Mohon tunggu...
Durorul Muntasiroh
Durorul Muntasiroh Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya mahasiswa aktif Universitas Islam Sultan Agung Semarang, tahun 2023 di jurusan Ilmu Hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Jurnal Hukum Internasional : Dampak Sanksi Ekonomi Terhadap Kedaulatan Negara Dalam Hukum Internasional

10 Desember 2024   17:15 Diperbarui: 10 Desember 2024   17:12 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

DAMPAK SANKSI EKONOMI TERHADAP KEDAULATAN NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

Aditya Noviyansyah, S.H., M.H.
Faculty of Law Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, Central Java.
Email : adityanoviansyah@unissula.ac.id

Durorul Muntasiroh
Faculty of Law Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, Central Java.
Email : durorulmuntasiroh@gmail.com

Najwa Aulya Fachrunnisa
Faculty of Law Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, Central Java.
Email : najwaaulya570@gmail.com
Nia Septiana
Faculty of Law Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, Central Java.
Email : septianania606@gmail.com

ABSTRACT
This study examines the impact of economic sanctions on state sovereignty within the
framework of international law, focusing on case studies of Iran, Rusia, and North Korea. Sovereignty, as a fundamental element in international relations, includes external,
internal, and territorial aspects. However, the imposition of economic sanctions often
challenges these principles, particularly when sanctions restrict a states ability to make
domestic policies or conduct international relations. The study adopts a normative juridical approach to evaluate the legality of economic sanctions, both collective sanctions enforced through the United Nations Security Council and unilateral sanctions imposed by specific states. It employs case studies and descriptive qualitative analysis to explore the effects of sanctions on domestic policies, socioeconomic stability, and
international relations of the targeted states. The results indicate that economic sanctions frequently have significant impacts on civil societies, such as reducing access to basic necessities in North Korea and Iran. Moreover, sanctions on Rusia and Iran reveal a pattern of resistance through economic diversification and cooperation with non-Western partners. This study underscores the importance of a clearer international legal framework to ensure that sanctions are applied without violating human rights and the fundamental principles of state sovereignty.
Keywords : Economic Sanctions, State Sovereignty, and International Law.
ABSTRAK
Penelitian ini menganalisis dampak sanksi ekonomi terhadap kedaulatan negara dalam
perspektif hukum internasional, dengan studi kasus pada Iran, Rusia, dan Korea Utara. Kedaulatan, sebagai elemen fundamental dalam hubungan internasional, mencakup aspek eksternal, internal, dan territorial. Namun, penerapan sanksi ekonomi sering kali menimbulkan tantangan bagi prinsip kedaulatan Negara, terutama ketika sanksi tersebut
membatasi kemampuan negara untuk menentukan kebijakan domestik atau hubungan internasional negara target. Pendekatan yuridis normatif digunakan untuk mengevaluasi
legalitas penerapan sanksi ekonomi, baik secara kolektif melalui Dewan Keamanan PBB
maupun secara unilateral oleh negara tertentu. Metode penelitian ini juga mencakup
studi kasus dan analisis kualitaatif deskriptif untuk mengkaji dampak sanksi terhadap
kebijakan domestik, stabilitas sosial ekonomi, serta hubungan internasional negara
target. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sanksi ekonomi sering kali memiliki dampak
yang signifikan terhadap masyarakat sipil, seperti penurunan akses terhadap kebutuhan
dasar di Korea Utara dan Iran. Selain itu, sanksi terhadap Rusia dan Iran
mengungkapkan pola resistensi negara-negara target melalui diversifikasi ekonomi dan
kerja sama dengan mitra non-Barat. Penelitian ini juga menyoroti pentingnya kerangka
hukum internasional yang lebih jelas untuk memastikan bahwa penerapan sanksi tidak
melanggar hak asasi manusia dan prinsip-prinsip kedaulatan Negara.
Kata Kunci : Sanksi Ekonomi, Kedaulatan Negara, dan Hukum Internasional.

A. LATAR BELAKANG
Istilah Kedaulatan memiliki akar kata yang kaya secara historis dan linguistic. Kata
ini berasal dari bahasa Latin superanus , yang berarti "yang paling tinggi". Dalam
perkembangan konsep ini, istilah tersebut diadopsi ke dalam bahasa Italia (sovranus ),
Perancis (souverainete ), dan Inggris (sovereignty ), yang semuanya mengacu pada
otoritas tertinggi atau kekuasaan absolut. Pada abad ke-15, istilah ini mulai digunakan
secara luas dalam konteks politik oleh para pemikir Perancis seperti Beaumanoir dan
Loyseau, yang menghubungkannya dengan supremasi dalam sistem hukum dan politik.
Secara terminologis, kedaulatan diartikan sebagai hak tertinggi suatu negara untuk
mengatur wilayah, masyarakat, dan urusan domestiknya tanpa campur tangan pihak
luar. Di Indonesia, Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menegaskan
bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, dan pelaksanaannya diatur menurut
konstitusi. Hal ini menunjukkan bahwa kedaulatan tidak hanya merupakan elemen
fundamental dalam sistem pemerintahan, tetapi juga menjadi premis dasar dalam
pelaksanaan kekuasaan negara. Dalam hukum internasional, kedaulatan diatur lebih
lanjut melalui Konvensi Montevideo 1933 yang menetapkan empat unsur konstitutif
pembentukan Negara : penduduk tetap, wilayah tertentu, pemerintahan yang efektif,
dan kapasitas untuk menjalin hubungan internasional. Unsur terakhir ini, kapasitas untuk
berhubungan dengan negara lain, memberikan dimensi eksternal pada kedaulatan, di
mana negara diakui sebagai entitas yang merdeka dan berdaulat oleh kamunitas
internasional.1
Kedaulatan memiliki tiga aspek utama, Eksternal yaitu hak setiap negara untuk
secara bebas menentukan hubungannya dengan negara lain tanpa kekangan atau
tekanan dari pihak luar. Internal, yaitu wewenang eksklusif suatu negara untuk
mengatur system pemerintahan, lembaga, dan peraturan hukum dalam yurisdiksinya.
Terakhir yaitu Teritorial, yang mencakup kontrol penuh atas wilayah geografisnya
termasuk sumber daya alam yang berada di dalamnya. Dalam perkembangannya konsep
kedaulatan telah menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam konteks globalisasi

