B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan penelitian latar belakang yang telah dijelaskan, rumusan masalah dalam
penelitian tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
1. Bagaimana legalitas penerapan sanksi ekonomi, baik secara kolektif oleh Dewan
Keamanan PBB maupun secara unilateral, dalam kerangka hukum internasional ?
2. Apa dampak sosial dan ekonomi dari sanksi ekonomi terhadap negara target, seperti
Iran, Rusia, dan Korea Utara ?
3. Bagaimana sanksi ekonomi memengaruhi kedaulatan negara target dalam aspek
internal maupun eksternal ?
4. Apa tantangan utama dalam implementasi sanksi ekonomi, dan sejauh mana
efektivitasnya dalam mencapai tujuan internasional tanpa melanggar hak asasi
manusia ?
C. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam jenis penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif, untuk menganalisis legalitas sanksi ekonomi dalam kerangka hukum
internasional. Pendekatan ini menekankan pada analisis dokumen hukum yang relevan,
seperti Piagam PBB Pasal 39 dan 41, yang memberikan dasar hukum untuk penerapan
sanksi kolektif guna memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Pasal-pasal ini
mengatur tindakan yang dapat diambil oleh Dewan Keamanan PBB untuk mengatasi
ancaman terhadap perdamaian dunia, yang mencakup sanksi ekonomi terhadap negara-
negara yang melanggar hukum internasional. Pendekatan ini bertujuan untuk
mengidentifikasi apakah penerapan sanksi ekonomi, baik unilateral maupun kolektif,
sejalan dengan prinsip-prinsip dasar hukum internasional, terutama terkait dengan non-
intervensi dan kedaulatan negara.6 Penelitian ini juga mencakup metode studi kasus
yang digunakan untuk menganalisis penerapan sanksi ekonomi terhadap negara target,
seperti Iran, Rusia, dan Korea Utara. Studi kasus ini bertujuan untuk memberikan
wawasan yang lebih dalam tentang bagaimana sanksi ekonomi diterapkan dalam
konteks yang berbeda dan dampaknya terhadap kebijakan domestik negara-negara
tersebut. Dalam konteks Iran, sanksi ekonomi yang diterapkan oleh Amerika Serikat dan
negara-negara Eropa terkait dengan program nuklir negara tersebut memberikan contoh
tentang bagaimana sanksi internasional dapat digunakan untuk menekan kebijakan
domestik yang dianggap bertentangan dengan kepentingan internasional. Demikian
pula, dalam kasus Rusia, sanksi yang diterapkan oleh Uni Eropa dan negara-negara
Barat pasca-aneksasi Krimea memberikan gambaran tentang bagaimana sanksi dapat
digunakan untuk mengubah perilaku negara dalam hal pengakuan terhadap hukum
internasional. Sementara itu, Korea Utara menjadi contoh negara yang dikenakan sanksi
internasional yang sangat keras, baik oleh Dewan Keamanan PBB maupun negara-
negara besar, untuk menghentikan pengembangan senjata nuklir dan peluncuran rudal
balistiknya. Melalui perbandingan antara ketiga negara ini, penelitian ini bertujuan untuk
6 Danial, 'Peranan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Proses Penyelesaian Konflik
Internasional', Reuters, 16.February (2017), 2328--41.
mengidentifikasi pola penerapan sanksi ekonomi, baik yang dilakukan oleh organisasi
internasional seperti PBB, maupun secara unilateral oleh negara-negara besar.7
Selanjutnya, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, yang
mengandalkan data sekunder dari laporan internasional, jurnal, dan literatur akademik
untuk menggambarkan dampak sanksi ekonomi terhadap aspek ekonomi, sosial, dan
politik negara target. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang lebih
luas tentang bagaimana sanksi ekonomi mempengaruhi kedaulatan negara. Salah satu
fokus utama adalah dampak sosial dari sanksi, terutama dalam konteks pelanggaran hak
asasi manusia yang sering terjadi sebagai akibat dari penerapan sanksi ekonomi.
Misalnya, dampak sanksi terhadap Venezuela dan Iran menunjukkan bahwa sanksi
ekonomi yang dirancang untuk menekan pemerintah seringkali menyebabkan
penderitaan yang lebih besar bagi masyarakat sipil, dengan pembatasan akses terhadap
makanan, obat-obatan, dan kebutuhan dasar lainnya. Pendekatan ini juga akan
mengidentifikasi bagaimana sanksi memengaruhi dinamika sosial dan ekonomi di
negara-negara yang dikenakan sanksi, serta dampaknya terhadap hubungan antara
negara tersebut dan negara-negara pemberi sanksi.8
Metode penelitian ini dirancang untuk memberikan analisis yang menyeluruh tentang
penerapan sanksi ekonomi dalam konteks hukum internasional dan dampaknya terhadap
kedaulatan negara. Dengan pendekatan yang beragam ini, penelitian ini bertujuan untuk
menggali hubungan antara hukum internasional, kebijakan luar negeri, negara-negara
pemberi sanksi, dan respons negara target terhadap sanksi yang diterapkan.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Legalitas Penerapan Sanksi Ekonomi Secara Kolektif oleh Dewan Keamanan
PBB maupun Secara Unilateral
Sanksi Ekonomi berdasarkan Hukum Internasional
Setelah perang dingin, penerapan sanksi ekonomi semakin menjadi pilihan utama
dalam menyelesaikan konflik atau sengketa internasional, khususnya yang melibatkan
negara maju dan negara berkembang atau miskin. Negara-negara maju sering kali
memanfaatkan posisi mereka yang memiliki pengaruh ekonomi untuk menekan negara
yang lebih lemah. Sanksi ekonomi sejak lama dipandang sebagai alternatif yang lebih
manusiawi dibandingkan dengan tindakan perang. Mantan Presiden Amerika Serikat,
Woodrow Wilson, pada tahun 1919 mengungkapkan :
"Negara yang diboikot adalah n egara yang sedang menuju kekalahan. Terapkanlah
sanksi ekonomi ini, yang damai, senyap , namun mematikan, dan tidak akan diperlukan
penggunaan ke kuataan. Ini adalah langkah yang sangat keras. Tidak mengorbankan
nyawa di luar negara yang diboikot, tetapi memberi tekanan yang menurut saya tidak
dapat ditahan oleh negara manapun."
Pernyataan Wilson ini menunjukkan adanya kontradiksi antara kata "damai" dan
"mematikan", yang tampaknya tidak lagi relevan untuk diterapkan pada era modern.
7 M. Delevic, 'Economic Sanctions as a Foreign Policy Tool: The Case of Yugoslavia', International Journal of
Peace Studies, 3.1 (1998), 67--89.
8 Robert A. Pape, 'Why Economic Sanctions Do Not Work', International Security, 22.2 (1997), 90--110
<https://doi.org/10.2307/2539368>.
Jenis-Jenis Sanksi Ekonomi dalam Hukum Internasional
Pada tahun 1990-an, sanksi ekonomi sering dipandang sebagai alternatif yang
mudah, murah, dan lebih manusiawi dibandingkan dengan perang. Namun, dalam
praktinya, banyak sanksi ekonomi yang malah berfungi sebagai "instrument tumpul",
yang tidak terikat dengan hukum domestik atau internasional. Di negara-negara seperti
Haiti dan Irak, sanksi ini terbukti jauh lebih "mengerikan" daripada yang dianggap
"damai". Hal ini mengarah pada consensus luas bahwa sanksi harus dirancang dengan
lebih hati-hati agar dampak jangka panjangnya dapat diminimalkan, terutama terhadap
masyarakat sipil. Dewan keamanan PBB, meskipun telah mengadopsi sanksi dengan
klausul pembebasan kemanusiaan, tetap menghadapi kritik terkait konsekuensi
kemanusiaan yang berat bagi penduduk sipil. Sanksi ini seringkali memengaruhi sektor-
sektor penting seperti pangan dan obat-obatan, meskipun niat awalnya adalah untuk
mempengaruhi kebijakan negara yang dikenakan sanksi. Seiring dengan peningkatan
frekuensi penerapan sanksi sejak dekade 1990-an, bentuk dan tahapan intervensi
kemanusiaan dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan kemanusiaan
menjadi semakin beragam. Sanksi ekonomi, dalam konteks ini, umumnya diterapkan
dalam dua bentuk, pertama, melalui Dewan Keamanan PBB, dan kedua, oleh negara-
negara individu sebagai sanksi ekonomi unilateral, yang banyak diterapkan oleh negara
besar seperti Amerika Serikat, Rusia, dan negara-negara Uni Eropa.
Legalitas penerapan sanksi ekonomi ini, baik yang dilakukan secara kolektif oleh
Dewan Keamanan PBB maupun secara unilateral oleh Negara besar, tetap menjadi isu
hukum yang signifikan. Secara kolektif, sanksi yang diberlakukan oleh Dewan Keamanan
PBB didasarkan pada Pasal 39 dan Pasal 41 Piagam PBB, yang memberikan kewenangan
bagi Dewan Keamanan untuk menentukan ancaman terhadap perdamaian dunia dan
untuk memberlakukan tindakan non-militer, seperti sanksi ekonomi. Namun, tantangan
muncul ketika negara-negara besar memberlakukan sanksi unilateral tanpa melalui
Dewan Keamanan PBB, yang sering kali dipertanyakan dari segi legalitasnya dalam
kerangka hukum internasional, terutama terkait dengan prinsip non-intervensi dan
kedaulatan negara.9
Sanksi Ekonomi Unilateral dalam Hukum Internasional
Sanksi ekonomi unilateral yang dijatuhkan oleh satu negara secara sepihak kepada
negara lainnya. Unilateralism, sebagai doktrin yang mendukung tindakan sepihak, sering
kali dianggap sebagai instrument untuk memperjuangkan kepentingan politik negara
pengirim, namun mengabaikan kepentingan negara yang dikenakan sanksi. Negara yang
menerapkan sanksi unilateral berusaha untuk memberikan tekanan agar negara target
mengubah kebijakan atau tindakannya, meskipun tanpa melibatkan kerjasama
internasional. Konsep unilateralisme ini bertentangan dengan multilateralism, yang
menekankan pentingnya keterlibatan banyak pihak dalam pengambilan keputusan
internasional, dengan tujuan mencapai hasil yang lebih adil dan seimbang. Dalam
prakteknya, sanksi ekonomi unilateral sering kali tidak disertai dengan prosedur yang
jelas atau aturan yang terikat pada hukum internasional. Meskipun demikian, negara-
negara besar, khususnya Amerika Serikat, tetap menggunakan sanksi unilateral sebagai
9 Yanuar Nurul Fahmi, 'Implementasi Sanksi Ekonomi Sebagai Bentuk Penyelesaian Sengketa Hukum
Internasional (Studi Kasus Sanksi Ekonomi Amerika Serikat Terhadap Iran)', 2016, pp. 1--90.
alat untuk mempengaruhi kebijakan Negara lainnya, baik dalam konteks keamanan
internasional maupun hak asasi manusia.
Hufbauer mendefinisikan sanksi ekonomi sebagai kebijakan yang sengaja diterapkan
oleh pemerintah, berupa ancaman atau penarikan hubungan perdagangan dan finansial
dengan negara tertentu. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia, dan
China telah menggunakan sanksi unilateral dalam berbagai bentuk selama beberapa
dekade terakhir. Namun, Amerika Serikat tetap menjadi negara dengan penerapan
sanksi unilateral terbanyak, terutama selama Perang Dingin dan setelahnya, dengan
negara-negara seperti Iran, Kuba, dan Korea Utara menjadi target utama. Sanksi
unilateral cenderung diterapkan oleh satu negara saja, tanpa melalui lembaga
internasional seperti PBB atau WTO, yang sering kali dipertanyakan legalitasnya dalam
kerangka hukum internasional. Teori dasar dari penerapan sanksi ekonomi unilateral
adalah bahwa dengan memberikan kesulitan ekonomi pada negara target, negara
tersebut akan terpaksa mengubah kebijakan politiknya agar memenuhi tuntutan negara
pengirim. Sanksi ini bertujuan untuk melemahkan ekonomi negara target, mengurangi
akses ke sumber daya penting, seperti energi, atau bahkan keuangan, yang dapat
membatasi kemampuan negara tersebut untuk melakukan aktivitas terlarang seperti
terorisme atau pengembangan senjata pemusnah massal. Sebagai contoh, dalam kasus
Iran dan Libya, pembatasan akses terhadap industri minyak dan gas negara-negara ini
telah mengurangi pendapatan mereka secara signifikan, yang pada gilirannya
berdampak pada kemampuannya untuk mendanai kegiatan yang dianggap merugikan
keamanan internasional. Namun, efektivitas sanksi unilateral sering kali diperdebatkan.
Beberapa argumen yang muncul menyatakan bahwa sanksi ini tidak selalu membawa
perubahan kebijakan yang diinginkan di negara target. Sebaliknya, sanksi tersebut justru
memperburuk kondisi ekonomi dan sosial, terutama bagi penduduk sipil yang tidak
terlibat dalam keputusan politik. Oleh karena itu, dalam kerangka hukum internasional,
penerapan sanksi unilateral harus memperhatikan prinsip non-intervensi, yang
menghormati kedaulatan negara.10
Selain itu, meskipun tujuan sanksi unilateral adalah untuk mempengaruhi kebijakan
negara target, ada risiko bahwa sanski ini dapat menyebabkan konflik ekonomi yang
lebih besar, memperburuk hubungan internasional, atau menimbulkan dampak negatif
bagi negara pengirim. Oleh karena itu, untuk dianggap efektif, sanksi unilateral harus
memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Mendorong perubahan kebijakan yang diinginkan di negara target, seperti
perubahan dalam kebijakan hak asasi manusia atau kebijakan luar negeri.
2. Meminimalkan dampak negatif, khususnya pada penduduk sipil, dan tidak
memperburuk kondisi kemanusiaan.
3. Tidak menimbulkan dampak ekonomi atau politik yang merugikan bagi negara
pengirim, yang dapat merusak stabilitas domestik atau hubungan internasional
mereka.
10 Fahmi. 'Implementasi Sanksi Ekonomi Sebagai Bentuk Penyelesaian Sengketa Hukum Internasional (Studi
Kasus Sanksi Ekonomi Amerika Serikat Terhadap Iran)', 2016, pp. 1--90.
2. Dampak Sanksi Ekonomi terhadap Negara Target, Seperti Iran, Rusia, dan
Korea Utara
Sanksi Ekonomi terhadap Negara Target Iran
Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson pernah menggambarkan sanksi ekonomi
sebagai "metode yang damai, tenang, namun mematikan". Wilson meanggap perang
ekonomi sebagai alat yang memiliki kekuatan luar biasa untuk memberikan "tekanan
yang tidak dapat ditahan oleh negara modern mana pun". Lebih dari seabad pernyataan
tersebut, pengaruh sanksi ekonomi semakin nyata sebagai instrumen kebijakan yang
sangat efektif, bahkan sering kali destruktif, yang mengaburkan batas antara diplomasi
dan konflik. Salah satu contoh paling mencolok adalah Iran, yang telah menjadi studi
kasus utama dalam perdebatan global mengenai manfaat dan dampak dari sanksi.
Iran menjadi sasaran serangkaian sanksi internasional, termasuk kampanye
multilateral (2006-2016) dan sanksi unilateral (sejak 2018). Sanksi-sanksi ini telah
memberikan dampak buruk yang signifikan pada stabilitas ekonomi dan sosial negara
tersebut. Iran tetap berada dibawah tekanan salah satu rezim sanksi paling berat dunia,
yang mencakup larangan pada sektor ekonomi utama, pembatasan terhadap entitas dan
individu tertentu, serta pembekuan asset terkait isu proliferasi nuklir, terorisme, dan
pelanggaran hak asasi manusia. Sanksi ini berdampak serius pada ekonomi makro Iran,
termasuk :
1. Kemerosotan nilai mata uang: Rial Iran mengalami devaluasi yang tajam,
mengurangi daya beli masyarakat.
2. Krisis perdagangan dan fiscal: Iran menghadapi kesulitan untuk mengelola
neraca perdagangan dan anggaran negara akibat pembatasan ekspor dan impor.
3. Lonjakan inflasi: Harga barang kebutuhan pokok meningkat tajam, memengaruhi
kesejahteraan masyarakat umum.
4. Kenaikan tingkat kemiskinan: Tekanan ekonomi dari sanksi memperburuk
kesenjangan sosial dan kondisi hidup kelompok rentan
Dari perspektif sosial, sanksi tidak hanya memengaruhi stabilitas ekonomi, tetapi juga
menyebabkan ketidakpuasan dan penderitaan di kalangan masyarakat Iran. Selain
memperburuk kemiskinan, ketidakstabilan ekonomi mengurangi kemampuan rakyat
untuk bermobilisasi secara politik, sementara elit yang berkuasa tetap tidak terpengaruh
dan semakin memperkuat kontrol mereka atas negara.
Pembuat kebijakan terus memperdebatkan efektivitas sanksi ekonomi dalam
mencapai dua tujuan utama: menghukum negara target dan memaksa kepatuhan
terhadap norma internasional. Galtung (1967) menyebutkan bahwa sanksi bertujuan
memberikan tekanan ekonomi agar penerima mematuhi norma tersebut. Namun, sanksi
juga sering menjadi respons terhadap tekanan politik domestik di negara pengirim,
seperti tuntutan publik atas pelanggaran hak asasi manusia. Contohnya, gelombang
sanksi terhadap Iran muncul setelah penindasan protes nasional dengan slogan "Wanita,
Kehidupan, Kebebasan" pada 2022, yang memicu tekanan internasional. Meski sanksi
berdampak signifikan pada ekonomi Iran, seperti inflasi tinggi, devaluasi mata uang, dan
kemiskinan, hal ini gagal mengubah perilaku pemerintah. Iran tetap melanjutkan
program nuklirnya, mendukung proksi regional, dan menindak keras oposisi domestik.
Sanksi juga memengaruhi dinamika sosial dan politik. Elit Iran menggunakan narasi
"perlawanan" untuk memperkuat kontrol negara, sementara kemerosotan ekonomi rakyat melemahkan kapasitas mobilisasi politik mereka. Alih-alih mendorong reformasi,
sanksi justru memperburuk sentiment anti-Barat dan menciptakan lingkungan politik
yang represif.11
Sanksi Ekonomi terhadap Negara Target Rusia
Imposisi sanksi ekonomi terhadap Rusia setelah invasi ke Ukraina pada 2022,
memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian Rusia dan ekonomi global.
Dalam skenario sanksi penuh, yang menghalangi seluruh perdagangan antara Rusia dan
negara lain. Rusia mengalami penurunan GDP (Gross Domestic Product) yang sangat
besar, sebesar -15,8%. Sektor-sektor seperti pengolahan makanan (-36,0%) dan
manufaktur (-33,3%) sangat berdampak, meskipun ada sedikit dampak positif pada
sektor elektronik dan tekstil karena adanya substitusi impor. Dampak terhadap
perekonomian global diperkirakan mencapai penurunan GDP sebesar -0,7%. Negara-
negara yang memiliki keterkaitan ekonomi erat dengan Rusia, seperti Negara-negara
Asia Tengah, Mongolia, dan China, juga merasakan dampak negatif, dengan China
mengalami penurunan GDP sebesar -0,9%. Di sisi lain, dampak terhadap Uni Eropa dan
Amerika Serikat lebih kecil, masing-masing -0,5% dan 0,1%, karena perekonomian
Rusia yang relatif kecil. Skenario sanksi yang mengecualikan China, di mana
perdagangan antara Rusia dan China tetap berlangsung, mengurangi dampak ekonomi
terhadap Rusia, dengan penurunan GDP yang lebih kecil, yaitu -4,6%. Meskipun
dampaknya lebih ringan, Rusia tetap merasakan penurunan pada sektor pengolahan
makanan (-21,8%) dan manufaktur (-12,1%). Dampak pada perekonomin global pun
lebih kecil, dengan penurunan GDP hanya sebesar -0,3%. China, meskipun tidak terkena
sanksi, tetap mengalami penurunan GDP sebesar -0,5%, dan negara-negara Asia
Tengah serta Mongolia tetap merasakan dampak negatif. Uni Eropa dan Amerika Serikat
mengalami dampak yang lebih kecil, sementara Jepang sedikit diuntungkan dengan
dampak positif sebesar +0,1%.12
Sanksi Ekonomi terhadap Negara Target Korea Utara
Sejak Perang Dunia II, sanksi telah menjadi instrumen non-militer standar dalam
diplomasi asing yang memaksa. Berbagai jenis sanksi telah diterapkan, mulai dari
larangan perjalanan hingga sanksi ekonomi dan perdagangan. Meskipun penting dalam
diplomasi global, dampak ekonomi dan sanksi masing kurang dipahami, yang
menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitasnya. Konteks sanksi perdagangan PBB
2016-2017 terhadap Korea Utara mengukur dampaknya secara keseluruhan, dengan
menggabungkan variasi regional dalam eksposur terhadap sanksi dan model
keseimbangan spasial.
Dari 2 Maret 2016 hingga 22 Desember 2017, Dewan Keamanan PBB mengadopsi
lima resolusi sanksi sebagai respons terhadap uji coba nuklir dan rudal Korea Utara.
Sanksi yang diterapkan dari resolusi PBB pada 2016 dan 2017 merupakan sanksi paling
berat dalam sejarah negara tersebut, yang dirancang untuk memberikan "tekanan
maksimal" terhadap ekonomi Korea Utara. Meskipun demikian, bukti kuantitatif
mengenai dampak ekonomi sanksi tersebut masih sangat terbatas, padahal pemahaman
11 Mohammad Reza Farzanegan and Esfandyar Batmanghelidj, 'Understanding Economic Sanctions on Iran:
A Survey', Economists' Voice, 20.2 (2023), 197--226 <https://doi.org/10.1515/ev-2023-0014>.
12 S Kumagai and others, 'Impact of Economic Sanctions against Russia on the Global Economy Using the
IDE-GSM', 2022.