Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ke Mane Kite Harus Ngarak Ondel-Ondel?

18 Desember 2018   13:39 Diperbarui: 18 Desember 2018   13:53 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa tahun lalu, saya berkesempatan mengikuti suatu pertemuan komunitas yang diadakan di salah satu bagian Taman Monumen Nasional (Monas). Meskipun sejak jadi perantau di Jakarta sudah  beberapa kali mengunjungi Monas, tetapi saya belum paham juga lokasi yang dimaksud. Akhirnya, saya asal masuk saja lewat salah satu pintunya karena terlanjur turun dari bus.

Belum jauh memasuki area Monas mendadak muncul perasaan antusias ketika saja mendapati serombongan ondel-ondel tampak berjajar rapi membentuk formasi setengah lingkaran. Agaknya para ondel-ondel tengah mengadakan "meeting" semacam apel pagi sebelum mulai bekerja. Wah, sepertinya nanti bakal ada pertunjukan ondel-ondel di kawasan Monas nih. Demikian terlintas dalam pikiran saya sembari membangun niat untuk menontonnya usai pertemuan.

Setelah memotret pemandangan unik tersebut, saya pun beranjak menelusuri kawasan Monas mencari lokasi pertemuan. Singkat cerita, saya pun berjumpa dengan teman-teman yang sudah memulai pertemuan lesehan di hamparan rumput Taman Monas.

Saat pertemuan berlangsung terdengar alunan musik Betawi memenuhi udara di sekitar lokasi. Saya yang kebetulan sedang dalam posisi berdiri tiba-tiba dikejutkan oleh sentuhan di lengan. 

Saat menengok saya nyaris terlonjak mendapati makhluk raksasa yang tak lain adalah ondel-ondel. Setelah terkejut sesaat, seperti anak kecil saya tampaknya merasa gembira berada dekat boneka setinggi 2,5 meter khas Betawi yang bisa ngibing (menari) mengikuti alunan musik.

Namun, sejenak saya menjadi bingung ketika si ondel-ondel menyodorkan wadah yang di dalamnya sudah ada sejumlah recehan. Seorang teman membisiki saya untuk memberi recehan sekadarnya, karena ondel-ondel tersebut sejatinya sedang ngamen. Ooh! Saya lantas teringat "meeting ondel-ondel" di dekat gerbang Monas yang sempat saya abadikan.

Foto: komunitas fency
Foto: komunitas fency
Sebelum lama tinggal di Jakarta mungkin saya memang kurang perhatian. Saya mengira arak-arakan ondel-ondel pasti identik dengan pertunjukan budaya dalam arti sebenarnya. Namun, mengingat kejadian di Monas, barulah saya mengerti bahwa dari sekian banyak "aksi ngibing" ondel-ondel di jalanan ibukota, sebagian di antaranya adalah kegiatan ngamen---seperti halnya orang ngamen di bus/angkot.

Miris!

Sebagai orang awam ada perasaan miris melihat maraknya fenomena ondel-ondel ngamen di jalanan bukan dalam konteks berkesenian. Ondel-ondel yang diarak, kalau tak boleh dibilang berkeliaran, di jalanan benar-benar sekadar bertujuan mencari recehan demi sesuap nasi. Konon, kelompok pengamen tersebut menyewa ondel-ondel dari pihak lain dengan harga tertentu. Hasil ngamen dikurangi uang sewa akan dibagi rata di antara anggota pengamen. Pengamen ondel-ondel demikian cenderung tidak peduli akan makna di balik kesenian ondel-ondel.

Tak sedikit ditemui sosok ondel-ondel dengan pakaian yang sudah sangat lusuh, tidak lagi tampak cerah dalam warna-warni meriah menarik hati. Tak berbeda dengan para pengiringnya yang kadang kala cuma berkaus lusuh dan sekadar bersandal jepit atau malah tak beralas kaki. Musiknya kadang juga sekenanya karena yang penting ada iringan agar si ondel-ondel bisa ngibing.

Menurut saya, pengamen ondel-ondel demikian boleh dibilang tidak mementaskan ondel-ondel sebagai kesenian dari sebuah tradisi. Penggunaan ondel-ondel sekadar sebagai "alat ngamen" oleh kelompok pengamen tersebut secara tidak langsung juga telah mengurangi nilai seni serta eksotisme boneka khas Betawi.

Hal ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Yahya Andi Saputra, Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi, kepada liputan6 yaitu bahwa pementasan kesenian ondel-ondel memilki aturan, tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. 

Misalnya, musik betawi yang mengiringi harus dimainkan secara langsung dengan pemain berseragam. Konon, ondel-ondel juga tak boleh dimainkan saat magrib atau tengah hari.

Ngamen VS Berkesenian

Seperti kebanyakan orang, sepengetahuan saya kesenian ondel-ondel adalah bagian dari tradisi masyarakat Betawi yang hanya dihadirkan pada acara tradisional Betawi, seperti sunatan, perkawinan, dan lain-lain. 

Kemudian, kesenian ondel-ondel juga tampil menyemarakkan acara penyambutan tamu, peresmian acara/bangunan, festival budaya atau pesta rakyat, dan semacamnya. Jadi, wajarlah bila saya serta kebanyakan orang merasa miris dan kurang setuju mendapati ondel-ondel ngamen di jalanan.

Namun, rasa miris tersebut ternyata tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Bagaimanapun, fenomena pengamen ondel-ondel sudah menjadi pro-kontra sejak lama. Bukan saja di kalangan masyarakat awam, tetapi juga di antara budayawan, seniman, juga sejarawan.  

Di beberapa kawasan Jakarta dan sekitarnya, pengamen ondel-ondel yang berkeliaran di jalanan sudah dianggap mengganggu ketertiban dan menjadi masalah sosial tersendiri. Pemerintah setempat pun melalui aparatnya berupaya melarang dan/atau menertibkan. Di sisi lain, tidak semua pihak menafikkan keberadaan pengamen ondel-ondel begitu saja.

Sebut saja sejarawan J.J. Rizal yang menekuni sejarah kebudayaan Betawi. Kepada tirto.id ia mengatakan bahwa adanya "ondel-ondel mengamen" justru mengembalikannya kepada tradisi awal. Sudah menjadi hakikatnya "ondel-ondel ngamen" keluar-masuk kampung dan mendapat "saweran" sebagai imbalan karena ondel-ondel telah berjasa menolak bala.

Selidik punya selidik, rupanya ondel-ondel yang dulu bernama barongan ini memiliki sejarah panjang. Pada awalnya yaitu dalam tradisi masyarakat Betawi pra-islam, boneka raksasa yang terbuat dari anyaman bambu ini memang digunakan oleh masyarakat sebagai penolak bala atau gangguan roh halus. Mungkin belum semua orang mengetahui fakta sejarah ini. Tak heran jika J.J. Rizal juga menilai bahwa respons "ondel-ondel ngamen" dianggap merendahkan terjadi karena ketidakpahaman tradisi, sejarah, serta pandangan konsep adiluhung budaya (tirto.id).

Sementara ada juga di antara seniman yang mengakui bahwa salah satu tujuan mengarak ondel-ondel di jalanan bukan sekadar mencari uang, tetapi juga demi pelestarian---agar kesenian Betawi ini tetap dikenal masyarakat. Mengutip kompas.com seorang pelaku seni bernama Deny juga mengakuinya. Dengan alasan pelestarian, dia mengizinkan anggota sanggarnya mengarak ondel-ondel di jalanan, meskipun sebenarnya mereka sesekali juga diundang "mentas" di hotel atau festival.

Menengarai berbagai pendapat yang ada, agaknya berbagai elemen masyarakat dan pemerintah setempat perlu duduk bersama untuk berdiskusi mencari solusi yang berimbang. Mungkin "fitrah" ondel-ondel memang turun ke jalan keluar-masuk kampung untuk menolak bala sebagaimana awal tradisinya. Namun, alangkah eloknya bila bukan sekadar "alat ngamen" yang disalahgunakan segelintir orang untuk sekadar mengais recehan---tidak memperhatikan nilai seni, bahkan berpotensi mengganggu ketertiban.  

Menelisik Peran Pemerintah 

Bagaimana perihal ketakutan masyarakat Betawi kehilangan salah satu unsur budayanya ini? Bagaimana bila kesenian ondel-ondel semakin tergerus zaman dan ditinggalkan, kemudian lenyap dari tanah kelahirannya?

Dalam hal ini, sudah selayaknya bila pemerintah mengambil tanggung jawabnya. Bersama masyarakat pemerintah harus turun tangan sebagaimana diamanatkan Pasal 32 Ayat 1 UUD 1945 "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya".

