Mohon tunggu...
Dwi Elyono
Dwi Elyono Mohon Tunggu... Dosen - Pencari

Penerjemah bhs Inggris bhs Indonesia/bhs Jawa; peneliti independen dlm kajian penerjemahan, kajian Jawa, dan semantik budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berbahasa Inggris Seperti Native, Bisakah?

2 Mei 2016   11:15 Diperbarui: 22 April 2018   21:37 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ingat program imersi di sekolah-sekolah internasional di pelosok Indonesia beberapa tahun lalu? Diharapkan bahwa dengan diimersikan, murid akan dengan cepat menguasai bahasa Inggris seperti native.

Salah satu ‘tujuan jembatan’ dari pendirian sekolah-sekolah internasional tersebut adalah menghasilkan lulusan yang bisa berbahasa Inggris seperti native. Penguasaan bahasa Inggris seperti native diharapkan bisa menjadi salah modal utama mereka untuk ‘menginternasionalkan’ diri.

Namun, tujuan hebat tersebut tidak tercapai. Komunikasi antara murid dan guru didominasi penggunaan bahasa Indonesia. Bahasa Inggris hanya digunakan pada bagian-bagian pelajaran yang tidak membutuhkan komunikasi kompleks. Mengapa hal ini bisa terjadi? Salah satu penyebabnya adalah banyak guru yang bahasa Inggrisnya masih buruk, walau telah dipersiapkan dengan kursus-kursus bahasa Inggris yang umumnya diselenggarakan oleh kampus-kampus terkemuka. Bagaimana murid bisa berbahasa Inggris dengan baik kalau bahasa Inggris gurunya masih menyedihkan?

Dan masih ada banyak lagi penyebab lainnya.

Sekarang sekolah-sekolah internasional sudah tiada. Tapi ada satu pertanyaan menarik yang muncul dari pengalaman bangsa merekayasa pendidikan tersebut, yaitu ‘bagaimana membuat pemBelajar bahasa Inggris bisa berbahasa Inggris seperti native?’

Tahun 2008 kami sekeluarga boyongan ke Canberra, Australia, karena saya memulai studi lanjut. Kami masuk ke lingkungan yang serba baru: iklim, budaya, dan bahasa yang berbeda. Baru satu minggu di Canberra, anak kami Eka (yang waktu itu berumur 7 tahun), memulai Intensive English Course (IEC) - program pelatihan bahasa Inggris bagi anak-anak usia sekolah yang baru datang di Australia dan belum bisa berbahasa Inggris.

Program ini diadakan di North Aisnlie Primary School, sebuah sekolah dasar yang lokasinya tidak jauh dari apartemen kami. Sesuai dengan usianya, Eka ditempatkan di kelas 2. Teman-temannya berasal dari Cina, Jepang, Korea Selatan, Belanda, Jerman, Brazil, dan lain-lain. Materi dalam program khusus ini sama dengan yang diajarkan di program mainstream, program umum bagi murid asli Australia dan murid dari luar Australia yang sudah bisa berbahasa Inggris, namun kedalaman dan cakupannya dibatasi karena separoh waktu program IEC dialokasikan bagi pemBelajaran bahasa Inggris.

Komunikasi dalam kelas IEC berlangsung total dalam bahasa Inggris. Dengan kata lain, pembelajaran bahasa Inggris di kelas dilakukan dengan ‘metode langsung,’ di mana murid diajak membahas materi pelajaran non-bahasa Inggris - seperti matematika, seni, dan olahraga - seolah-olah mereka sudah bisa berbahasa Inggris. Metode langsung ini dipadu dengan metode bacaan berjenjang, di mana murid diberi tugas membaca di rumah teks-teks menarik dengan tingkat kesulitan berjenjang. Di sini terlihat peran orang tua. Mereka membantu murid menerjemahkan teks-teks tersebut ke dalam bahasa ibu mereka. Bisa kita lihat di sini sinergi antara orang tua dan sekolah dalam membantu murid menguasai bahasa Inggris dalam tahap awal.

Murid satu dengan lainnya saling berkomunikasi total dalam bahasa Inggris dalam melakukan pembelajaran dan bermain di sekolah. Di luar jam sekolah, mereka terus menggunakan bahasa Inggris dalam berbagai kegiatan, terutama bermain. Jadi, praktis mulai jam 8.30 pagi (sejak naik bus), sampai pulang sekolah jam 3 sore, sampai sekitar jam 5 sore (jam terakhir bermain), Eka tenggelam dalam penggunaan bahasa Inggris.

Dalam tiga bulan di IEC, Eka sudah bisa menggunakan bahasa Inggris dengan cukup baik, sudah bisa memahami pertanyaan dan pernyataan-pernyataan gurunya, dan bahkan sudah bisa memahami lelucon teman-temannya. Tingkat penguasaan bahasa Inggris semacam itu seandainya pemBelajarannya dilakukan di Indonesia bisa dicapai baru setelah satu sampai dua tahun oleh anak seusia Eka.

Setelah dianggap menguasai bahasa Inggris cukup baik, Eka dipindah ke kelas mainstream, di mana dia belajar pelajaran-pelajaran umum (termasuk bahasa Inggris tentunya) dengan bahasa Inggris yang apa adanya (yang tidak direkayasa menjadi ‘lebih mudah’ sebagaimana dilakukan di kelas IEC). Dalam tiga bulan di kelas mainstream, bahasa Inggris Eka menjadi native, sebagaimana disampaikan gurunya, “ Eka is also a native speaker of English now besides a native speaker of Indonesian, so now he is bilingual.”

Memang setelah tiga bulan di IEC dan tiga bulan di mainstream, Eka sudah bisa berbicara bahasa Inggris layaknya anak Australia asli. Hanya dalam enam bulan dia sudah bisa bercakap-cakap dengan teman Canberranya, saling melempar lelucon, saling menggoda, dan bisa memahami lawakan di televisi!

Pemerolehan bahasa Inggris Eka dan oleh teman-teman IEC-nya adalah hal yang luar biasa, khususnya apabila dibandingkan dengan kebanyakan hasil pemBelajaran bahasa Inggris di sekolah-sekolah Indonesia. Eka dan teman-temannya bisa menguasai bahasa Inggris native hanya dalam waktu enam bulan, padahal kita di Indonesia, telah belajar bertahun-tahun, tapi apa hasilnya?

Mungkinkah pemBelajaran bahasa Inggris di Indonesia bisa membuat pemBelajarnya menguasai bahasa Inggris tingkat native dalam waktu singkat?

Saya amati, ada tiga faktor yang membuat Eka menjadi seorang native speaker bahasa Inggris, yaitu keterpaparan pada bahasa Inggris yang ‘sesungguhnya,’ penggunaan bahasa Inggris yang intens dan lama, dan ‘ketidaksadaran’ menggunakan bahasa Inggris.

Eka mulai dari kelas IEC sampai mainstream terpapar penggunaan bahasa Inggris yang sesungguhnya, yang diucapkan oleh guru-guru dan teman-teman Australianya, dan yang terwujud dalam bentuk teks tulis materi pelajaran. Dengan kata lain, Eka terpapar pada aksen Australia, pelafalan bahasa Inggris yang benar, kosa kata Canberra, berbagai teks tulis sekolah OZ, dan istilah-istilah pergaulan keseharian anak Canberra.

Keterpaparan Eka pada penggunaan bahasa Inggris otentik dan sekaligus penggunaannya berlangsung intens dan lama, mulai dari bangun tidur (bukan hanya dari naik bus sebagaimana saya sebutkan di atas), dengan langsung nonton TV kartun, sampai di sekolah dalam proses pemBelajaran, sampai bermain skateboard dan PS dengan teman-temannya, dan sampai tidur lagi, setelah mengerjakan homework.