1 Kadek Rio Teguh Adnyana, 'Kedaulatan Negara Dalam Hukum Internasional', Jurnal Pacta Sunt Servanda, 3.2 (2022), 32--41.

dan intervensi internasional. Salah satu bentuk intervensi yang sering kali menimbulkan
perdebatan adalah penerapan Sanksi Ekonomi. Meskipun sanksi ekonomi dianggap
sebagai alat diplomatik untuk menegakkan hukum internasional, dampaknya terhadap
kedaulatan negara sering kali menjadi isu yang kontroversial. Negara yang dikenakan
sanksi sering kali kehilangan kemampuan untuk menentukan kebijakan domestik secara
bebas, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang legalitas sanksi tersebut dalam sistem
hukum internasional.2
Sanksi ekonomi atau ancaman sanksi tersebut, telah lama menjadi alat kebijakan
luar negeri yang utama, yang digunakan oleh negara atau organisasi internasional di
bawah kekuatan militer untuk mencapai berbagai tujuan, seperti mempertahankan
peraturan internasional, merespons pelanggaran hukum, mencegah konflik, serta
merespons atau menangani krisis yang sedang berlangsung. Sanksi ekonomi sering
digunakan untuk menyatakan ketidaksetujuan atau memberikan tekanan terhadap
tindakan atau kebijakan tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan global
atau internasional. Meskipun istilah "sanksi ekonomi" tidak memiliki definisi khusus,
mereka dapat dipahami secara luas sebagai tindakan pembatasan yang berfokus pada
aspek komersial atau keungan negara, yang bertujuan untuk merusak kepentingan
ekonomi negara lain, individu, perusahaan, atau entitas hukum, dengan tujuan untuk
mencapai tujuan kebijakan luar negeri tertentu. Berbeda dengan kebijakan ekonomi
lainnya, yang mungkin diterapkan untuk memenuhi berbagai kepentingan baik ekonomi
maupun non-ekonomi negara, sanksi ekonomi bersifat koersif dan menargetkan secara
langsung. Tujuan utamanya adalah untuk mempengaruhi perilaku atau mengubah
keputusan politik negara lain atau individu yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan
dan pembuatan keputusan tersebut. Sanksi ekonomi biasanya digunakan sebagai bagian
dari kebijakan internasional untuk mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia,
mengutuk atau mencegah agresi militer, membatasi terorisme, mengurangi penyebaran
senjata, serta mendukung proses demobilisasi militer dan pembangunan setelah konflik.3
Sanksi ekonomi terhadap Negara biasanya mencakup langkah-langkah seperti
embargo perdagangan, pembatasan impor dan ekspor, serta pengaturan transaksi
keuangan, sementara sanksi terhadap individu atau lembaga hukum dapat melibatkan
pembekuan asset atau pembatasan transaksi bisnis serta akses terhadap layanan
tertentu. Sejarah panjang penggunaan sanksi ekonomi menunjukkan bahwa mereka
adalah salah satu alat yang paling kuat yang digunakan oleh negara-negara untuk
melaksanakan tujuan kebijakan luar negeri mereka. Namun, meskipun efektif sebagai
alat diplomatik, penerapan sanksi ekonomi tidak lepas dari tantangan hukum
internasional. Sanksi ekonomi sering kali berada di garis tipis antara langkah-langkah
yang sah dalam pengaturan ekonomi internasional dan tindakan illegal yang dapat
melanggar kewajiban negara-negara di bawah hukum internasional. Walaupun sanksi
ekonomi menempati posisi penting dalam sistem hukum internasional sebagai cara
untuk menegakkan dan melaksanakan tanggung jawab negara, garis batas antara yang

2 Adnyana.'Kedaulatan Negara Dalam Hukum Internasional', Jurnal Pacta Sunt Servanda , 3.2 (2002), 32-41
3 Anna Ventouratou, 'Litigating Economic Sanctions', Law and Practice of International Courts and
Tribunals, 21.3 (2022), 593--640 <https://doi.org/10.1163/15718034-12341491>.

sah dan yang illegal dalam penerapannya, khususnya sanksi yang menargetkan negara
atau entitas lain, belum sepenuhnya didefinisikan dengan jelas.4
Dalam penelitian ini, fokus akan diberikan pada kelegalan sanksi ekonomi unilateral
dalam kerangka hukum yang mengatur hubungan ekonomi antarnegara, serta peran
yang dapat dimainkan oleh badan pengadilan internasional dalam menentukan batas
antara sanksi yang sah dan yang melanggar hukum internasional. Untuk menguraikan
kerangka hUkum yang mengatur kelegalan sanksi ekonomi, sanksi ini dapat diterapkan
melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau secara unilateral oleh negara tertentu.
Dalam konteks PBB, sanksi ekonomi merupakan alat utama yang digunakan oleh
organisasi ini untuk mempertahankan atau memulihkan perdamaian dan keamanan
internasional. Pasal 39 dan 41 dari Piagam PBB memberikan Dewan Keamanan PBB
kewenangan untuk menginstruksikan negara-negara anggota PBB untuk menghentikan
hubungan ekonomi mereka dengan negara tertentu sebagai bagian dari langkah-langkah
untuk memastikan kesetiaan negara tersebut terhadap keputusan yang dibuat oleh
Dewan Keamanan. Selain itu, Pasal 103 Piagam PBB menguatkan bahwa kewajiban
negara-negara anggota PBB di bawah Piagam ini harus diutamakan jika terjadi konflik
dengan kewajiban mereka dalam perjanjian internasional lainnya. Namun, negara-
negara juga dapat melaksanakan sanksi ekonomi secara unilateral, tanpa keterlibatan
PBB, baik secara individual atau dalam koalisi dengan negara lain. Sanksi unilateral ini
dapat mencakup langkah-langkah seperti penghentian bantuan pengembangan atau
manfaat finansial lainnya, yang pada dasarnya tidak melanggar kewajiban internasional
negara yang menerapkannya, karena negara yang dikenakan sanksi tidak memiliki hak
hukum untuk menuntut perlakuan khusus. Meskipun demikian, sanksi ekonomi unilateral
tetap harus dijustifikasi secara hukum, atau negara yang menerapkannya dapat
menghadapi tanggung jawab internasional.5
Penelitian ini akan menganalisis peran yang dimainkan oleh badan pengadilan
internasional dalam menentukan batas antara sanksi ekonomi yang sah dan yang
melanggar hukum internasional. Untuk memberikan kerangka hukum yang lebih jelas,
Jurnal ini akan mengeksplorasi bagaimana sanksi ekonomi dapat diterapkan melalui
mekanisme Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau secara unilateral oleh negara
tertentu. Dalam konteks PBB, sanksi ekonomi adalah alat utama yang digunakan untuk
mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional. Jurnal ini juga akan meneliti
bagaimana sanksi ekonomi, meskipun sering digunakan untuk tujuan mulia seperti
penegakan hak asasi manusia atau pencegahan konflik, dapat menimbulkan dampak
negatif yang signifikan bagi negara target. Dampak tersebut meliputi pembatasan
kemampuan negara untuk menentukan kebijakan domestic, ketergantungan pada pihak
luar, hingga pelanggaran terhadap hak-hak dasar rakyatnya. Dengan menyoroti kasus-
kasus seperti Iran, Rusia, dan Korea, bertujuan untuk memberikan pemahaman lebih
dalam mengenai peran sanksi ekonomi dalam hukum internasional modern serta
batasnya dalam menjaga keseimbangan antara keadilan global dan penghormatan
terhadap kedaulatan negara.

4 Ventouratou, 'Litigating Economic Sanctions' , Law and Practice of International Courts and
Tribunals, 21.3 (2022), 593-640 <https://doi.org/10.1163/15718034-12341491 >.
5 Anna Ventouratou, 'Litigating Economic Sanctions' , Law and Practice of International Courts and
Tribunals, 21.3 (2022), 593-640 <https://doi.org/10.1163/15718034-12341491 >.Ventouratou.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan penelitian latar belakang yang telah dijelaskan, rumusan masalah dalam
penelitian tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
1. Bagaimana legalitas penerapan sanksi ekonomi, baik secara kolektif oleh Dewan
Keamanan PBB maupun secara unilateral, dalam kerangka hukum internasional ?
2. Apa dampak sosial dan ekonomi dari sanksi ekonomi terhadap negara target, seperti
Iran, Rusia, dan Korea Utara ?
3. Bagaimana sanksi ekonomi memengaruhi kedaulatan negara target dalam aspek
internal maupun eksternal ?
4. Apa tantangan utama dalam implementasi sanksi ekonomi, dan sejauh mana
efektivitasnya dalam mencapai tujuan internasional tanpa melanggar hak asasi
manusia ?

C. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam jenis penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif, untuk menganalisis legalitas sanksi ekonomi dalam kerangka hukum
internasional. Pendekatan ini menekankan pada analisis dokumen hukum yang relevan,
seperti Piagam PBB Pasal 39 dan 41, yang memberikan dasar hukum untuk penerapan
sanksi kolektif guna memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Pasal-pasal ini
mengatur tindakan yang dapat diambil oleh Dewan Keamanan PBB untuk mengatasi
ancaman terhadap perdamaian dunia, yang mencakup sanksi ekonomi terhadap negara-
negara yang melanggar hukum internasional. Pendekatan ini bertujuan untuk
mengidentifikasi apakah penerapan sanksi ekonomi, baik unilateral maupun kolektif,
sejalan dengan prinsip-prinsip dasar hukum internasional, terutama terkait dengan non-
intervensi dan kedaulatan negara.6 Penelitian ini juga mencakup metode studi kasus
yang digunakan untuk menganalisis penerapan sanksi ekonomi terhadap negara target,
seperti Iran, Rusia, dan Korea Utara. Studi kasus ini bertujuan untuk memberikan
wawasan yang lebih dalam tentang bagaimana sanksi ekonomi diterapkan dalam
konteks yang berbeda dan dampaknya terhadap kebijakan domestik negara-negara
tersebut. Dalam konteks Iran, sanksi ekonomi yang diterapkan oleh Amerika Serikat dan
negara-negara Eropa terkait dengan program nuklir negara tersebut memberikan contoh
tentang bagaimana sanksi internasional dapat digunakan untuk menekan kebijakan
domestik yang dianggap bertentangan dengan kepentingan internasional. Demikian
pula, dalam kasus Rusia, sanksi yang diterapkan oleh Uni Eropa dan negara-negara
Barat pasca-aneksasi Krimea memberikan gambaran tentang bagaimana sanksi dapat
digunakan untuk mengubah perilaku negara dalam hal pengakuan terhadap hukum
internasional. Sementara itu, Korea Utara menjadi contoh negara yang dikenakan sanksi
internasional yang sangat keras, baik oleh Dewan Keamanan PBB maupun negara-
negara besar, untuk menghentikan pengembangan senjata nuklir dan peluncuran rudal
balistiknya. Melalui perbandingan antara ketiga negara ini, penelitian ini bertujuan untuk

6 Danial, 'Peranan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Proses Penyelesaian Konflik
Internasional', Reuters, 16.February (2017), 2328--41.

mengidentifikasi pola penerapan sanksi ekonomi, baik yang dilakukan oleh organisasi
internasional seperti PBB, maupun secara unilateral oleh negara-negara besar.7
Selanjutnya, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, yang
mengandalkan data sekunder dari laporan internasional, jurnal, dan literatur akademik
untuk menggambarkan dampak sanksi ekonomi terhadap aspek ekonomi, sosial, dan
politik negara target. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang lebih
luas tentang bagaimana sanksi ekonomi mempengaruhi kedaulatan negara. Salah satu
fokus utama adalah dampak sosial dari sanksi, terutama dalam konteks pelanggaran hak
asasi manusia yang sering terjadi sebagai akibat dari penerapan sanksi ekonomi.
Misalnya, dampak sanksi terhadap Venezuela dan Iran menunjukkan bahwa sanksi
ekonomi yang dirancang untuk menekan pemerintah seringkali menyebabkan
penderitaan yang lebih besar bagi masyarakat sipil, dengan pembatasan akses terhadap
makanan, obat-obatan, dan kebutuhan dasar lainnya. Pendekatan ini juga akan
mengidentifikasi bagaimana sanksi memengaruhi dinamika sosial dan ekonomi di
negara-negara yang dikenakan sanksi, serta dampaknya terhadap hubungan antara
negara tersebut dan negara-negara pemberi sanksi.8
Metode penelitian ini dirancang untuk memberikan analisis yang menyeluruh tentang
penerapan sanksi ekonomi dalam konteks hukum internasional dan dampaknya terhadap
kedaulatan negara. Dengan pendekatan yang beragam ini, penelitian ini bertujuan untuk
menggali hubungan antara hukum internasional, kebijakan luar negeri, negara-negara
pemberi sanksi, dan respons negara target terhadap sanksi yang diterapkan.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Legalitas Penerapan Sanksi Ekonomi Secara Kolektif oleh Dewan Keamanan
PBB maupun Secara Unilateral
Sanksi Ekonomi berdasarkan Hukum Internasional

Setelah perang dingin, penerapan sanksi ekonomi semakin menjadi pilihan utama
dalam menyelesaikan konflik atau sengketa internasional, khususnya yang melibatkan
negara maju dan negara berkembang atau miskin. Negara-negara maju sering kali
memanfaatkan posisi mereka yang memiliki pengaruh ekonomi untuk menekan negara
yang lebih lemah. Sanksi ekonomi sejak lama dipandang sebagai alternatif yang lebih
manusiawi dibandingkan dengan tindakan perang. Mantan Presiden Amerika Serikat,
Woodrow Wilson, pada tahun 1919 mengungkapkan :
"Negara yang diboikot adalah n egara yang sedang menuju kekalahan. Terapkanlah
sanksi ekonomi ini, yang damai, senyap , namun mematikan, dan tidak akan diperlukan
penggunaan ke kuataan. Ini adalah langkah yang sangat keras. Tidak mengorbankan
nyawa di luar negara yang diboikot, tetapi memberi tekanan yang menurut saya tidak
dapat ditahan oleh negara manapun."
Pernyataan Wilson ini menunjukkan adanya kontradiksi antara kata "damai" dan
"mematikan", yang tampaknya tidak lagi relevan untuk diterapkan pada era modern.

7 M. Delevic, 'Economic Sanctions as a Foreign Policy Tool: The Case of Yugoslavia', International Journal of
Peace Studies, 3.1 (1998), 67--89.
8 Robert A. Pape, 'Why Economic Sanctions Do Not Work', International Security, 22.2 (1997), 90--110
<https://doi.org/10.2307/2539368>.

Jenis-Jenis Sanksi Ekonomi dalam Hukum Internasional
Pada tahun 1990-an, sanksi ekonomi sering dipandang sebagai alternatif yang
mudah, murah, dan lebih manusiawi dibandingkan dengan perang. Namun, dalam
praktinya, banyak sanksi ekonomi yang malah berfungi sebagai "instrument tumpul",
yang tidak terikat dengan hukum domestik atau internasional. Di negara-negara seperti
Haiti dan Irak, sanksi ini terbukti jauh lebih "mengerikan" daripada yang dianggap
"damai". Hal ini mengarah pada consensus luas bahwa sanksi harus dirancang dengan
lebih hati-hati agar dampak jangka panjangnya dapat diminimalkan, terutama terhadap
masyarakat sipil. Dewan keamanan PBB, meskipun telah mengadopsi sanksi dengan
klausul pembebasan kemanusiaan, tetap menghadapi kritik terkait konsekuensi
kemanusiaan yang berat bagi penduduk sipil. Sanksi ini seringkali memengaruhi sektor-
sektor penting seperti pangan dan obat-obatan, meskipun niat awalnya adalah untuk
mempengaruhi kebijakan negara yang dikenakan sanksi. Seiring dengan peningkatan
frekuensi penerapan sanksi sejak dekade 1990-an, bentuk dan tahapan intervensi
kemanusiaan dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan kemanusiaan
menjadi semakin beragam. Sanksi ekonomi, dalam konteks ini, umumnya diterapkan
dalam dua bentuk, pertama, melalui Dewan Keamanan PBB, dan kedua, oleh negara-
negara individu sebagai sanksi ekonomi unilateral, yang banyak diterapkan oleh negara
besar seperti Amerika Serikat, Rusia, dan negara-negara Uni Eropa.
Legalitas penerapan sanksi ekonomi ini, baik yang dilakukan secara kolektif oleh
Dewan Keamanan PBB maupun secara unilateral oleh Negara besar, tetap menjadi isu
hukum yang signifikan. Secara kolektif, sanksi yang diberlakukan oleh Dewan Keamanan
PBB didasarkan pada Pasal 39 dan Pasal 41 Piagam PBB, yang memberikan kewenangan
bagi Dewan Keamanan untuk menentukan ancaman terhadap perdamaian dunia dan
untuk memberlakukan tindakan non-militer, seperti sanksi ekonomi. Namun, tantangan
muncul ketika negara-negara besar memberlakukan sanksi unilateral tanpa melalui
Dewan Keamanan PBB, yang sering kali dipertanyakan dari segi legalitasnya dalam
kerangka hukum internasional, terutama terkait dengan prinsip non-intervensi dan
kedaulatan negara.9
Sanksi Ekonomi Unilateral dalam Hukum Internasional
Sanksi ekonomi unilateral yang dijatuhkan oleh satu negara secara sepihak kepada
negara lainnya. Unilateralism, sebagai doktrin yang mendukung tindakan sepihak, sering
kali dianggap sebagai instrument untuk memperjuangkan kepentingan politik negara
pengirim, namun mengabaikan kepentingan negara yang dikenakan sanksi. Negara yang
menerapkan sanksi unilateral berusaha untuk memberikan tekanan agar negara target
mengubah kebijakan atau tindakannya, meskipun tanpa melibatkan kerjasama
internasional. Konsep unilateralisme ini bertentangan dengan multilateralism, yang
menekankan pentingnya keterlibatan banyak pihak dalam pengambilan keputusan
internasional, dengan tujuan mencapai hasil yang lebih adil dan seimbang. Dalam
prakteknya, sanksi ekonomi unilateral sering kali tidak disertai dengan prosedur yang
jelas atau aturan yang terikat pada hukum internasional. Meskipun demikian, negara-
negara besar, khususnya Amerika Serikat, tetap menggunakan sanksi unilateral sebagai

9 Yanuar Nurul Fahmi, 'Implementasi Sanksi Ekonomi Sebagai Bentuk Penyelesaian Sengketa Hukum
Internasional (Studi Kasus Sanksi Ekonomi Amerika Serikat Terhadap Iran)', 2016, pp. 1--90.

alat untuk mempengaruhi kebijakan Negara lainnya, baik dalam konteks keamanan
internasional maupun hak asasi manusia.
Hufbauer mendefinisikan sanksi ekonomi sebagai kebijakan yang sengaja diterapkan
oleh pemerintah, berupa ancaman atau penarikan hubungan perdagangan dan finansial
dengan negara tertentu. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia, dan
China telah menggunakan sanksi unilateral dalam berbagai bentuk selama beberapa
dekade terakhir. Namun, Amerika Serikat tetap menjadi negara dengan penerapan
sanksi unilateral terbanyak, terutama selama Perang Dingin dan setelahnya, dengan
negara-negara seperti Iran, Kuba, dan Korea Utara menjadi target utama. Sanksi
unilateral cenderung diterapkan oleh satu negara saja, tanpa melalui lembaga
internasional seperti PBB atau WTO, yang sering kali dipertanyakan legalitasnya dalam
kerangka hukum internasional. Teori dasar dari penerapan sanksi ekonomi unilateral
adalah bahwa dengan memberikan kesulitan ekonomi pada negara target, negara
tersebut akan terpaksa mengubah kebijakan politiknya agar memenuhi tuntutan negara
pengirim. Sanksi ini bertujuan untuk melemahkan ekonomi negara target, mengurangi
akses ke sumber daya penting, seperti energi, atau bahkan keuangan, yang dapat
membatasi kemampuan negara tersebut untuk melakukan aktivitas terlarang seperti
terorisme atau pengembangan senjata pemusnah massal. Sebagai contoh, dalam kasus
Iran dan Libya, pembatasan akses terhadap industri minyak dan gas negara-negara ini
telah mengurangi pendapatan mereka secara signifikan, yang pada gilirannya
berdampak pada kemampuannya untuk mendanai kegiatan yang dianggap merugikan
keamanan internasional. Namun, efektivitas sanksi unilateral sering kali diperdebatkan.
Beberapa argumen yang muncul menyatakan bahwa sanksi ini tidak selalu membawa
perubahan kebijakan yang diinginkan di negara target. Sebaliknya, sanksi tersebut justru
memperburuk kondisi ekonomi dan sosial, terutama bagi penduduk sipil yang tidak
terlibat dalam keputusan politik. Oleh karena itu, dalam kerangka hukum internasional,
penerapan sanksi unilateral harus memperhatikan prinsip non-intervensi, yang
menghormati kedaulatan negara.10
Selain itu, meskipun tujuan sanksi unilateral adalah untuk mempengaruhi kebijakan
negara target, ada risiko bahwa sanski ini dapat menyebabkan konflik ekonomi yang
lebih besar, memperburuk hubungan internasional, atau menimbulkan dampak negatif
bagi negara pengirim. Oleh karena itu, untuk dianggap efektif, sanksi unilateral harus
memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Mendorong perubahan kebijakan yang diinginkan di negara target, seperti
perubahan dalam kebijakan hak asasi manusia atau kebijakan luar negeri.
2. Meminimalkan dampak negatif, khususnya pada penduduk sipil, dan tidak
memperburuk kondisi kemanusiaan.
3. Tidak menimbulkan dampak ekonomi atau politik yang merugikan bagi negara
pengirim, yang dapat merusak stabilitas domestik atau hubungan internasional
mereka.
10 Fahmi. 'Implementasi Sanksi Ekonomi Sebagai Bentuk Penyelesaian Sengketa Hukum Internasional (Studi
Kasus Sanksi Ekonomi Amerika Serikat Terhadap Iran)', 2016, pp. 1--90.

2. Dampak Sanksi Ekonomi terhadap Negara Target, Seperti Iran, Rusia, dan
Korea Utara

Sanksi Ekonomi terhadap Negara Target Iran
Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson pernah menggambarkan sanksi ekonomi
sebagai "metode yang damai, tenang, namun mematikan". Wilson meanggap perang
ekonomi sebagai alat yang memiliki kekuatan luar biasa untuk memberikan "tekanan
yang tidak dapat ditahan oleh negara modern mana pun". Lebih dari seabad pernyataan
tersebut, pengaruh sanksi ekonomi semakin nyata sebagai instrumen kebijakan yang
sangat efektif, bahkan sering kali destruktif, yang mengaburkan batas antara diplomasi
dan konflik. Salah satu contoh paling mencolok adalah Iran, yang telah menjadi studi
kasus utama dalam perdebatan global mengenai manfaat dan dampak dari sanksi.
Iran menjadi sasaran serangkaian sanksi internasional, termasuk kampanye
multilateral (2006-2016) dan sanksi unilateral (sejak 2018). Sanksi-sanksi ini telah
memberikan dampak buruk yang signifikan pada stabilitas ekonomi dan sosial negara
tersebut. Iran tetap berada dibawah tekanan salah satu rezim sanksi paling berat dunia,
yang mencakup larangan pada sektor ekonomi utama, pembatasan terhadap entitas dan
individu tertentu, serta pembekuan asset terkait isu proliferasi nuklir, terorisme, dan
pelanggaran hak asasi manusia. Sanksi ini berdampak serius pada ekonomi makro Iran,
termasuk :
1. Kemerosotan nilai mata uang: Rial Iran mengalami devaluasi yang tajam,
mengurangi daya beli masyarakat.
2. Krisis perdagangan dan fiscal: Iran menghadapi kesulitan untuk mengelola
neraca perdagangan dan anggaran negara akibat pembatasan ekspor dan impor.
3. Lonjakan inflasi: Harga barang kebutuhan pokok meningkat tajam, memengaruhi
kesejahteraan masyarakat umum.
4. Kenaikan tingkat kemiskinan: Tekanan ekonomi dari sanksi memperburuk
kesenjangan sosial dan kondisi hidup kelompok rentan
Dari perspektif sosial, sanksi tidak hanya memengaruhi stabilitas ekonomi, tetapi juga
menyebabkan ketidakpuasan dan penderitaan di kalangan masyarakat Iran. Selain
memperburuk kemiskinan, ketidakstabilan ekonomi mengurangi kemampuan rakyat
untuk bermobilisasi secara politik, sementara elit yang berkuasa tetap tidak terpengaruh
dan semakin memperkuat kontrol mereka atas negara.
Pembuat kebijakan terus memperdebatkan efektivitas sanksi ekonomi dalam
mencapai dua tujuan utama: menghukum negara target dan memaksa kepatuhan
terhadap norma internasional. Galtung (1967) menyebutkan bahwa sanksi bertujuan
memberikan tekanan ekonomi agar penerima mematuhi norma tersebut. Namun, sanksi
juga sering menjadi respons terhadap tekanan politik domestik di negara pengirim,
seperti tuntutan publik atas pelanggaran hak asasi manusia. Contohnya, gelombang
sanksi terhadap Iran muncul setelah penindasan protes nasional dengan slogan "Wanita,
Kehidupan, Kebebasan" pada 2022, yang memicu tekanan internasional. Meski sanksi
berdampak signifikan pada ekonomi Iran, seperti inflasi tinggi, devaluasi mata uang, dan
kemiskinan, hal ini gagal mengubah perilaku pemerintah. Iran tetap melanjutkan
program nuklirnya, mendukung proksi regional, dan menindak keras oposisi domestik.
Sanksi juga memengaruhi dinamika sosial dan politik. Elit Iran menggunakan narasi
"perlawanan" untuk memperkuat kontrol negara, sementara kemerosotan ekonomi rakyat melemahkan kapasitas mobilisasi politik mereka. Alih-alih mendorong reformasi,
sanksi justru memperburuk sentiment anti-Barat dan menciptakan lingkungan politik
yang represif.11
Sanksi Ekonomi terhadap Negara Target Rusia
Imposisi sanksi ekonomi terhadap Rusia setelah invasi ke Ukraina pada 2022,
memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian Rusia dan ekonomi global.
Dalam skenario sanksi penuh, yang menghalangi seluruh perdagangan antara Rusia dan
negara lain. Rusia mengalami penurunan GDP (Gross Domestic Product) yang sangat
besar, sebesar -15,8%. Sektor-sektor seperti pengolahan makanan (-36,0%) dan
manufaktur (-33,3%) sangat berdampak, meskipun ada sedikit dampak positif pada
sektor elektronik dan tekstil karena adanya substitusi impor. Dampak terhadap
perekonomian global diperkirakan mencapai penurunan GDP sebesar -0,7%. Negara-
negara yang memiliki keterkaitan ekonomi erat dengan Rusia, seperti Negara-negara
Asia Tengah, Mongolia, dan China, juga merasakan dampak negatif, dengan China
mengalami penurunan GDP sebesar -0,9%. Di sisi lain, dampak terhadap Uni Eropa dan
Amerika Serikat lebih kecil, masing-masing -0,5% dan 0,1%, karena perekonomian
Rusia yang relatif kecil. Skenario sanksi yang mengecualikan China, di mana
perdagangan antara Rusia dan China tetap berlangsung, mengurangi dampak ekonomi
terhadap Rusia, dengan penurunan GDP yang lebih kecil, yaitu -4,6%. Meskipun
dampaknya lebih ringan, Rusia tetap merasakan penurunan pada sektor pengolahan
makanan (-21,8%) dan manufaktur (-12,1%). Dampak pada perekonomin global pun
lebih kecil, dengan penurunan GDP hanya sebesar -0,3%. China, meskipun tidak terkena
sanksi, tetap mengalami penurunan GDP sebesar -0,5%, dan negara-negara Asia
Tengah serta Mongolia tetap merasakan dampak negatif. Uni Eropa dan Amerika Serikat
mengalami dampak yang lebih kecil, sementara Jepang sedikit diuntungkan dengan
dampak positif sebesar +0,1%.12
Sanksi Ekonomi terhadap Negara Target Korea Utara
Sejak Perang Dunia II, sanksi telah menjadi instrumen non-militer standar dalam
diplomasi asing yang memaksa. Berbagai jenis sanksi telah diterapkan, mulai dari
larangan perjalanan hingga sanksi ekonomi dan perdagangan. Meskipun penting dalam
diplomasi global, dampak ekonomi dan sanksi masing kurang dipahami, yang
menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitasnya. Konteks sanksi perdagangan PBB
2016-2017 terhadap Korea Utara mengukur dampaknya secara keseluruhan, dengan
menggabungkan variasi regional dalam eksposur terhadap sanksi dan model
keseimbangan spasial.
Dari 2 Maret 2016 hingga 22 Desember 2017, Dewan Keamanan PBB mengadopsi
lima resolusi sanksi sebagai respons terhadap uji coba nuklir dan rudal Korea Utara.
Sanksi yang diterapkan dari resolusi PBB pada 2016 dan 2017 merupakan sanksi paling
berat dalam sejarah negara tersebut, yang dirancang untuk memberikan "tekanan
maksimal" terhadap ekonomi Korea Utara. Meskipun demikian, bukti kuantitatif
mengenai dampak ekonomi sanksi tersebut masih sangat terbatas, padahal pemahaman

11 Mohammad Reza Farzanegan and Esfandyar Batmanghelidj, 'Understanding Economic Sanctions on Iran:
A Survey', Economists' Voice, 20.2 (2023), 197--226 <https://doi.org/10.1515/ev-2023-0014>.
12 S Kumagai and others, 'Impact of Economic Sanctions against Russia on the Global Economy Using the
IDE-GSM', 2022.

terhadap tekanan yang diberikan oleh sanksi efektivitasnya dalam mencapai tujuan yang
dinyatakan.13 Salah satu tantangan utama dalam penelitian ini adalah keterbatasan data
mengenai Korea Utara. Penulis mengatasi tantangan ini dengan mengumpulkan dan
menggunakan data seadanya. Dengan menggunakan data ini, penulis melakukan analisis
terhadap dampak sanksi ekonomi terhadap Korea Utara, termasuk pengaruhnya
terhadap tingkat kecerahan cahaya malam yang mencerminkan aktivitas ekonomi
wilayah tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa sanksi ekspor berkontribusi pada
penurunan aktivitas manufaktur. Meskipun dampaknya bervariasi tergantung pada
ekspor terhadap jenis sanksi yang berbeda.
3. Sanksi Ekonomi memengaruhi Kedaulatan Negara Target dalam Aspek Internal maupun Eksternal
Sanksi ekonomi adalah kebijakan luar negeri yang bertujuan untuk mempengaruhi
perilaku negara lain, biasanya dalam bentuk tekanan ekonomi seperti embargo atau
pembatasan perdagangan. Penerapan sanksi ini sering kali mencerminkan dimplomasi
koersif, yang menekankan penggunaan paksaan untuk memaksa negara sasaran
mengubah kebijakannya.14 Pengaruh sanksi terhadap kedaulatan internal dapat terlihat
melalui dampaknya terhadap kebijakan domestik negara target. Sanksi ini dapat
mendorong perubahan dalam politik internal negara tersebut, seperti perubahan
kebijakan pemerintah atau mengarah pada ketidakstabilan ekonomi yang memaksa
negara tersebut untuk merespons perubahan. Sebagai contoh, sanksi yang diterapkan
oleh Singapura terhadap Rusia bertujuan untuk memaksa negara tersebut menghentikan
tindakannya di Ukraina.
Secara eksternal, sanksi ekonomi juga mempengaruhi posisi internasional negara
target. Sanksi ini dapat mengisolasi negara target dari pasar internasional dan
memengaruhi hubungannya dengan negara lain, baik secara diplomatik maupun
ekonomi. Negara yang dikenakan sanksi mungkin akan menghadapi kesulitan dalam
membangun aliansi internasional, karena sanksi ini sering kali membawa dampak
terhadap citra negara tersebut di dunia internasional. Oleh karena itu, sanksi ekonomi
tidak hanya mempengaruhi negara target secara langsung, tetapi juga dapat
memperburuk hubungan internasional dan memengaruhi posisi politik negara tersebut di
tingkat global. Menurut teori sanksi ekonomi yang dikemukakan oleh para ahli seperti
James Barber, Charles F. Herman, dan Baldwin, tujuan dari pemberian sanksi dapat
dikelompokkan menjadi tujuan primer, seperti mendorong perubahan perilaku politik
negara target; tujuan sekunder, yang berkaitan dengan reputasi dan posisi negara
pemberi sanksi; serta tujuan tersier, yang berfokus pada pengaruh terhadap struktur
dan keseimbangan internasional secara keseluruhan. Melalui penerapan sanksi, Negara
pemberi sanksi berusaha memaksakan perubahan tertentu pada negara yang menjadi
targetnya, baik dalam kebijakan internal maupun dalam hubungan internasional.15

13 Jihee Kim and others, 'The Economic Costs of Trade Sanctions: Evidence from North Korea', Journal of
International Economics, 145.August (2023) <https://doi.org/10.1016/j.jinteco.2023.103813>.
14 Baldwin (1985) dalam buku A Cooper Drury Steve Chan, Sanctions as Economi Statecraft
(Hampshire: PALGRAVE, 2000). 20 J Beno, A.P Silen, and M Yanti, 'No
Title', Braz Dent J., 33.1 (2022), 1--12.
15 Baber, "Economic Sanctions As a Policy Instrument.
"

4. Tantangan Utama dalam Implementasi Sanksi Ekonomi dan Sejauh mana Efektivitasnya dalam Mencapai Tujuan Internasional tanpa Melanggar Hak Asasi Manusia
Implementasi sanksi ekonomi dalam konteks hukum internasional menghadirkan
sejumlah tantangan utama yang perlu diperhatikan. Salah satu tantangan terbesar
adalah dampak negatif yang ditimbulkan terhadap kehidupan masyarakat sipil di negara
yang dikenakan sanksi. Meskipun sanksi ekonomi ditujukan untuk memberikan tekanan
politik kepada pemerintah atau kelompok tertentu, sering kali sanksi ini justru
berdampak langsung pada perekonomian negara dan kesejahteraan warganya. Misalnya,
pembatasan perdagangan atau pembekuan aset dapat mengurangi daya beli
masyarakat, meningkatkan kemiskinan, dan memperburuk kondisi sosial ekonomi. Hal ini
menimbulkan dilema besar, yaitu apakah tujuan internasional dapat tercapai tanpa
mengorbankan hak-hak asasi manusia, terutama hak atas kehidupan yang layak. Selain
itu, tantangan lain dalam implementasi sanksi adalah kesulitan dalam penegakan, karena
tidak semua negara atau entitas internasional memiliki mekanisme yang cukup kuat
untuk memonitor dan memastikan kepatuhan terhadap sanksi. Beberapa negara
mungkin bersedia atau tidak mampu untuk sepenuhnya mematuhi aturan sanksi yang
diterapkan, yang mengurangi efektivitasnya.
Dari segi efektivitas, meskipun sanksi ekonomi sering digunakan untuk memaksa
negara atau entitas tertentu untuk mengubah kebijakan atau tindakan yang dianggap
bertentangan dengan kepentingan internasional, seperti pelanggaran hak asasi manusia
atau ancaman terhadap perdamaian global, dampaknya terhadap rakyat biasa sering kali
menjadi pertimbangan yang kurang diperhatikan. Dalam beberapa kasus, sanksi dapat
memperburuk penderitaan rakyat yang tidak terlibat langsung dalam kebijakan yang
menyebabkan sanksi tersebut. Oleh karena itu, penting untuk merancang sanksi
ekonomi yang tidak hanya efektif dalam mencapai tujuan politik dan diplomatik, tetapi
juga memperhatikan kesejahteraan masyarakat yang tidak bersalah agar tidak terjadi
pelanggaran hak asasi manusia yang lebih besar.16

E. KESIMPULAN
Sanksi ekonomi merupakan instrument kompleks dalam diplomasi internasional yang
memiliki implikasi signifikan terhadap kedaulatan Negara dan dinamika geopolitik global.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa meskipun sanksi ekonomi dirancang sebagai
mekanisme tekanan diplomatik yang relatif lunak dibandingkan konflik bersenjata,
implementasinya membawa konsekuensi yang jauh lebih rumit dari sekedar
pertimbangan politis. Analisis terhadap kaus Iran, Rusia, dan Korea Utara menunjukkan
bahwa sanksi ekonomi memiliki dampak multidimensional yang melampaui tujuan awal,
mempengaruhi tidak hanya struktur kebijakan pemerintah, tetapi juga sistem ekonomi,
dinamika sosial, dan kehidupan masyarakat sipil. Dari perspektif hukum internasional,
penelitian ini mengidentifikasi kompleksitas legalitas sanksi ekonomi, terutama sanksi
unilateral yang kerap kali berada pada wilayah abu-abu dalam kerangka hukum
internasional. Meskipun memiliki landasan dalam Piagam PBB, khususnya Pasal 39 dan

16 Nathaniela Gracia Amanda Putri, Florista Dea Avita, and Henderina Julia Vindi Putri, 'Perlindungan Hak
Asasi Manusia Dalam Konteks Hukum', Indonesian Journal Of Legality Of Law, 1.2 (2024), 1--13.

41, penerapan sanksi seringkali memunculkan pertanyaan serius terkait prinsip non-
intervensi dan kkedaulatan Negara. Studi mendalam menunjukkan bahwa sanksi
ekonomi tidak terlalu efektif mengubah perilaku rezim politik target, namun justru
berpotensi menciptakan dampak kemanusiaan yang merugikan, seperti peningkatan
kemiskinan, inflasi, dan ketidakstabilan sosial. Penelitian ini menegaskan bahwa sanksi
ekonomi bukanlah instrument diplomatik netral, melainkan mekanisme kompleks yang
memerlukan pertimbangan mendalam. Pengaruhnya terhadap kedaulatan Negara tidak
hanya bersifat eksternal melalui isolasi diplomatik, tetapi juga internal dengan memaksa
perubahan kebijakan domestic. Tantangan utama dalam implementasi sanksi ekonomi
terletak pada upaya menyeimbangkan antara tujuan geopolitik dengan perlindungan hak asasi manusia, sebuah dilema yang tidak memiliki solusi sederhana.

F. DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, Kadek Rio Teguh, Kedaulatan Negara Dalam Hukum Internasional, Jurnal
Pacta Sunt Servanda , 3.2 (2022), 32--41
Amanda Putri, Nathaniela Gracia, Florista Dea Avita, and Henderina Julia Vindi Putri,
Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Konteks Hukum, Indonesian Journal Of
Legality Of Law , 1.2 (2024), 1--13
Beno, J, A.P Silen, and M Yanti, No
Title, Braz Dent J., 33.1 (2022), 1--12
Danial, Peranan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Proses
Penyelesaian Konflik Internasional, Reuters , 16.February (2017), 2328--41
Delevic, M., Economic Sanctions as a Foreign Policy Tool: The Case of Yugoslavia,
International Journal of Peace Studies , 3.1 (1998), 67--89
Fahmi, Yanuar Nurul, Implementasi Sanksi Ekonomi Sebagai Bentuk Penyelesaian
Sengketa Hukum Internasional (Studi Kasus Sanksi Ekonomi Amerika Serikat
Terhadap Iran), 2016, pp. 1--90
Farzanegan, Mohammad Reza, and Esfandyar Batmanghelidj, Understanding Economic
Sanctions on Iran: A Survey, Economists Voice , 20.2 (2023), 197--226
<https://doi.org/10.1515/ev-2023-0014>
Kim, Jihee, Kyoochul Kim, Sangyoon Park, and Chang Sun, The Economic Costs of Trade
Sanctions: Evidence from North Korea, Journal of International Economics ,
145.August (2023) <https://doi.org/10.1016/j.jinteco.2023.103813>
Kumagai, S, K Hayakawa, T Gokan, I Ikumo, S Keola, and K Tsubota, Impact of
Economic Sanctions against Russia on the Global Economy Using the IDE-GSM,
2022
Pape, Robert A., Why Economic Sanctions Do Not Work, International Security , 22.2
14
(1997), 90--110 <https://doi.org/10.2307/2539368>
Ventouratou, Anna, Litigating Economic Sanctions, Law and Practice of International
Courts and Tribunals , 21.3 (2022), 593--640 <https://doi.org/10.1163/15718034-
12341491>

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun