Pasal 171 huruf (a) KHI menegaskan fungsi atau tujuan dari diadakannya hukum warisan. Dengan maksud pengaturan tersebut yaitu telah terjabarnya hak-hak keperdataan mengenai harta yang berupa hak menerima harta dari orang tertentu itu ditimbulkan karena adanya hubungan khusus antara dirinya sebagai penerima hak dengan orang yang memiliki harta tersebut. Dalam hukum kewarisan Islam, hubungan tersebut dapat berupa hubungan nasab, hubungan karena sepersusuan dan hubungan sebab perkawinan. Dalam pasal ini, istilah tirkah yang dalam fiqh dipahami dengan harta peninggalan pewaris sebelum dikeluarkan untuk biaya penyelenggaraan jenazah, biaya pelunasan hutang ketika ia masih hidup dan pembayaran wasiat.
Pasal 171 huruf (d) menegaskan mengenai tirkah, yaitu istilah harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris, baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Hanya saja dalam ketentuan pasal-pasal KHI tidak dijelaskan, manakah yang harus didahulukan antara pembayaran hutang ataukah pembayaran wasiat pewaris jika harta peninggalan tidak mencukupi untuk pembayaran keduanya kecuali salah satunya. Walaupun pada akhirnya, dengan adanya konfirmasi pasal lain dalam KHI sebagaimana yang tersebut dalam pala 175 ayat (1) secara umum dapat dipahami kemungkinan untuk memprioritaskan pengeluaran biaya penyelenggaraan jenazah (tajhiz), kemudian utang, wasiat dan pembagian harta waris jika ada, sebagaimana akan dijelaskan.
Dalam khazanah pemikiran klasik, biaya penyelenggaraan jenazah harus dikeluarkan terlebih dahulu. Para ulama faradiyun sepakat bahwa pengeluaran biaya dimaksud haruslah didahulukan dari pembayaran hutang dan wasiatnya kepada orang lain. Alasan yang sangat mendasar dalam konteks ini adalah karena masalah tajhiz merupakan kebutuhan yang sangat mendesak (dharuri) sedangkan pelaksanaannya sendiri dihukumkan fardhu kifayah. Selanjutnya untuk memperoleh jawaban keseluruhan dimaksud dapatlah dikembangkan pemahaman terhadap pasal 175 ayat (1) bahwa kewajiban ahli waris terhadap pewaris, sebagai berikut:
a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;
b. Menyelesaikan baik utang-utang berupa pengobatan, perwatan termasuk kewajiban pewaris maupun penagih hutang;
c. Menyelesaikan wasiat pewaris;
d. Membagi harta warisan di antara ahli yang berhak.
Kemudian pasal 171 huruf (b) menegaskan mengenai masalah definisi pewaris sebagai orang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan di mana pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan Agama Islam, meningalkan ahli waris dan harta peninggalan. Ketentuan seperti ini tidak berbeda dengan ketentuan yang dirincikan dalam fiqh Islam selama ini. Apa yang dimaksud dengan meninggal di mata hukum adalah meninggalnya dapat dibuktikan secara hukum. Ia dapat dipersaksikan dan tidak disangsikan akan kematiannya. Sebaliknya, meninggal karena adanya pernyataan berdasarkan Putusan Pengadilan Agama adalah meningalnya secara hukmi yakni adanya persangkaan yang kuat setelah diteliti keberadaannya oleh pihak Pengadilan Agama.
Penetapan tentang ahli waris dimaksud dari Pengadilan Agama adalah berdasarkan adanya hubungan hukum (Islam) yakni hubungan darah/nasab (genetik), hubungan sepersusuan dan perkawinan sebagaimana yang dipahami terhadap pasa 171 huruf (c) dan apa yang dijabarkan pasal 174 KHI.
Pasal 171 huruf (d) mengenai harta peninggalan tidak lain adalah tirkah dalam istilah fiqh Islam yakni segala harta benda ataupun hak-hak kebendaan lainnya sebelum dikeluarkan biaya perawatan sakit sampai meninggalnya, biaya tajhiz, pembayaran utang dan wasiat. Harta yang tersisa dari pengeluaran tersebut adalah harta waris, baik berupa harta bawaan (pemberian orang lain kepada mayit selagi hidupnya atau harta waris dari orang yang mempunyai hubungan hukum dengan dirinya), ataupun dari harta bersama sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 171 huruf (e). Harta bersama dalam konteks ini adalah separoh harta suami/istri jika salah satunya masih hidup, atau setelah dibagi dua di antara suami-istri. Harta bersama di sini dapat dipahami secara umum sebagai harta campuran suami istri, kecuali harta bawaan mereka masing-masing selama tidak dibuat perjanjian khusus untuk menjadikannya sebagai harta bersama.
Selanjutnya, serangkaian perincian masalah kewarisan tidak pula mengenyampingkan masalah wasiat pewaris. Dengan kata lain masalah wasiat haruslah didahulukan sebelum terjadinya pembagian harta warisan kepada para ahli waris. Pasal 171 huruf (f) menjelaskan secara khusus bahwa wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Dengan kata lain wasiat terjadi selagi pewaris masih hidup untuk memberikan harta pribadinya kepada orang lain atau lembaga tertentu dengan pernyataan tegas dari pewaris bahwa ia maksudkan adalah wasiat. Seperti ia mengatakan, "Saya berikan kepada kamu (atau menyebut seseorang/lembaga) dengan jalan wasiat seperenam harta saya." Dipersksikan oleh dua orang saksi sebagaimana dirincikan Pasal 194-209 KHI. Memperhatikan demikian, wasiat berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Berbeda dengan hibah yang diberikan selagi ia masih hidup berupa harta untuk dimiliki sebagaimana maksud pasal 171 huruf (g) dan dirincikan dalam pasal 210-213 KHI.