"Oooh begitu... Mbak Putri nggak salah lihat? Pramusajinya beneran berbaju merah, ya?" tanya pramusaji tersebut dengan nada keheranan sekaligus mafhum.
"Salah lihat gimana? Saya tidak buta warna, mata saya juga masih normal!" balas Putri dengan nada tersinggung, "Saya ingat betul, mbak pelayan baju merah tadi sempat bikin saya minder karena dia cantik banget. Wajahnya agak bule-bule gitu. Barusan lewat dekat tangga, eh kupanggil-panggil dia malah turun!"
"Bukan begitu Mbak Putri, tapi semua pramusaji di restoran kami berseragam hitam dengan apron putih," jelas pramusaji itu lagi.
"Jad ... jadi, mak ... maksud Mbaaak...?" Indah dan Ajeng bersamaan melontarkan tanya dengan suara bergetar. Ketakutan mereka yang tadi sempat hilang kembali muncul bahkan lebih hebat.
Jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang. Ya, sebenarnya aku tahu kisah hantu berbaju merah di restoran ini yang kerap muncul menyapa pengunjung. Biasanya aku tak lupa menyampaikan kisa itu kepada setiap wisatawan yang kuantar ke resto ini. Walaupun begitu, tak satu pun mengurungkan niat mengunjungi resto yang melegenda ini. Karena tadi sudah kelaparan dan khawatir membuat teman-temanku ketakutan, kuputuskan untuk tidak menceritakannya.
Mungkinkah si hantu bule berbaju merah itu ingin unjuk diri sebagai tanda protes karena tidak kuperkenalkan pada teman-temanku? Mungkinkah si hantu tahu kalau Putri memiliki indera keenam sehingga dia bisa melihat penampakannya?
Tiba-tiba aku merasakan udara di sekitarku menjadi lebih dingin, dan bulu kudukku kembali meremang. Aku ingin bertanya pada Putri-yang sudah kembali sibuk dengan poselnya-adakah dilihatnya si hantu baju merah itu berdiri di sekelilingku. [Tamat]
Depok, 21 Oktober 2020
Salam horor, Dwi Klarasari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H