Kulihat seorang petugas berseragam oranye berulang kali menggoyang-goyangkan tubuh Mbok Nah yang tengkurap lemas di atas tubuhku. Kedua tangannya masih erat memegang tepian tubuhku. Saat petugas itu berniat menyentuhnya sekali lagi, mata tua Mbok Nah perlahan terbuka. Lama dia terdiam, sebelum hela napasnya yang semakin jelas melegakan sang petugas. Â
"Matur sembah nuwun Gusti kula dipun paringi slamet!" Mbok Nah merentangkan tangan sembari tengadah.
Syukurlah, ternyata Mbok Nah masih hidup. Beberapa petugas segera membantunya duduk, masih di atas tubuhku, lalu menyelimutinya serta mengangsurkan sebotol air mineral.
"Terima kasih... terima kasih... berkat jasamu, aku selamat!" Mbok Nah mengelus-elus badanku lalu membungkuk dan menciumiku berkali-kali. Aku seperti anak kesayangan yang lama hilang dan ditemukan.
"Jadi semalaman Ibu terhanyut bersama meja kayu besar ini?" tanya seseorang entah siapa. Nada suaranya meninggi mengekspresikan rasa kagum sekaligus ketidakpercayaannya.
"Betul Pak! Pas banjir datang saya berhasil pegangan pada kaki-kakinya. Saya juga heran, kok bisa ndak terlepas sama sekali ya, padahal kan arusnya kuat banget," kisah Mbok Nah dengan wajah kebingungan menyadari mukjizat yang nyaris tak bisa dipercaya.
"Sungguh besar Kuasa Tuhan!" suara lain menimpali.Â
"Benar, Gusti Maha Kuasa! Meja kayu besar ini tadinya ada di ruang bundar rumah juragan saya!" kisah Mbok Nah tanpa ditanya, "Sebenarnya, meja ini dibuat dari kayu log hasil pembalakan yang dilakukan juragan saya itu... namanya Tuan Prawiro."
Para petugas SAR dan masyarakat yang berkerumun tampak mengangguk-angguk. Sebagian yang lain sibuk merekam dengan ponsel dan kameranya.
"Pak Petugas, boleh ndak kalau meja ini buat saya saja? Buat kenang-kenangan," pinta Mbok Nah polos.
***