Baiklah, memang dalam pasal tersebut disebut bahwa masyarakat dijamin kebebasannya dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Namun, apakah menjadikan kesenian ondel-ondel sebagai "alat ngamen" yang tidak sesuai hakikatnya merupakan cara yang baik dan tepat untuk memelihara/melestarikan budaya? Mungkinkah penampilan ondel-ondel perlu mendapat ruang husus serta waktu pementasan rutin?   

Dalam penelusuran diketahui bahwa sebenarnya pemerintah sudah turut serta dalam upaya pelestarian budaya Betawi ini. Tengok saja uraian detailnya dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi. 

Berdasarkan Perda tersebut pemerintah daerah dan masyarakat (termasuk para tokoh seni dan budaya) agaknya harus bahu-membahu untuk melindungi, mengamankan/melestarikan, dan mengembangkan nilai-nilai budaya Betawi. Dalam konteks ini kesenian ondel-ondel adalah bagian dari kebudayaan yang menjadi kebanggaan masyarakat Betawi.    

Terbitnya Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2017 tentang Ikon Budaya Betawi juga merupakan bukti kuat adanya upaya pemerintah. Belum lagi secara khusus telah diresmikannya ondel-ondel sebagai salah satu ikon Betawi---bersama batik betawi, kerak telor, kembang kelapa, bir pletok, dan beberapa ikon lain---oleh Pemprov DKI pada 5 Februari 2017.

Tak bisa dimungkiri beragam unsur budaya sebagai ikon tampil sangat mencolok dalam berbagai perhelatan di ibukota. Tak heran bila pada even-even tertentu, ibukota negara sungguh legit rasa Betawi-nya. Namun, melihat maraknya penggunaan kesenian ondel-ondel sebagai "alat ngamen" yang disalahgunakan, kiranya bukan berprasangka buruk jika mengatakan bahwa upaya pemerintah belum maksimal.

Dengan kata lain, segala peraturan ini-itu menuntut realisasi yang lebih maksimal demi pelestarian budaya. Agaknya perlu dilakukan berbagai evaluasi. Poin "pemantauan dan evaluasi" pelestarian kebudayaan Betawi  diamanatkan dalam Pasal 44 Perda No. 4 Th. 2015.

Berbagai pertanyaan sebagai bentuk, antara lain: sejauh mana pendekatan dan pembinaan telah dilakukan di dalam lingkungan masyarakat; sudahkah dilakukan peningkatan pemahaman, kesadaran, kepedulian/aspirasi masyarakat akan peninggalan budaya Betawi ini; dan sebagainya.

Perlu juga dievaluasi sejauh mana peran pemerintah daerah mendukung pembiayaan dalam kegiatan pelestarian kebudayaan. Pasal 46 Perda No. 4 Th. 2015 menyebutkan bahwa Pemda (melalui APBD) memberi bantuan pembiayaan pelestarian kebudayaan Betawi oleh masyarakat.   

Seperti kata pepatah Jawa "Jer basuki mawa beya (segala sesuatu membutuhkan biaya)" maka sudah seharusnya bila pemerintah menyediakan anggaran yang benar-benar memadai untuk membantu masyarakat melestarikan kebudayaannya. Misalnya, biaya pembinaan dan kelangsungan sanggar seni serta perajin ondel-ondel; biaya promosi serta pementasan; dan lain-lain.

Bagaimanapun dalam kegiatan pelestarian idealnya bukan saja kebudayaan yang harus terjaga (tetap eksis) tetapi masyarakatnya pun harus hidup sejahtera. Harus diupayakan agar meskipun dengan berkesenian masyarakat tetap dapat hidup layak.  

Sebagai penutup, maraknya "pengamen ondel-ondel" yang tidak memedulikan nilai seni juga harus ditengarai sebagai masalah kesejahteraan sosial masyarakat urban. Bahkan bila ditelusuri lebih luas, fenomena "seni sebagai sarana ngamen" di jalanan juga dijumpai di berbagai kota lain dan pada beberapa budaya lain (Jawa, misalnya). Hal ini tentu harus menjadi kajian tersendiri. 

Sekarang, nyok kite ngarak ondel-ondel kembali kepada tradisi dengan tetap mempertimbangkan nilai-nilai humanisme!

DK, 15/12/2018   

Sumber bacaan: liputan6; tirto.id; kompas.com; Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi; dan Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2017 tentang Ikon Budaya Betawi  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun