Pada tahap akhir di awal tahun 1980-an, berbagai proyek dimulai untuk mempertahankan status wilayah sebagai pusat ekonomi dan komersial dunia. Keterpaduan antara kawasan industri dan komersial dalam area yang berdekatan menjadi prioritas dalam pembangunan.
Pengembangan lahan melalui reklamasi memberikan indikasi yang sangat jelas tentang perkembangan dinamis di ketiga wilayah kecil ini. Fakta ini sebelumnya tidak diberi perhatian dalam disiplin ilmu geografi "spasial yang berorientasi lahan". Glaser dan Walsh menyarankan, perubahan lahan dan langkah-langkah reklamasi lahan dapat dimasukkan sebagai indikator pertumbuhan ekonomi dalam studi geografi ekonomi. Menurut pendapat mereka, kecilnya wilayah tidak dapat lagi dianggap sebagai masalah pembangunan.
Glaser dan Walsh memberikan porsi paling besar menyoroti proses reklamasi dan perkembangan negara kota Singapura. Di negara ini, reklamasi memiliki korelasi positif yang tinggi dikaitkan dengan perkembangan ekonomi negara.
Langkah reklamasi lahan pertama di Singapura, dalam empat evolusi fase versi Glaser dan Walsh, dilakukan tidak lama setelah Raffles menjadi gubernur, pada tahun 1819. Raffles, ketika itu mengkonversi desa nelayan kecil menjadi  pusat perdagangan.
Tidak ada perubahan yang signifikan sampai tahun 1849. Kondisi sedikit berubah ketika ada urgensi strategis, militer dan administratif wilayah tersebut yang terkait kepentingan Inggri. Selain itu, juga karena dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869 yang semakin meningkatkan hubungan dengan Eropa. Fase pertama ini berlangsung hingga pergantian abad.
Setelah waktu ini, dan khususnya antara 1919 dan 1923, reklamasi untuk kepentingan umum dan tujuan militer dalam rangka perlindungan pesisir semakin meningkat. Perpanjangan pelabuhan dipercepat. Lebih lanjut reklamasi tanah diperlukan untuk pembangunan jaringan transportasi, termasuk tanggul jalan dan rel kereta api.
Fase kedua ini terganggu oleh pendudukan Jepang selama Perang Dunia II. Setelah perang sampai era otonomi pada 1960-an, proses perluasan wilayah melalui reklamasi relatif stagnan karena tingkat industrialisasi yang rendah.
Reklamasi tanah mulai menggeliat kembali sejak negara kota ini merdeka di tahun 1967. Dari titik ini, proyek reklamasi lahan berskala besar seluas ratusan hektar dilakukan untuk menyediakan permintaan yang semakin meningkat untuk lahan industri, infrastruktur transportasi, perdagangan dan perumahan. Singapura membangun Kawasan Industri Jurong, sebuah proyek reklamasi dengan luas sekitar 600 hektar di pantai.
Di tahun 1986 reklamasi lahan dari laut terhitung telah mencapai sekitar 8 km persegi, atau setara dengan jarak antara Pusat Kota dan Bandara Changi. Sebagian besar area ini dimanfaatkan untuk perluasan CBD ke daerah-daerah yang sebelumnya adalah laut.
Pada awal 1986, 266 hektar lahan direklamasi di area Marina South. Daerah lain juga direklamasi, misalnya di pulau-pulau lepas pantai yang berdekatan untuk industri petrokimia yang sedang berkembang. Pulau Sakra dan Pulau Bakau ditingkatkan ukurannya dari 15 hektar menjadi 155 hektar. Di Pulau Busing 51,2 hektar telah direklamasi untuk situs tangki minyak.