Mohon tunggu...
Dwi Elyono
Dwi Elyono Mohon Tunggu... Dosen - Pencari

Penerjemah bhs Inggris bhs Indonesia/bhs Jawa; peneliti independen dlm kajian penerjemahan, kajian Jawa, dan semantik budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Alas Ketonggo ~ Tempat Bertemunya Raden Patah, Sunan Kalijaga, Prabu Brawijaya Pamungkas, dan Profesor George Quinn

10 Juli 2016   03:46 Diperbarui: 14 Februari 2019   00:45 2953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Suatu hari bulan Oktober 2015 HP saya kemasukan SMS dari seseorang yang sangat tidak terduga, seorang profesor dunia dalam bidang kajian budaya, sastra, dan bahasa Jawa, Profesor George Quinn dari Australian National University (ANU), Canberra, Australia.

Pak George (begitu saya memanggilnya) memberitahu bahwa beliau sedang dalam perjalanan kereta menuju Madiun dan akan tiba jam tujuh malam.

Besok siangnya saya jemput pak George di Hotel Amaris Madiun. Hotel yang baru selesai dibangun ini seolah-olah dibangun khusus untuk menyambut kedatangan tamu Agung dari Brang Kidul. Melihat pak George di lobby hotel bagai melihat alien dari Planet Uluru ~ tinggi, besar, pirang, wajah cerah campur teduh seperti kebanyakan wajah orang Uluru.

Rencana pak George hari itu, makan siang di rumah kami di Ngawi, kemudian bablas ke Alas Ketonggo, di lereng timur laut Gunung Lawu, salah satu tempat paling sakral bagi masyarakat Jawa.

Pak George membuat gempar orang-orang di desa. Beliau adalah bule pertama yang berkunjung ke kampung kami. Yang pertama bikin gempar tentu saja kebuleannya. Tapi yang bikin warga melongo adalah … beliau bisa ngomong bahasa Jawa, baik boso Jowo Ngoko, Madya, maupun Kromo Inggil.

Opo ora edan?

“Eh, jebule Eyang George iso ngomong Jowo!” teriak tetangga terheran-heran.

Saking asyiknya ngganyemi bothok jamur dan tahu isi buatan Jeng Ranti, pak George sampai lupa dengan acara berikutnya. Untungnya Alas Ketonggo tidak sampai satu jam dari rumah kami. Kami sampai di hutan keramat ini pas maghrib.

Beruntung saat kami tiba, Mbah Marji, sang juru kunci, ada di pendopo di samping petilasan Srigati. Perawakan Mbah Marji yang kecil, legam, dan trengginas, dan rambut dan jenggotnya yang kelawu panjang, kontras seratus delapan puluh derajat dengan perawakan pak George yang tinggi besar, pink. Mbah Marji ‘guru sejati’ lelaku Jawa bertemu dengan pak George ‘guru besar’ ziarah Jawa.

“Berarti dalam kehidupan itu, selalu ada huru-hara, nggih, Mbah Marji, sebelum ketentraman muncul?” tanya pak George.

“Benar,” jawab mbah Marji, “dan dalam kaitannya dengan hal ini, ada tempat keramat di Alas Ketonggo ini yang namanya Petilasan Heru Cokro di wilayah Umbul Jambe.”

Seperti keceblokan bintang, pak George berkata tegas, “Malam ini, sekarang juga, kita harus ke sana, ke Heru Cokro. Apakah bisa, Pak Anang, kita ke sana sekarang?”

Pak Anang, sopir kami, mantan pengelana Alas Ketonggo, kelihatan ragu, tapi kemudian, “Siap, bisa Pak George!”

Jalan menuju Umbul Jambe berbatu-batu menembus hutan jati yang gelap dan lebat. Tidak satu katapun keluar dari kami. Hening. Hanya deru rendah mobil yang terdengar dan kelebatan kunang-kunang dan lampu mobil di dahan-dahan jati yang terlihat.

Tapi kemudian Lek Nar memecah keheningan, “Dulu menjelang bu Mega jadi presiden, ada sinar biru benderang nylorot di langit Ketonggo. Dan menjelang pak Harto lengser keprabon, ada pohon besar di hutan Ketonggo tumbang tak ada angin tak ada hujan. Dan konon Bung Karno pernah tirakat di hutan sakral ini.”

Setelah membelok ke kanan, menurun tajam, kami tiba di depan sebuah gapura besar berhias patung garuda. Keindahan gapura, kekeramatan Umbul Jambe, dan keheningan malam membuat kami berhemat kata sebisa mungkin. Lek Nar, berjalan di depan memandu kami melintasi gapura, menelusuri jembatan gantung yang dihias patung naga di kanan-kiri pintu masuknya. Sesampai di seberang kami beristirahat di pinggiran Umbul Jambe, sumber air bening yang mancur ke atas tidak pernah berhenti. Sumber ini dinaungi atap joglo. Pelatarannya dihias lukisan teratai. Gemericik Umbul Jambe menemani istirahat kami.

Puas beristirahat, kami berjalan ke atas, melintasi tugu Pancasila, menuju Petilasan Heru Cokro. Lek Nar menceritakan bahwa gapura, jembatan, joglo Umbul Jambe, dan tugu Pancasila dibangun oleh pengusaha kaya dari Kediri yang sangat mencintai budaya Jawa.

Setiba di Petilasan Heru Cokro, pak George ganti memimpin rombongan. Beliau berjalan di depan menaiki tangga petilasan. Ternyata pak George pernah berkunjung ke punden ini sebelumnya, tahun 80 an. Kami duduk bersila di depan seduah gundukan batu granit. Pak George bersila, memejamkan mata. Hening. Mungkin beliau sedang membayangkan yang terjadi di tempat sakral ini ratusan tahun silam. Konon punden yang mibawahi ini adalah tempat bertemunya Raden Patah, Sunan Kalijaga, dan Prabu Brawijaya Pamungkas. Raden Patah dengan bantuan Sunan Kalijaga berusaha membujuk Prabu Brawijaya untuk memeluk agama Islam.

“Dwi, saya istirahat sebentar ya di sini. Kalau Dwi dan pak Gunarto ingin jalan-jalan, silahkan,” kata pak George setelah mengheningkan diri.

Jalan-jalan di hutan malam-malam?

“Wah, lek Nar, tahu di hutan nggak ada warung, harusnya tadi kita bawa ya tahu isi yang masih banyak itu.”

“Coba kita nyabrang jembatan, siapa tahu ada warung yang masih buka,” saran lek Nar.

Ternyata benar, ada satu warung yang masih buka.

“Makan kacang sambil ngopi di tengah-tengah heningnya Alas Ketonggo adalah salah satu anugerah terindah dari Gusti Allah,” kata lek Nar menerawang.

“Benar, Lek.”

Ternyata pengunjung warung orang penting-penting. Ada lurah dari Ponorogo. Ada anggota DPR dari Ngawi. Ada pengusaha kaya. Macem-macem.

Dan ada profesor dari Australia, pak George!

Setelah lewat tengah malam, pengunjung, bapak-bapak ibu-ibu, datang, kebanyakan dengan mobil, mengambil air dari Umbul Jambe. Kata mbah pemilik warung, mereka menggunakan air Umbul Jambe untuk berbagai keperluan, khususnya untuk menjaga kesehatan, mengingat airnya yang jernih dan menyegarkan.

Sekitar jam satu malam pak George bergabung bersama kami di warung setelah saya jemput dari Petilasan Heru Cokro. Warung langsung gempar begitu melihat pak George merunduk ke dalam. Saat pak George dirubung pak Lurah Ponorogo, dan pengunjung-pengunjung super penting lainnya, pikiran menerawang ke yang ditanyakan pak George ke mbah Marji, mengapa selalu ada huru-hara sebelum muncul ketentraman. Raden Patah konon dengan ‘agak memaksa’ meminta ayahnya sendiri Prabu Brawijaya Pamungkas memeluk agama Islam. Demi menghindari perselisihan, Sang Prabu kemudian meninggalkan kraton memilih menyepi tirakat di puncak Gunung Lawu. Di tengah perjalanan, beliau beristirahat di Alas Ketonggo selama beberapa lama. Apakah pemaksaan Raden Patah kepada ayahandanya adalah suatu bentuk ‘huru hara’, dan kemudian bertemunya Raden Patah dan Prabu Brawijaya yang dijembatani Sunan Kalijaga di Petilasan Heru Cokro adalah suatu bentuk ketentraman? Yang muncul setelah adanya huru-hara? Apakah ini semua yang menyebabkan mbah Marji mengkaitkan pertanyaan pak George dengan petilasan Heru Cokro? Yang merupakan lambang penting keharmonisan antara Islam (Raden Patah), ‘Islam~Jawa’ (Sunan Kalijaga Sang Penjembatan), dan Jawa (Prabu Brawijaya Pamungkas) …

Kucing hitam loreng membuyarkan penerawangan. Pak George masih dirubung orang. Gapura garuda masih tegak mengawal Heru Cokro dan Umbul Jambe.

Sinar pagi pertama menyeruak dedaunan jati, mobil pak Anang bergerak kembali ke pendopo Srigati. Jati-jati berlarian di mata pak George yang biru, yang telah puluhan tahun menyaksikan kekeramatan tempat-tempat Njawani di pulau Jawa, dari makam-makam Sunan sampai makam-makam Sultan, dari Alas Purwo di Banyuwangi sampai Alas Ketonggo di lereng Lawu, dari makam Troloyo di Trowulan sampai makam ulama-ulama besar di Banten.

Sayang mbah Marji tidak ada di pendopo. Pak George mengajak kami masuk ke cungkup Srigati. Tempat paling keramat di Alas Ketonggo. Konon setelah pertemuan dengan Raden Patah dan Sunan Kalijaga di Heru Cokro, Sang Prabu Brawijaya melakukan tirakat kumkum, berendam di Kali Tempur, pertemuan dua kali yang terletak di kidul kulon Ketonggo. Setelah menjalani tirakat di Kali Tempur, beliau menanggalkan semua atribut kebesarannya, mulai dari mahkota, jubah, sampai pusaka, di suatu lokasi tidak jauh dari Kali Tempur. Tempat Sang Prabu menanggalkan semua lambang kebesarannya kini dikenal dengan nama Petilasan Srigati.

Seperti yang beliau lakukan di Petilasan Heru Cokro, di Petilasan Srigati pak George duduk bersila, mengheningkan diri, memejamkan mata. Mungkin dalam hening, pak George membayangkan betapa mulia laku Sang Prabu menanggalkan keduniawian, beralih ke kehidupan sejati.

Konon setelah mengalami transformasi spiritual di Alas Ketonggo, Sang Prabu melanjutkan perjalanan ke Puncak Lawu, menjalani hidup sebagai seorang pertapa bersama beberapa abdi dalemnya yang setia. Prabu Brawijaya tinggal di Puncak Lawu, yang kini dikenal dengan nama Puncak Hargodumilah, hingga kemoksaannya.

Sering pendaki gunung mulai dua pos terakhir menjelang Puncak Hargodumilah ‘ditemui’ seekor jalak hitam, yang kemudian seolah-olah membimbing pendaki naik ke puncak. Konon jalak hitam ini adalah penjelmaan abdi dalem atau santrinya Prabu Brawijaya.

Di dalam petilasan Srigati, sambil merasakan heningnya laku pak George, saya mengamati gundukan tanah yang ada di depan kami. Tanah di depan kami selalu tumbuh, tapi tidak pernah terlalu tinggi karena selalu diambil pengunjung dibawa pulang. Konon apabila negara dalam keadaan tidak menentu, tanah Srigati akan meninggi. Namun apabila negara kembali tentram, tanah kembali datar.

Mobil pak Anang melewati Teguhan, Kedung Putri, Kedung Galar, Kwadungan, sebelum akhirnya tiba kembali di rumah kayu kami yang sederhana. Pak George menikmati kembali tahu isi yang lezat masakan Jeng Ranti. Kami lepas pak George dengan berat. Beliau meneruskan perjalanan ke Kediri bersama pak Anang, ke Petilasan Joyoboyo. Kemudian ke Makam Arosbaya di Bangkalan, Madura, ke Makam Sunan Ampel di Surabaya, dan kemudian terakhir ke Makam Mbah Priuk di Jakarta.

Mengapa pak George begitu mencintai tempat-tempat keramat di Jawa? Jangan-jangan pak George reinkarnasi Prabu Brawijaya Pamungkas, yang sangat mencintai laku prihatin dan tirakat.

Salam dari Lembah Majura-Ngunnawal, Brang Kidul,

Dwi ~ murid pak George

9 Juli 2016 Sabtu

~ Tiga tahun kemudian buku Profesor George Quinn "Bandit Saints of Java: How Java's eccentric saints are challenging fundamentalist Islam in Modern Indonesia" diterbitkan oleh Monsoon Books, Inggris (1 November 2018). Kunjungan, interaksi yang mendalam dengan pelaku-pelaku ziarah, dan perenungan pak George di Alas Ketonggo dan di banyak tempat keramat lainnya di Jawa selama lebih dari 20 tahun menjadi sumber data yang kaya dan inspirasi bagi penulisan buku "Bandit Saints of Java ...". Buku pak George ini menjadi salah satu buku kunci bagi pemahaman akan pemikiran dan praktik Islam di Nusantara, khususnya di tanah Jawa. Tanggal 21 Februari mendatang akan diadakan peluncuran buku tentang praktik ziarah di tanah Jawa ini di Asia Bookroom, Canberra, Australia. Dalam peluncuran buku tersebut, Profesor George Quinn, budayawan Jawa kondang, akan berbincang-publik dengan Emeritus Profesor James Fox, seorang Indonesianis terkemuka. ~   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun