Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pesanan yang Tak Kunjung Datang

21 Oktober 2020   12:16 Diperbarui: 21 Oktober 2020   12:20 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Yuli Strakhowa -- pixabay.com

Menurutku resto tersebut memang bukan sekadar menjual makanan, tetapi lebih pada menawarkan keindahan arsitektur dan suasana tempo dulu. Interiornya pun tak kalah instagramable, demikian aku menutup kisah.

Mendengar ceritaku, ekspresi Widi si penggila bangunan tua sontak berbinar-binar. Sebaliknya Ajeng dan Indah tampak sibuk menimbang-nimbang. Entah apa yang mereka pikirkan. Ekspresi keduanya menunjukkan keraguan mendalam. Sementara Putri terlihat lebih santai, bahkan cenderung tak acuh dan tetap sibuk dengan ponselnya. 

"Sudah ndak usah kelamaan mikir, aku yang traktir," kata Widi jemawa, "Sesekali makan di resto mahal ndak apalah!" lanjut Widi sambil terus berpindah posisi untuk memotret.

"Bukan begitu Wid, tapi aku kok rasanya merinding gitu ya?" sahut Ajeng yang terkenal paling penakut.

"Bener Wid... bangunan kuno kan biasanya berhantu!" tegas Indah mendukung pendapat Ajeng.

"Ealah Mbakyu... ini kan masih sore. Paling-paling hantunya juga lagi nyalon. Ini tempat legendaris lho... Instagramable lagi! Kalau ndak mau ditraktir yo kebeneran, biar aku masuk sendiri!" sanggah Widi seraya melangkah ke arah restoran tanpa memedulikan yang lain.

Begitulah Widi. Ke mana pun kami bertualang, tidak ada yang bisa mencegah antusiasmenya terhadap bangunan tua. Indah, Ajeng, dan Putri pun akhirnya beranjak. Dengan gontai Indah dan Ajeng mengekor langkah Widi. Putri menyusul dengan tetap sibuk menekuni ponselnya. Sementara di belakang mereka aku berjalan dengan diliputi rasa bersalah karena usulan yang kuberikan.

***

Saat memasuki restoran, kami disambut alunan lagu berbahasa Belanda Geef Mij Maar Nasi Goreng yang populer itu. Aura zaman kolonial pun segera saja menyergap. Tatanan interior yang tak kalah klasik menyempurnakan suasana. Lampu-lampu gantung antik menghiasi langit-langit ruangan yang relatif tinggi. Set furnitur kayu berwarna gelap dan sofa kuno berdiri kokoh di atas tegel bernuansa abu-abu. Puluhan foto kuno memenuhi tiang-tiang kolom dan dinding ruangan. Sejumlah aksesoris jadul juga dipajang di sejumlah sudut ruang.

Setelah meminta izin pada seorang pramusaji, Widi segera sibuk dengan kameranya. Saranku untuk langsung naik ke lantai dua diabaikan begitu saja. Sementara Ajeng dan Indah juga sudah asyik berswafoto sambil tak henti berdecak kagum. Aku yakin rasa enggan mereka telah menguap berganti takjub pada keindahan interior rumah tua ini. Rasa bersalahku pun mendadak sirna.

"Tantri, aku duluan ke atas ya, sudah laper banget nih! Nanti kalau ada menu kesukaan kalian biar sekalian kupesan," pamit Putri yang tak pernah bisa menahan lapar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun