ketidaksadaran saat menggunakannya.
Saya pikir ketiga faktor di atas bisa diadakan dalam pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia untuk membuat pembelajarnya bisa berbahasa Inggris seperti native.
Keterpaparan pada bahasa Inggris otentik memang sulit dicapai dalam kebanyakan pembelajaran di Indonesia, karena sebagaimana diketahui, mahal sekali biaya mendatangkan guru native. Yang bisa dicapai secara realistis adalah menciptakan keterpaparan pada bahasa Inggris yang hampir native. Hal ini bisa diwujudkan dengan mempekerjakan guru-guru lokal yang bahasa Inggrisnya benar-benar jago – yang excellent listeningnya, speakingnya, readingnya, dan writingnya; yang bisa dijadikan ‘model hampir native’ di kelas.
Faktor utama kegagalan penggunaan bahasa Inggris di kelas-kelas pelajaran non-bahasa Inggris dalam program imersi waktu itu adalah ketidakmampuan guru-gurunya dalam berbahasa Inggris dengan baik. Singkat kata, di kelas tidak ada model penggunaan bahasa Inggris yang bisa dicontoh.
Penggunaan bahasa Inggris yang intens dan lama bisa diadakan oleh lembaga-lembaga pengajaran bahasa Inggris di Indonesia. Saya amati, justru prodi atau jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di kampus-kampus Indonesia belum bisa mengusahakan kegiatan ini. Malah beberapa lembaga kursus telah lama menerapkannya, dan berhasil menghasilkan lulusan-lulusan yang jago berbahasa Inggris seperti native, misal beberapa lembaga kursus bahasa Inggris di Pare, Kediri, Jawa Timur. Di lembaga-lembaga ini, murid diwajibkan menggunakan bahasa Inggris sejak subuh sampai waktu tidur di malam hari. Di sini penggunaan bahasa Inggris berlangsung tidak hanya dalam pembelajaran formal di kelas, namun juga dalam kegiatan non-kelas sehari-hari. Proses ini mirip dengan yang dialami Eka dan teman-temannya sewaktu belajar di Australia.
Melakukan secara rutin kegiatan keseharian yang melibatkan penggunaan bahasa Inggris - seperti bermain bersama, bernyanyi bersama, atau berdiskusi - akan membuat pemBelajar to some extent tidak sadar bahwa mereka sedang belajar bahasa Inggris. Kegiatan non-kelas sehari-hari yang dilakukan oleh murid-murid bahasa Inggris di Pare, mulai dari diskusi setelah subuh, membersihkan asrama, masak dan makan bersama, sampai nyantai-nyantai bersama, membuat mereka lupa bahwa mereka sejatinya sedang belajar bahasa paling internasional ini – seolah-olah bahasa Inggris adalah bahasa ibu mereka.
Bisakah kita berbahasa Inggris seperti native?
Bisa, asal ketiga faktor di atas dipenuhi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H