Bisa dikatakan bahwa, setelah hanya seminggu belajar di kelas IEC, Eka sudah tidak merasakan bahwa dia sejatinya masih belajar bahasa Inggris. Yang dia rasakan adalah (seolah-olah) sudah belajar di kelas mainstream dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya, dan (seolah-olah) sudah menjadi seorang native. Keadaan ini terus dia rasakan sampai lulus dari program IEC. Dan begitu masuk kelas mainstream, psycho dia sudah Australian: pola pikir native, perilaku native, dan bahasa Inggris native.

(Perlu saya sampaikan, walaupun sudah masuk ke dalam psycho Australia, psycho native Indonesia dan Jawanya tetaplah kuat, karena di rumah, dia, ibunya, dan bapaknya tetap berpikir dan bersikap secara Indonesia-Jawa, dan bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia dan Jawa.)

Jadi, sekali lagi, faktor inti yang membuat Eka menjadi native speaker bahasa Inggris adalah:

keterpaparan pada bahasa Inggris otentik,

penggunaan bahasa Inggris yang intens dan lama, dan

ketidaksadaran saat menggunakannya.

Saya pikir ketiga faktor di atas bisa diadakan dalam pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia untuk membuat pembelajarnya bisa berbahasa Inggris seperti native.

Keterpaparan pada bahasa Inggris otentik memang sulit dicapai dalam kebanyakan pembelajaran di Indonesia, karena sebagaimana diketahui, mahal sekali biaya mendatangkan guru native. Yang bisa dicapai secara realistis adalah menciptakan keterpaparan pada bahasa Inggris yang hampir native. Hal ini bisa diwujudkan dengan mempekerjakan guru-guru lokal yang bahasa Inggrisnya benar-benar jago – yang excellent listeningnya, speakingnya, readingnya, dan writingnya; yang bisa dijadikan ‘model hampir native’ di kelas.

Faktor utama kegagalan penggunaan bahasa Inggris di kelas-kelas pelajaran non-bahasa Inggris dalam program imersi waktu itu adalah ketidakmampuan guru-gurunya dalam berbahasa Inggris dengan baik. Singkat kata, di kelas tidak ada model penggunaan bahasa Inggris yang bisa dicontoh.

Penggunaan bahasa Inggris yang intens dan lama bisa diadakan oleh lembaga-lembaga pengajaran bahasa Inggris di Indonesia. Saya amati, justru prodi atau jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di kampus-kampus Indonesia belum bisa mengusahakan kegiatan ini. Malah beberapa lembaga kursus telah lama menerapkannya, dan berhasil menghasilkan lulusan-lulusan yang jago berbahasa Inggris seperti native, misal beberapa lembaga kursus bahasa Inggris di Pare, Kediri, Jawa Timur. Di lembaga-lembaga ini, murid diwajibkan menggunakan bahasa Inggris sejak subuh sampai waktu tidur di malam hari. Di sini penggunaan bahasa Inggris berlangsung tidak hanya dalam pembelajaran formal di kelas, namun juga dalam kegiatan non-kelas sehari-hari. Proses ini mirip dengan yang dialami Eka dan teman-temannya sewaktu belajar di Australia.

Melakukan secara rutin kegiatan keseharian yang melibatkan penggunaan bahasa Inggris - seperti bermain bersama, bernyanyi bersama, atau berdiskusi - akan membuat pemBelajar to some extent tidak sadar bahwa mereka sedang belajar bahasa Inggris. Kegiatan non-kelas sehari-hari yang dilakukan oleh murid-murid bahasa Inggris di Pare, mulai dari diskusi setelah subuh, membersihkan asrama, masak dan makan bersama, sampai nyantai-nyantai bersama, membuat mereka lupa bahwa mereka sejatinya sedang belajar bahasa paling internasional ini – seolah-olah bahasa Inggris adalah bahasa ibu mereka.

Bisakah kita berbahasa Inggris seperti native?

Bisa, asal ketiga faktor di atas dipenuhi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun