Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sekuntum Mawar yang Angkuh

9 Agustus 2020   15:07 Diperbarui: 9 Agustus 2020   15:10 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah taman hiduplah sebatang pohon mawar. Bunganya sangat indah, berwarna kuning dengan kelopak bertumpuk-tumpuk. Setiap hari orang-orang yang melintas selalu mengagumi keindahannya. Mereka juga menarik napas dalam-dalam untuk mencium keharumannya. Bunga Mawar Kuning pun selalu berseri-seri menampilkan diri.

"Lihatlah teman-teman! Semua orang yang melewati kita, selalu mengagumiku! Oh, aku ini memang cantik, ya? Tak ada bagian lain dari pohon mawar yang lebih penting dan berguna selain aku!" teriak Bunga dengan jemawa dan penuh kebanggaan.

"Hei Bunga, jangan sombong dan angkuh! Apakah kamu lupa siapa yang setiap hari memasak makanan untukmu?" tanya Daun dengan gusar.

"Benar kata Daun! Setiap hari aku juga berjuang mencari air dan bahan makanan dari dalam tanah. Kemudian, Batang mengantarkan bahan-bahan itu kepada Daun untuk dimasak. Setelah siap Ranting mengirimkannya untukmu!" Akar yang tampak sedikit menyembul ke permukaan tanah ikut menasihati Bunga panjang lebar.

Batang, Ranting-Ranting, dan Duri-Duri meneriakkan kata 'setuju'.

"Tanpa makanan tentu kamu akan layu dan tidak cantik. Kelopakmu pasti akan berguguran. Bunga, kamu juga tak boleh lupa bahwa aku berjaga setiap hari melindungimu dari tangan-tangan jahil!" keluh Duri penuh kesedihan.

"Kenapa kalian merasa sangat berjasa seperti itu? Coba kalian pikirkan, tanpa Bunga apalah arti sebatang pohon mawar. Kalian yang seharusnya berterima kasih kepadaku. Karena kecantikanku kalian jadi ikut terkenal, bukan?" Bunga terus saja menonjolkan diri.

Akhirnya Daun, Batang, Ranting, Duri, dan Akar tidak bersedia melanjutkan percakapan. Namun, mereka semua menggerutu dan mulai tidak suka dengan keberadaan Bunga.

***

Esok harinya, saat Bunga masih tertidur lelap, teman-temannya sudah mulai bekerja. Akar sibuk mencari air dan bahan-bahan makanan. Batang sedang menyiapkan diri mengangkut air dan semua bahan makanan untuk dikirim kepada Daun. Sementara itu Daun sibuk melakukan persiapan untuk memasak.

Tiba-tiba Daun berbisik, "Teman-teman, bagaimana kalau kita sampaikan masalah ini kepada Paman Matahari. Mungkin dia dapat membantu. Paman Matahari sangat bijaksana, bukan?"

Semua menyetujui usul Daun. Sebelum Bunga terbangun, mereka segera berteriak memanggil Matahari. Daun berbicara mewakili teman-temannya.

"Paman Matahari, kami semua kesal pada Bunga! Dia menganggap kami tidak berguna. Dia merasa paling penting dan paling berguna di antara kami semua." kata Daun.

"Aku yang menjaganya setiap hari juga tidak dianggap apa-apa," kata Duri tak mau kalah.

Matahari berdeham lalu bertanya kepada mereka, "Jadi, kalian ini ingin dianggap lebih penting dan lebih berjasa?"

"Bukankah kami memang berjasa?" tanya mereka berbarengan.

"Apakah kalian juga melupakan jasa pihak-pihak lain? Tanah menyediakan bahan makanan, Hujan memberi air, dan sinarku membantu Daun memasak," Matahari berkata bijak.

"Maaf Paman Matahari, maksud kami bukan begitu. Kami tak pernah lupa jasa-jasa kalian. Tanpa Tanah dan Hujan, Akar akan kesulitan mencari air dan bahan makanan. Tanpa sinarmu Daun pun tidak dapat memasak makanan," kata Ranting pelan sambil menunduk.

"Benar, kami hanya tidak suka Bunga bersikap angkuh seperti itu. Dia bahkan berkata, kalau tanpa dirinya sebatang pohon mawar itu tidak berarti apa-apa."

"Kami ingin memberi pelajaran agar dia sadar bahwa tidak mungkin hidup sendiri. Maukah Paman membantu rencana kami?" bisik Daun seperti takut terdengar Bunga.

"Kalau maksud kalian baik, tentu akan kubantu. Tapi benarkah semua rencana kalian ini untuk menyadarkan Bunga?" tanya Matahari sekali lagi.

Semua mengganggguk serempak.

Selanjutnya, Batang membisikkan rencana mereka. Matahari setuju. Setelah rapat kecil itu selesai, mereka kembali bekerja. Hari itu berlalu dengan tenang tanpa pertengkaran. Bunga tidak mengetahui rencana teman-temannya. Dia baru bangun menjelang tengah hari, dan seharian sibuk bersolek.

***

Keesokan hari, aktivitas pohon mawar tidak berjalan seperti biasa. Akar, Batang, Ranting, dan Daun tidak menyiapkan makanan. Mereka hanya bersantai-santai dan sibuk mengobrol. Setelah bosan mengobrol, mereka tidur kembali. Matahari pun bersembunyi, entah di mana. Suasana menjadi gelap. Lalu, seperti biasa Bunga bangun paling akhir.

Bila aku bangun, seharusnya hari sudah siang, tetapi ini kenapa masih gelap. Lalu, kenapa si Ranting juga belum mengantar makanan untukku? Aduh aku lapar! Demikian pikir Bunga mendapati situasi tak biasa.

"Ranting! Mana makanan untukku? Aku lapar nih!" teriaknya.

Namun, tidak ada jawaban. Suasana taman pun terasa sangat hening. Bunga dan pepohonan lain seolah turut mendukung rencana tersebut.

"Daun... apa kamu tidak memasak?" teriak Bunga lagi.

Suasana tetap hening.

Lama-kelamaan Bunga lelah berteriak, dan akhirnya menangis tersedu-sedu, "Huuu... aku lapar!"

Demikian hal itu berlangsung selama dua hari. Bunga tidak dapat bertahan. Kelopaknya satu per satu menjadi lemas. Dia pun tak kuat lagi untuk berteriak memanggil teman-temannya. Bunga terus merintih kesakitan dan menangis. Namun, tidak ada yang menghiraukannya.

***

Pada hari ketiga Matahari muncul. Matahari melihat Bunga Mawar terkulai lemas tak berdaya.

"Mengapa kamu terlihat lemas dan menangis Bunga?" tanya Matahari.

"Oh... Paman Matahari ke mana saja? Ke mana pula Paman Hujan, kenapa tidak turun menyiramiku? Sudah dua hari aku tidak makan dan minum. Ranting tidak mengantar makanan untukku. Sepertinya Daun juga tidak memasak. Aku sudah lemas, wajahku jadi kusut dan jelek!" Bunga mengadu.

"Kenapa kamu tidak mencari bahan makanan dari dalam tanah?"

"Bagaimana caranya? Aku ini berada sangat jauh dari tanah," jawab Bunga sedih.

"Kenapa kamu tidak memasak makananmu sendiri?" tanya Matahari lagi.

"Ak... aku... tidak bisa!" Bunga tertunduk malu.

"Lho, Paman dengar kamulah yang terpenting dan paling berjasa bagi sebatang pohon mawar. Ternyata banyak hal tak bisa kamu lakukan, bahkan untuk menyediakan makananmu sendiri."

Bunga tertunduk semakin dalam.

"Benarkah Akar, Batang, Daun, Ranting dan Duri tidak berguna?" tanya Matahari lagi.

"Sekarang aku sadar, aku tak bisa hidup tanpa mereka Paman. Wajahku jadi tampak buruk dan orang-orang tidak mau melihatku lagi. Aku menyesal," kata Bunga seraya menangis sedih.

"Benarkah kamu menyesal?" teriak sejumlah Daun yang tiba-tiba merekah bugar.

Teman-teman lain pun ikut berteriak. Melihat itu, Bunga terkejut sekaligus gembira.

"Benar teman-teman, maafkan aku ya!" jawab Bunga malu-malu.

"Kami mau memaafkan jika kamu memperbaiki sikapmu!" teriak Ranting dan Duri.

"Kamu juga harus minta maaf pada Paman Matahari, Paman Hujan, dan Eyang Tanah. Tanpa mereka kita tidak dapat tumbuh subur dan berbunga cantik sepertimu!" kata Batang.

"Baiklah teman-teman. Aku berjanji akan bersikap lebih baik dan tidak angkuh," jawab Bunga gembira. Bunga segera meminta maaf kepada semuanya.

"Nah, teman-teman! Ayo, sekarang kita siapkan makanan istimewa!" teriak Daun.

***

Hari-hari berikutnya, kehidupan pohon mawar menjadi lebih baik. Bunga Mawar Kuning sudah kembali berseri dan tampil semakin cantik. Namun, dia tidak angkuh lagi seperti sebelumnya. Bunga selalu menghormati teman-temannya. Kini dia tahu bahwa setiap bagian pohon mawar memiliki tugas dan peranan yang sama pentingnya. Semua bagian saling membutuhkan. [Selesai]

Depok, 9 Agustus 2020

Catatan: Cerita Anak ini terinspirasi dari drama sekolah yang pernah saya mainkan saat duduk di kelas 3 SD. Sekilas terlintas nama Bapak Edi Susanto (Guru Kelas 3) yang melatih dan menyutradarai drama dan teringatnya saat itu saya memerankan tokoh Daun. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun