Suatu ketika, di beranda facebook saya wira-wiri tulisan Bang Bayu Gawtama (Relawan yang melegenda, pendiri lembaga filantropi Sekolah Relawan)
RELAWAN ITU ...
Tidak perlu dianggap baik
Relawan bukan malaikat yang suci tak berdosa. Dia sering khilaf dan banyak salah. Jika melihat kesalahan padanya, bantu ingatkan.Â
Relawan bukan superhero, nggak bisa dia tangani semua hal dengan tangannya sendiri, dengan kekuatannya sendiri. Nggak punya dia ilmu kanuragan, senjata rahasia atau tameng baja.Â
Relawan bukan orang yang selalu kuat bertenaga, seolah bisa angkat semua yang terluka. Kecil, sangat kecil saja kekuatannya. Sebab kekuatan utama ada pada Allah, doa orang tercinta dan dukungan semua pihak.Â
Relawan bukan dewa, yang tak punya lelah dan kesah. Ada waktunya merasa lemah dan lelah, adakalanya kadang berkesah, manusiawi. Bantu dengan doa.Â
Relawan nggak pernah mengaku orang baik. Mereka hanya ingin jadi orang baik. Tidak perlu pula dianggap baik.Â
Kadang ada terselip salah, tolong nasihati, jangan dihakimi.Â
Relawan bukan serba bisa. Kadang ia ceroboh, kadang juga merasa bodoh.Â
Kadang menyesal, lebih sering menertawai kebodohan sendiri.Â
Ijinkan kami belajar lebih banyak.Â
Relawan bukan orang yang nggak pernah menangis. Cuma mereka saja yang pandai sembunyikan air matanya. Percayalah, kadang ada saatnya mereka melow dan tak kuasa menahan air mata.Â
Relawan bukan orang yang tak punya rasa takut.Â
Dibalik seragam gagahnya, sekecil apapun tetap ada rasa takut saat hadapi resiko bahaya. Takut bukan berarti mundur atau menyerah.Â
Dan
Relawan bukan makhluk sempurna, ada kelebihan sekaligus kekurangan, punya kekuatan ada kelemahan, justru itulah kesempurnaan.
Bayu GawtamaÂ
Lalu saya terkenang berita beberapa bulan lalu, bertepatan dengan riuh rendahnya bencana erupsi Gunung Semeru. Ketika salah seorang relawan menjadi korban kecelakaan lalu lintas di tol panjang menuju perjalanan pulang ke Surabaya. Tak terbayang betapa pedih rasa kehilangan di hati keluarganya, istri yang baru beberapa bulan dinikahi, saat sosok yang berhari-hari meninggalkan keluarga demi panggilan kemanusiaan tiba-tiba pulang tanpa nama.
Membaca kembali tulisan Bang Bayu Gawtama, menerbitkan haru. Jadi relawan itu susah sungguh. Sesuai namanya : relawan -- maka pekerjaannya haruslah suka rela, tanpa ada gaji, komisi atau bonus berlimpah.Â
Jika ia terpanggil untuk menolong sesama di daerah bencana maka harus siap tidur beratap langit, beralas tanah atau matras sempit bersiap kehujanan dan diterpa angin malam apabila tak mendapat tempat bernaung di bawah tenda pengungsian. Belum lagi harus terbiasa dengan jatah makan yang sedikit, dan aroma korban bencana yang telah menjadi mayit.
Jika ada pertanyaan : "maukah jadi relawan?" Jawab saya jika harus terjun ke lapangan untuk meninggalkan keluarga berhari-hari dan berada langsung di tengah wilayah bencana tentulah "saya tidak mau dan tidak mampu.'' Saya bisa mengukur diri sendiri, tak ada kemampuan apapun yang saya miliki untuk bisa membantu di lapangan.Â
Saya cukup tahu diri, bahwa relawan yang tak dibekali kemampuan Search and Rescue, minimal cara mempertahankan diri sendiri di tengah ganasnya alam pasti merepotkan relawan yang telah banyak makan asam garam pengalaman. Alih-alih membantu jangan-jangan saya malah menjadi beban.
Jika ditelaah kembali, setidaknya syarat utama menjadi relawan itu ada tiga:
- Ikhlas
Namanya relawan tentu "bekerja" menolong sesama tidak butuh dipuji. Harus ikhlas jika tidak ada gaji dan komisi. Niatnya karena Lillahi tala, panggilan kemanusiaan dan niat membantu sesama karena perintah Tuhannya
- Memiliki kemampuan dasar survival, Search & Rescue
Relawan di daerah bencana harus paham situasi dan bagaimana mengenal tanda bahaya dari alam. Harus mampu mengendalikan diri. Di tengah penyelamatan korban banjir bandang misalnya, harus mampu berenang, bisa bertahan di tengah arus yang deras.Â
Relawan di musibah erupsi, harus bisa membaca situasi, gundukan abu di berbagai lokasi bisa saja menyimpan bara di dalamnya. Tanpa kemampuan membaca pertanda alam dan kemampuan penyelamatan kehadiran seseorang yang mengaku relawan bisa semakin merepotkan atau malah bisa menjadi korban
- Memiliki sumber finansial yang pasti
Terutama bagi relawan/ lelaki yang telah berkeluarga, sebaiknya ketika memutuskan menjadi relawan dan harus meninggalkan keluarga selama berhari-hari, ia telah memiliki cadangan nafkah bagi keluarga di rumah.Â
Sebab kewajiban utama seseorang yang telah berkeluarga adalah melindungi dan menafkahi keluarganya. Rasanya tak adil jika berjibaku menolong orang di daerah bencana atas nama kasih sayang terhadap sesama dan kemanusiaan, tetapi keluarganya kelaparan. Cadangan nafkah bisa dari tabungan relawan atau bantuan anggota keluarga yang lain.
Dan syarat lain yang tak kalah penting tentulah restu dari keluarga, orang tua maupun pasangan hidupnya.
Terjun langsung menjadi relawan selama berhari-hari apalagi berbulan-bulan? Duh rasanya tak sanggup. Sekelas manusia seperti saya baru bisa menjadi relawan di media sosial, misalnya dengan menulis dan memberitakan kabar baik. Atau relawan dadakan untuk membantu jalannya kegiatan amal dan keagamaan di majelis taklim dan masjid perumahan.Â
Serta mensupport dana sebagai donatur lembaga filantropi dan kemanusiaan lainnya semampu saya. Dan, sebagai sesama manusia hanya bisa turut mendoakan semoga panjang usia bagi orang-orang baik, panjang umur segala kebaikan. Semoga bagi mereka yang rela berbuat baik dengan membantu sesama selalu dianugerahi berbagai kemudahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H