Menelisik Peran PemerintahÂ
Bagaimana perihal ketakutan masyarakat Betawi kehilangan salah satu unsur budayanya ini? Bagaimana bila kesenian ondel-ondel semakin tergerus zaman dan ditinggalkan, kemudian lenyap dari tanah kelahirannya?
Dalam hal ini, sudah selayaknya bila pemerintah mengambil tanggung jawabnya. Bersama masyarakat pemerintah harus turun tangan sebagaimana diamanatkan Pasal 32 Ayat 1 UUD 1945Â "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya".
Baiklah, memang dalam pasal tersebut disebut bahwa masyarakat dijamin kebebasannya dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Namun, apakah menjadikan kesenian ondel-ondel sebagai "alat ngamen" yang tidak sesuai hakikatnya merupakan cara yang baik dan tepat untuk memelihara/melestarikan budaya? Mungkinkah penampilan ondel-ondel perlu mendapat ruang husus serta waktu pementasan rutin? Â Â
Dalam penelusuran diketahui bahwa sebenarnya pemerintah sudah turut serta dalam upaya pelestarian budaya Betawi ini. Tengok saja uraian detailnya dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi.Â
Berdasarkan Perda tersebut pemerintah daerah dan masyarakat (termasuk para tokoh seni dan budaya) agaknya harus bahu-membahu untuk melindungi, mengamankan/melestarikan, dan mengembangkan nilai-nilai budaya Betawi. Dalam konteks ini kesenian ondel-ondel adalah bagian dari kebudayaan yang menjadi kebanggaan masyarakat Betawi. Â Â
Terbitnya Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2017 tentang Ikon Budaya Betawi juga merupakan bukti kuat adanya upaya pemerintah. Belum lagi secara khusus telah diresmikannya ondel-ondel sebagai salah satu ikon Betawi---bersama batik betawi, kerak telor, kembang kelapa, bir pletok, dan beberapa ikon lain---oleh Pemprov DKI pada 5 Februari 2017.
Tak bisa dimungkiri beragam unsur budaya sebagai ikon tampil sangat mencolok dalam berbagai perhelatan di ibukota. Tak heran bila pada even-even tertentu, ibukota negara sungguh legit rasa Betawi-nya. Namun, melihat maraknya penggunaan kesenian ondel-ondel sebagai "alat ngamen" yang disalahgunakan, kiranya bukan berprasangka buruk jika mengatakan bahwa upaya pemerintah belum maksimal.
Dengan kata lain, segala peraturan ini-itu menuntut realisasi yang lebih maksimal demi pelestarian budaya. Agaknya perlu dilakukan berbagai evaluasi. Poin "pemantauan dan evaluasi" pelestarian kebudayaan Betawi  diamanatkan dalam Pasal 44 Perda No. 4 Th. 2015.
Berbagai pertanyaan sebagai bentuk, antara lain: sejauh mana pendekatan dan pembinaan telah dilakukan di dalam lingkungan masyarakat; sudahkah dilakukan peningkatan pemahaman, kesadaran, kepedulian/aspirasi masyarakat akan peninggalan budaya Betawi ini; dan sebagainya.
Perlu juga dievaluasi sejauh mana peran pemerintah daerah mendukung pembiayaan dalam kegiatan pelestarian kebudayaan. Pasal 46 Perda No. 4 Th. 2015 menyebutkan bahwa Pemda (melalui APBD) memberi bantuan pembiayaan pelestarian kebudayaan Betawi oleh masyarakat. Â Â