Memang setelah tiga bulan di IEC dan tiga bulan di mainstream, Eka sudah bisa berbicara bahasa Inggris layaknya anak Australia asli. Hanya dalam enam bulan dia sudah bisa bercakap-cakap dengan teman Canberranya, saling melempar lelucon, saling menggoda, dan bisa memahami lawakan di televisi!
Pemerolehan bahasa Inggris Eka dan oleh teman-teman IEC-nya adalah hal yang luar biasa, khususnya apabila dibandingkan dengan kebanyakan hasil pemBelajaran bahasa Inggris di sekolah-sekolah Indonesia. Eka dan teman-temannya bisa menguasai bahasa Inggris native hanya dalam waktu enam bulan, padahal kita di Indonesia, telah belajar bertahun-tahun, tapi apa hasilnya?
Mungkinkah pemBelajaran bahasa Inggris di Indonesia bisa membuat pemBelajarnya menguasai bahasa Inggris tingkat native dalam waktu singkat?
Saya amati, ada tiga faktor yang membuat Eka menjadi seorang native speaker bahasa Inggris, yaitu keterpaparan pada bahasa Inggris yang ‘sesungguhnya,’ penggunaan bahasa Inggris yang intens dan lama, dan ‘ketidaksadaran’ menggunakan bahasa Inggris.
Eka mulai dari kelas IEC sampai mainstream terpapar penggunaan bahasa Inggris yang sesungguhnya, yang diucapkan oleh guru-guru dan teman-teman Australianya, dan yang terwujud dalam bentuk teks tulis materi pelajaran. Dengan kata lain, Eka terpapar pada aksen Australia, pelafalan bahasa Inggris yang benar, kosa kata Canberra, berbagai teks tulis sekolah OZ, dan istilah-istilah pergaulan keseharian anak Canberra.
Keterpaparan Eka pada penggunaan bahasa Inggris otentik dan sekaligus penggunaannya berlangsung intens dan lama, mulai dari bangun tidur (bukan hanya dari naik bus sebagaimana saya sebutkan di atas), dengan langsung nonton TV kartun, sampai di sekolah dalam proses pemBelajaran, sampai bermain skateboard dan PS dengan teman-temannya, dan sampai tidur lagi, setelah mengerjakan homework.
Bisa dikatakan bahwa, setelah hanya seminggu belajar di kelas IEC, Eka sudah tidak merasakan bahwa dia sejatinya masih belajar bahasa Inggris. Yang dia rasakan adalah (seolah-olah) sudah belajar di kelas mainstream dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya, dan (seolah-olah) sudah menjadi seorang native. Keadaan ini terus dia rasakan sampai lulus dari program IEC. Dan begitu masuk kelas mainstream, psycho dia sudah Australian: pola pikir native, perilaku native, dan bahasa Inggris native.
(Perlu saya sampaikan, walaupun sudah masuk ke dalam psycho Australia, psycho native Indonesia dan Jawanya tetaplah kuat, karena di rumah, dia, ibunya, dan bapaknya tetap berpikir dan bersikap secara Indonesia-Jawa, dan bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia dan Jawa.)
Jadi, sekali lagi, faktor inti yang membuat Eka menjadi native speaker bahasa Inggris adalah:
keterpaparan pada bahasa Inggris otentik,
penggunaan bahasa Inggris yang intens dan lama, dan