Aku tak pernah menyesal meskipun tidak terlahir sebagai kupu-kupu elok. Sedari kecil aku sangat mencintai alam liar tempatku dilahirkan. Di sana aku memupuk asa menjadi yang terhebat di antara ribuan kawanku. Badanku tumbuh cepat menyebar ke segala penjuru. Meski tak berhias bunga ataupun buah, aku bangga dengan kekar tubuhku, juga akar-akarku nan kuat. Aku adalah pohon tertinggi dan terbesar di hutan tropis perbukitan.
Ada sukacita ketika mendapati liana liar berbunga elok tak segan merambati dan membelit sekujur tubuhku. Aku dan kawan-kawanku merasa bangga karena sangat berarti. Sedemikian penting peran yang diberikan Tuhan kepada kami.
Kami menjadi paru-paru bumi. Kami menjaga sistem iklim dan cuaca planet ini, agar musim hadir semestinya, agar menyembul cercah senyum penuh harap kaum petani. Bersama dengan tanah, kami serap curahan hujan sebelum muncul sebagai mata air. Betapa mulia tugas kami. Aku selalu mengira akan menua dan mati dalam tugas suci itu.
Namun takdir berkata lain-jika ini disebut takdir! Aku ditebang tanpa rasa hormat oleh manusia-manusia jahat. Kemudian tubuhku dirombak mewujud sebuah meja raksasa, dan dipajang demi menunjukkan arogansi semata. Kala itu aku tak lagi mengerti makna hadirku di bumi.
Kini perlahan-lahan kuterima takdirku sebagai meja kayu. Setidaknya aku masih punya satu kebanggaanku, yaitu telah menyelamatkan jiwa wanita sederhana yang lurus hatinya. [Tamat]Â Â Â
Depok, 6 Oktober 2020
Salam Fiksiana, Dwi Klarasari
Â
Catatan:
- Log: gelondongan (kayu gelondongan hasil penebangan)
- Ampuuun.. tob... tobat Gustiii! (bhs Jawa, artinya: Mohon ampun, saya bertobat Tuhan)
- Matur sembah nuwun Gusti kula dipun paringi slamet (bhs Jawa, artinya: Terima kasih Tuhan saya diberi keselamatan)
Cerpen ini menjadi salah satu favorit dalam LMCR Perhutani Tahun 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H