Silakan baca kisah sebelumnya Merindu Abimanyu Bagian 2
Buukk!!
Kulihat sebuah buku besar dan tebal terjatuh dari tangan Abi. Buku edisi hardcover berjudul Hari-hari yang Mengubah Dunia itu adalah buku terakhir yang kubelikan untuk Abi. Aku jadi bertanya-tanya sudah sampai di mana ia membacanya.
"Ada apa, Den?"Â
Kudengar suara Mbok Mi. Kulihat ia melongok seraya mengetuk pintu kamar Abi yang sedikit terbuka.
"Tidak ada apa-apa, Mbok!" Abi menyahut pelan seraya membungkuk mengambil bukunya.
Sekejap kulihat Abi mencium buku di tangannya. Lantas ia mengusapkan punggung tangannya ke pelupuk mata. Ah, menangiskah ia? Belum sempat kupastikan, pandanganku tertumbuk pada amplop biru muda ada di tangan kirinya. Itu surat dariku! Rupanya Mbok Mi sudah menyampaikan surat yang pernah kutitipkan untuk Abi.
Sambil menutup mata Abi menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Tak berapa lama dibukanya surat itu dengan takzim.
Aku pun mendekat dan duduk di ranjang tepat di samping Abi. Aku berniat ikut membaca surat yang kutulis, khawatir kalau-kalau ada yang salah kutuliskan hingga membuat Abi kembali pergi meninggalkan rumah.
Â
Abimanyu tersayang,
Terima kasih kamu sudah pulang. Bunda sangat bahagia. Lama sekali Bunda menunggumu, Nak! Sebenarnya Bunda sangat rindu untuk memelukmu. Â
"Maafkan Abi, Bunda!" isakan Abi tiba-tiba merobek sunyi, "Abi pergi agar Bunda tak perlu memilih antara Abi dan Om Yoga. Bunda kan harus bahagia juga. Abi sudah cukup besar untuk mandiri."
Â
Bersediakah kamu datang ke peristirahatan Bunda? Bunda ingin mendengar salam perpisahan darimu. Bunda juga ingin dengar ceritamu. Apa kabarmu, Nak? Apa yang kamu lakukan selama kita berpisah? Sudah berapa banyak lukisanmu terjual? Bunda harap kamu memenuhi janji untuk kelak jadi dokter.Â
"Aah.. sudah berapa kali kubilang sama Bundaa!" rengek Abi berselimut kesal seraya mengambil bingkai berisi foto bundanya dari meja belajar, "Lihat Bun, Abi sudah jadi pelukis hebat! Berkat doa Bunda, Abi juga dapat beasiswa masuk kedokteran."Â
Abi tidak herhenti mengisak. Air matanya berjatuhan di atas kertas surat mengoyak tulisanku yang sudah boyak. Ingin sekali rasanya aku memeluk Abi kuat-kuat. Â Â
Â
Jangan khawatir, Bunda tak bisa lagi memarahimu. Apa pun keputusanmu Bunda tetap mencintai dan merindukanmu. Seperti sering Bunda katakan, Bunda tak pernah menyesal mengadopsi kamu. Sungguh!Â
Â
Meskipun lenyap seluruh keluarga, hidup Bunda menjadi lebih berarti. Bunda harap, kelak kamu menjadi seseorang yang sebanding dengan semua pengorbanan itu. Bukan untuk Bunda, tapi untukmu sendiri. Meskipun tak pernah melahirkanmu, kasih Bunda sama seperti ibu-ibu lain di seluruh dunia. Â Â
Â
Abi, tinggallah di rumah bersama Mbok Mi. Ia berjanji akan menjagamu. Tapi nanti kalau Mbok Mi sudah semakin tua, ganti kamu yang harus merawatnya. Oya, Mbok Mi pasti kerepotan mengurus semua, jadi tetaplah menyapu dan merawat halaman kita.Â
Â
Bunda yang merindukanmu. Â Â Â
"Bunda pasti akan selalu bangga pada Abimanyu!" seru Abi seraya mencium lembut foto dan surat di tangannya.
Sesaat kulihat Abi tergesa-gesa menghapus air matanya dengan syal marunku pemberiannya. Sebentar ia masih bergeming di ranjang. Namun, tak berapa lama ia beranjak dan melangkah perlahan ke ambang jendela. Kulihat ia tersenyum memandangi halaman rumah, di mana daun-daun kiara payung masih terus berguguran.
Aku merasa lega karena yakin Abi hanya memerlukan sedikit waktu lagi untuk bangkit. Bagaimanapun aku tidak bisa lebih lama lagi berkelana seperti ini. Aku harus pergi ke tempat indah yang telah disediakan untukku. Dari sana aku berharap masih bisa merindukan Abimanyu dan menjaganya! [Selesai]Â
Â
Depok, 6 September 2020
Salam Fiksiana, Dwi Klarasari
Â
Catatan: Cerpen dari koleksi Dwi Klarasari ini menjadi salah satu favorit dalam LMCR Rohto Golden Award Tahun 2013.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H