Mohon tunggu...
Durrotun Fatihah
Durrotun Fatihah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswi Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Book Review "Hukum Waris Islam di Indonesia (Perbandingan Kompilasi Hukum Islam dan Fiqih Sunni)

14 Maret 2023   23:16 Diperbarui: 14 Maret 2023   23:31 1955
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemudian untuk perhitungan pembagian waris bisa dilihat langsung dalam ebook yang tertera : https://idr.uin-antasari.ac.id/6387/1/Hukum%20Waris%20Islam%20di%20indonesia%20%28Perbandingan%20Kompilasi%20Hukum%20Islam%20dan%20Fiqh%20Sunni%291pdf.pdf

Lanjut tentang Hibah dan Wasiat. Secara etimologi, Wasiat diambil dari kata whasiat al-syai'a, ushihi yang dimaknakan aushatuhu artinya aku menyampaikan sesuatu. Dengan demikian muushi atau orang yang berwasiat adalah orang yang menyampaikan pesan diwaktu hidupnya untuk dilaksanakan sesudah matinya. Dasar hukum dari wasiat yaitu pada Q.S Al-Baqarah:180 yang artinya "Diwajibkan atas kamu apabila seorang di antara kamu kedatangan tanda-tanda kematian, jika ia meninggalkan harta peninggalan, berwasiat kepada kedua orang tua dan kerabat-kerabat yang dekat secara ma'ruf sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa".

Rukun dan syarat wasiat menurut madzhab fiqih sunni:

  • Adanya al-muhshi (pewasiat), yaitu orang yang berakal dan sudah dewasa, mukallaf dan tidak dipaksa orang lain. Dalam konteks demikian, KHI pasal 194 menyebutkan tentang orang yang berakal dan dewasa dipahami telah berusia sekurang-kurangnya 21 tahun (Pasal 194 ayat 1)
  • Adanya al-mushilahu (orang yang menerima wasiat) dengan syarat orang tersebut bukan ahli warisnya.
  • Adanya sesuatu yang diwasiatkan (al-musha bihi) adalah milik al-mushi (pewaris) tanpa ada tersangkut hak sedikitpun dengan orang lain.  Dengan kata lain bahwa harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari perwasiat (Pasal 194 ayat 2).  Dalam kategori ini, perwasiatan dipahami lebih bersifat materil/kebendaan, yang oleh karenanya benda dimaksud harus merupakan miliknya sendiri. Jumlahnya harus tidak lebih dari 1/3 harta yang dimiliki oleh pewasiat (al-mushi) kecuali disetujui oleh para ahli waris.
  • Adanya lafadz perwasiatan atau bukti terjadi perwasiatan.
  • Dalam menyikapi konteks demikian, pasal 195 ayat 1 menyebutkan :
  • "Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi atau dihadapan Notaris".

Pasal 197 KHI menegaskan:

1. Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiatberdasarkan putusan hakim yang mempunyai kekuatanhukum tetap dihukum karena:

a.Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewasiat,

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahunpenjara atau hukuman lebih berat,

c. Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat,

d. Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat.

Alasan yang mendasar mengapa tindak pidana pembunuhan atau percobaan pembunuhan atau tindak penganiayaan dan fitnah sebagaimana dikemukakan pasal 197 KHI di atas antara lain karena tindakan tersebut menunjukkan unsur pemaksaan terhadap pewasiat.

Pasal 197 ayat (2) menegaskan pula bahwa wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:

a. tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat,

b. Mengetahui adanya wasiat tersebut tetapi ia menolak untuk menerimanya,

c. mengetahui adanya wasiat itu tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.

Selanjutnya pasal 207 KHI menegaskan:

"Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia menderita sakit hingga meninggalnya kecuali ditentukan secara tegas dan jelas untuk membalas jasanya".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun