Seperti keceblokan bintang, pak George berkata tegas, “Malam ini, sekarang juga, kita harus ke sana, ke Heru Cokro. Apakah bisa, Pak Anang, kita ke sana sekarang?”
Pak Anang, sopir kami, mantan pengelana Alas Ketonggo, kelihatan ragu, tapi kemudian, “Siap, bisa Pak George!”
Jalan menuju Umbul Jambe berbatu-batu menembus hutan jati yang gelap dan lebat. Tidak satu katapun keluar dari kami. Hening. Hanya deru rendah mobil yang terdengar dan kelebatan kunang-kunang dan lampu mobil di dahan-dahan jati yang terlihat.
Tapi kemudian Lek Nar memecah keheningan, “Dulu menjelang bu Mega jadi presiden, ada sinar biru benderang nylorot di langit Ketonggo. Dan menjelang pak Harto lengser keprabon, ada pohon besar di hutan Ketonggo tumbang tak ada angin tak ada hujan. Dan konon Bung Karno pernah tirakat di hutan sakral ini.”
Setelah membelok ke kanan, menurun tajam, kami tiba di depan sebuah gapura besar berhias patung garuda. Keindahan gapura, kekeramatan Umbul Jambe, dan keheningan malam membuat kami berhemat kata sebisa mungkin. Lek Nar, berjalan di depan memandu kami melintasi gapura, menelusuri jembatan gantung yang dihias patung naga di kanan-kiri pintu masuknya. Sesampai di seberang kami beristirahat di pinggiran Umbul Jambe, sumber air bening yang mancur ke atas tidak pernah berhenti. Sumber ini dinaungi atap joglo. Pelatarannya dihias lukisan teratai. Gemericik Umbul Jambe menemani istirahat kami.
Puas beristirahat, kami berjalan ke atas, melintasi tugu Pancasila, menuju Petilasan Heru Cokro. Lek Nar menceritakan bahwa gapura, jembatan, joglo Umbul Jambe, dan tugu Pancasila dibangun oleh pengusaha kaya dari Kediri yang sangat mencintai budaya Jawa.
Setiba di Petilasan Heru Cokro, pak George ganti memimpin rombongan. Beliau berjalan di depan menaiki tangga petilasan. Ternyata pak George pernah berkunjung ke punden ini sebelumnya, tahun 80 an. Kami duduk bersila di depan seduah gundukan batu granit. Pak George bersila, memejamkan mata. Hening. Mungkin beliau sedang membayangkan yang terjadi di tempat sakral ini ratusan tahun silam. Konon punden yang mibawahi ini adalah tempat bertemunya Raden Patah, Sunan Kalijaga, dan Prabu Brawijaya Pamungkas. Raden Patah dengan bantuan Sunan Kalijaga berusaha membujuk Prabu Brawijaya untuk memeluk agama Islam.
“Dwi, saya istirahat sebentar ya di sini. Kalau Dwi dan pak Gunarto ingin jalan-jalan, silahkan,” kata pak George setelah mengheningkan diri.
Jalan-jalan di hutan malam-malam?
“Wah, lek Nar, tahu di hutan nggak ada warung, harusnya tadi kita bawa ya tahu isi yang masih banyak itu.”
“Coba kita nyabrang jembatan, siapa tahu ada warung yang masih buka,” saran lek Nar.