untuk mereka. Terekam dalam benak ibu sebagai seorang guru-perhatian, kesabaran, juga tanggung jawabnya. Kala kemudian hari diterima sebagai guru SD, ibu menyempurnakan ijazah SPG-nya dengan mengambil Diploma dan mengikuti kursus ini itu. Ibu juga belajar banyak hal secara autodidak.

Begitulah ibuku! Dari beliau aku belajar bagaimana menjadi guru yang baik serta memahami setiap anak didik. Dari beliau kusadari bahwa belajar seumur hidup merupakan sebuah keharusan. Bukan untuk menjadi nomor satu, tetapi untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Mau menggunakan kesempatan untuk belajar hal-hal baru juga menjadi wujud syukur kepada Tuhan.  

Alhasil, ketika ibu menyerahkan tongkat estafet kepadaku dan rekan-rekan muda untuk mengajar Sekolah Minggu semua yang telah tercerap dapat kupraktikkan. Bersenjatakan dongeng, kasih, dan kesabaran anak-anak pun gembira belajar. Kesukaan mempelajari hal-hal baru sangat membantu ketika kemudian aku menjadi seorang pendidik. 

Bersyukur dalam Segala Keadaan

Ibu (bersama ayah) mengenalkan anak-anaknya pada agama dan nilai-nilai spiritual. Bagaimana kami berdoa dan berelasi dengan Sang Pencipta. Ibu seorang pendoa yang tekun. Ketekunannya sering membuat kami merasa tak sanggup mengikuti, apalagi bila harus bangun tengah malam untuk berdoa. Beliau juga rajin menjagak kami berziarah.     

Lebih dari sebuah ketekunan dalam doa, pembelajaran paling penting dari ibu adalah aktualisasi iman. Salah satunya dengan cara bersyukur, bahkan ketika jatuh dalam sakit dan kemalangan. Salah satu moto ibu yang paling kuingat adalah "Bersyukurlah dalam segala keadaan". Bagiku inilah pelajaran tersulit untuk dipraktikkan hingga sampai hari ini pun sepertinya aku belum lulus.

Ibu "sekolah pertamaku" masih memberiku banyak pelajaran bahkan setelah beliau tiada. Banyak pelajaran dan nasihat yang sempat terabaikan menjadi pelajaran berharga hingga kini. Bagiku, ibu sekolah pertamaku, dahulu hingga kapan pun. Terima kasih Ibu, dalam doaku selalu kupinta surga bagimu.

Depok, 6 Desember 2020

Salam Literasi, Dwi Klarasari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun