Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pesanan yang Tak Kunjung Datang

21 Oktober 2020   12:16 Diperbarui: 21 Oktober 2020   12:20 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Yuli Strakhowa -- pixabay.com

Senja mulai menyapa, biru langit pun perlahan digantikan warna oranye keemasan. Kilau mentari yang jatuh menyelinap di antara gedung-gedung tua menyuguhkan pemandangan istimewa. Begitu pun ketika cahayanya mulai meredup. Namun, kesan mistis terasa melingkupi kawasan berumur ratusan tahun yang baru selesai kami jajaki.

Entah pertanda apa, aku merasakan desir dan hawa dingin yang berbeda. Bulu kudukku menegak seperti mewaspadai hadirnya makhluk tak kasat mata. Aku buru-buru menghalau pikiran buruk tersebut, khawatir teman-teman bisa membaca ketakutan di wajahku. Bagaimanapun dalam petualangan kali ini aku yang bertindak sebagai pemandu.

Suara adzan Maghrib di kejauhan memberikan rasa tenang. Suasana kawasan yang semakin ramai juga cukup melegakan. Ya, kebetulan hari ini malam Minggu. Tidak sedikit cowok yang mengajak pacarnya untuk malam mingguan di kawasan yang terkenal horor ini. Sama-sama modus, tetapi lebih murah daripada nonton film horor di sinema.

Kami berlima duduk menggelesot dengan ekspresi kelelahan sekaligus kelaparan. Bagaimana tidak, lebih dari empat jam kami menjelajahi setiap jalan yang ada di kawasan bersejarah ini.

Sambil melepas lelah kami berembuk untuk mencari tempat makan. Namun, perbedaan selera mempersulit tercapainya kata sepakat. Sementara perut kami terus berdendang meneriakkan protes. Sesekali kami tertawa karena terdengar bunyi 'kriuuk' entah dari perut siapa.

Setengah iseng kusebut nama-nama restoran legendaris yang ada di seputar kawasan. Refleks keempat temanku melempar pandang ke arah restoran yang berlokasi di ujung jalan. Bangunan dengan paduan gaya arsitektur kolonial dan tropis itu memang paling menonjol. Sebelumnya kami sudah berkali-kali menjadikannya objek dan latar foto. Hasilnya bikin Ajeng dan Indah kegirangan. Instagramable, kata mereka.

Gelap yang mulai menyergap membuat sosok bangunan tua itu tampak semakin eksotis dilihat dari kejauhan. Lampu-lampu bercahaya kekuningan yang dipasang menegaskan deretan jendela kayu klasik di lantai dua yang dibiarkan terbuka. Meskipun temaram, pijarnya sangat kontras dengan suasana kawasan yang minim cahaya.

Aura yang terpancar dari setiap lubang jendela seakan-akan memanggil kami untuk segera mendekat. Ah, sepertinya itu hanya perasaanku saja.

Kuatnya jiwa petualang berhasil menormalkan bulu kudukku. Dengan lancar kukisahkan bahwa resto itu dulunya adalah rumah tinggal orang Belanda yang dibangun pada abad ke-19. Tatanan interiornya menghadirkan suasana khas zaman kolonial, lebih dari 200 tahun lampau.

Sayangnya, restoran tersebut memang relatif mahal. Kebanyakan orang di kota ini menyebutnya resto level wisman 'wisatawan manca'. Bila berkali-kali aku bisa duduk di kursi antiknya dan menikmati menu lezatnya, itu karena aku mengantar para bule wisman.

Menurutku resto tersebut memang bukan sekadar menjual makanan, tetapi lebih pada menawarkan keindahan arsitektur dan suasana tempo dulu. Interiornya pun tak kalah instagramable, demikian aku menutup kisah.

Mendengar ceritaku, ekspresi Widi si penggila bangunan tua sontak berbinar-binar. Sebaliknya Ajeng dan Indah tampak sibuk menimbang-nimbang. Entah apa yang mereka pikirkan. Ekspresi keduanya menunjukkan keraguan mendalam. Sementara Putri terlihat lebih santai, bahkan cenderung tak acuh dan tetap sibuk dengan ponselnya. 

"Sudah ndak usah kelamaan mikir, aku yang traktir," kata Widi jemawa, "Sesekali makan di resto mahal ndak apalah!" lanjut Widi sambil terus berpindah posisi untuk memotret.

"Bukan begitu Wid, tapi aku kok rasanya merinding gitu ya?" sahut Ajeng yang terkenal paling penakut.

"Bener Wid... bangunan kuno kan biasanya berhantu!" tegas Indah mendukung pendapat Ajeng.

"Ealah Mbakyu... ini kan masih sore. Paling-paling hantunya juga lagi nyalon. Ini tempat legendaris lho... Instagramable lagi! Kalau ndak mau ditraktir yo kebeneran, biar aku masuk sendiri!" sanggah Widi seraya melangkah ke arah restoran tanpa memedulikan yang lain.

Begitulah Widi. Ke mana pun kami bertualang, tidak ada yang bisa mencegah antusiasmenya terhadap bangunan tua. Indah, Ajeng, dan Putri pun akhirnya beranjak. Dengan gontai Indah dan Ajeng mengekor langkah Widi. Putri menyusul dengan tetap sibuk menekuni ponselnya. Sementara di belakang mereka aku berjalan dengan diliputi rasa bersalah karena usulan yang kuberikan.

***

Saat memasuki restoran, kami disambut alunan lagu berbahasa Belanda Geef Mij Maar Nasi Goreng yang populer itu. Aura zaman kolonial pun segera saja menyergap. Tatanan interior yang tak kalah klasik menyempurnakan suasana. Lampu-lampu gantung antik menghiasi langit-langit ruangan yang relatif tinggi. Set furnitur kayu berwarna gelap dan sofa kuno berdiri kokoh di atas tegel bernuansa abu-abu. Puluhan foto kuno memenuhi tiang-tiang kolom dan dinding ruangan. Sejumlah aksesoris jadul juga dipajang di sejumlah sudut ruang.

Setelah meminta izin pada seorang pramusaji, Widi segera sibuk dengan kameranya. Saranku untuk langsung naik ke lantai dua diabaikan begitu saja. Sementara Ajeng dan Indah juga sudah asyik berswafoto sambil tak henti berdecak kagum. Aku yakin rasa enggan mereka telah menguap berganti takjub pada keindahan interior rumah tua ini. Rasa bersalahku pun mendadak sirna.

"Tantri, aku duluan ke atas ya, sudah laper banget nih! Nanti kalau ada menu kesukaan kalian biar sekalian kupesan," pamit Putri yang tak pernah bisa menahan lapar.

***

Setelah cukup lama menghabiskan waktu di lantai dasar, kami berempat naik ke lantai dua. Namun, interior lantai dua yang tak kalah menarik membuat Widi, Ajeng, dan Indah kembali sibuk dengan kamera dan ponsel mereka.

Aku sendiri segera menghampiri Putri yang sudah duduk di set meja kursi dekat jendela. Niat hati ingin ikut menikmati makanan yang sudah dipesan Putri. Sama seperti Putri, perutku juga tak bisa ditipu dengan pemandangan seindah apa pun.

Namun, harapanku tak tercapai. Meja bundar di depan Putri masih bersih. Tidak ada satu pun makanan atau minuman yang terhidang di meja. Begitu pun Putri tetap asyik dengan ponselnya.

"Put, sudah pesen makanan?" tanyaku sembari menghempaskan pantat ke kursi yang ada tepat di depan Putri.

Putri hanya menganggkat tangan dengan jemari memberi tanda 'OK'. Aku paham, Putri sedang tak ingin diganggu. Karyawan teladan itu pasti sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan kantor. Bagi Putri liburan hanyalah berpindah lokasi kerja bersama ponsel pintarnya.

Tak berapa lama Widi, Ajeng, dan Indah datang menghampiri kami. Dengan berisik mereka pamerkan foto-foto artistik yang berhasil didapat. Berkali-kali mereka mengucapkan terima kasih padaku disertai pujian lebay karena sudah kupilihkan restoran keren.

"Ndak rugi kita jauh-jauh ke sini," seloroh Widi tanpa mengalihkan pandangan dari kamera DLSR-nya. Entah sudah ada berapa ratus foto bangunan tua di dalamnya.

"Eh Put, sudah jadi pesan makan, belum?" celetuk Indah, "Sekarang kerasa banget nih lapernya!"

Kali ini Putri menanggapi dengan serius. Sekejap dia beranjak seraya memasukkan ponselnya ke dalam tas. Dia berdiri dan mengedarkan pandang mencari-cari pelayan resto untuk ditanyai.

"Nah, itu dia," kata Putri, "Mbak... Mbak, sini deh!" Putri melambai-lambaikan tangannya.

Kuikuti arah pandangan dan lambaian tangan Putri, yaitu ke arah tangga. Namun, aku tidak melihat satu pramusaji pun berdiri di sana. Mungkin mereka sudah pergi.  

 "Gimana sih, dipanggil kok malah turun!" dengus Putri penuh kejengkelan dan kembali duduk.

"Sudahlah Put, kita tunggu sebentar lagi," kataku menenangkan.

***

Keceriaan kami mengambil foto dan menikmati hasilnya berangsur-angsur menurun. Kami semua duduk tepekur di kursi masing-masing dengan ekspresi kelaparan. Namun, kami harus bersabar. Sepertinya pesanan Putri ada di antrean belakang. Mungkin karena malam minggu, jadi semua kursi di lantai dua terisi penuh.

Tetiba seorang pramusaji berseragam hitam datang mendekati meja kami. Seraya tersenyum dan memberi salam, dia mengangsurkan buku menu.

Sontak Putri menghentikannya seraya menyampaikan komplain, "Mbak, saya tadi sudah pesan lho. Tapi sudah lebih dari setengah jam kok pesanan belum datang juga! Sekarang Mbak malah nyuruh kami pesan lagi. Gimana sih?"

Pramusaji tersebut tampak keheranan. Walaupun begitu, dia menyediakan diri untuk memeriksa pesanan atas nama Putri. Si Mbak itu pun berbalik meninggalkan meja kami.

Tidak sampai lima menit, dia sudah kembali.

"Mohon maaf Mbak, belum ada pesanan masuk atas nama Mbak Putri," jelasnya seraya membungkuk sopan.

"Ndak ada gimana to Mbak? Ketika saya menaiki tangga tadi, si mbak pelayan berbaju merah menyapa saya, terus dia juga yang mencarikan meja dan mencatat pesanan saya," Putri menjelaskan panjang lebar dengan sedikit emosi.

"Oooh begitu... Mbak Putri nggak salah lihat? Pramusajinya beneran berbaju merah, ya?" tanya pramusaji tersebut dengan nada keheranan sekaligus mafhum.

"Salah lihat gimana? Saya tidak buta warna, mata saya juga masih normal!" balas Putri dengan nada tersinggung, "Saya ingat betul, mbak pelayan baju merah tadi sempat bikin saya minder karena dia cantik banget. Wajahnya agak bule-bule gitu. Barusan lewat dekat tangga, eh kupanggil-panggil dia malah turun!"

"Bukan begitu Mbak Putri, tapi semua pramusaji di restoran kami berseragam hitam dengan apron putih," jelas pramusaji itu lagi.

"Jad ... jadi, mak ... maksud Mbaaak...?" Indah dan Ajeng bersamaan melontarkan tanya dengan suara bergetar. Ketakutan mereka yang tadi sempat hilang kembali muncul bahkan lebih hebat.

Jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang. Ya, sebenarnya aku tahu kisah hantu berbaju merah di restoran ini yang kerap muncul menyapa pengunjung. Biasanya aku tak lupa menyampaikan kisa itu kepada setiap wisatawan yang kuantar ke resto ini. Walaupun begitu, tak satu pun mengurungkan niat mengunjungi resto yang melegenda ini. Karena tadi sudah kelaparan dan khawatir membuat teman-temanku ketakutan, kuputuskan untuk tidak menceritakannya.

Mungkinkah si hantu bule berbaju merah itu ingin unjuk diri sebagai tanda protes karena tidak kuperkenalkan pada teman-temanku? Mungkinkah si hantu tahu kalau Putri memiliki indera keenam sehingga dia bisa melihat penampakannya?

Tiba-tiba aku merasakan udara di sekitarku menjadi lebih dingin, dan bulu kudukku kembali meremang. Aku ingin bertanya pada Putri-yang sudah kembali sibuk dengan poselnya-adakah dilihatnya si hantu baju merah itu berdiri di sekelilingku. [Tamat]

Depok, 21 Oktober 2020

Salam horor, Dwi Klarasari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun