Rindu Jakarta Yang Dulu
Berkelana di senja ini
Menanti malam yang pasti kan datang
Di taman kota Jakarta
Di saat bulan menyinari awan
Di kala bintang menjadi permata
Ketika angin meniup semilir
Di situ meliuk tarian bidadari
Dulu,
Dedaunan riuh menyanyi
Seolah mengajak cakrawala mendendangkan lagu-lagu sunyi
Tertawa bersama gemercik air mengalir jernih
Tersenyum manis menyambut kunang-kunang yang terbang kian kemari
Dulu,
Wajahmu bersih berseri-seri
Sapamu ramah menghias taman-taman hati
Wajah-wajah pribumi sumringah silih berganti
Menikam gersang agar tak hadir lagi
Melatih tangan-tangan jahil menjadi abdi termanusiawi
Dulu,
Kau bahagia
Disetiap kedip matamu, binar cinta menerangi seisi bumi
Tak ada sumpah serapah berserakkan di setiap sudut kota
Tak ada carik yang mematahkan dahan-dahan rapuhmu
Semua bertumbuh mengikuti titah langit
Bersama hujan yang mengalirkan air kehidupan
Dulu,
Cinderalla berparas putri raja
Bidadari lulusan dari sorga
Juwita pemuja setia bagi hati sepi
Para putri malu enggan menonjolkan duri
Bahkan ia menjuntaikan rambut panjangnya menjadi hiasan diri
Tapi kini apa terjadi?
Hingar bingar caci dan maki semakin ngeri
Suara nyamuk bagai desingan mesiu
Cubitan kata-kata tak bisa dihindari
Angin tak lagi mendendangkan nyanyian surgawi
Matahari semakin ganas menyengatkan terik
Rembulan berpaling ke pelukkan pengusung sirik
Betapa sedih
Melihat tulang-tulang tak lagi berotot
Jemari tak mampu lagi melukis indah
Hanya jeritan
Air mata
Dan hinaan yang membasahi tubuh kota
Sirna identitas diri
Kehilangan ruh-ruh religi
Lalu mencari sosok jenis sendiri
Tuk menghantarkan sesembahan dan sesaji
 Aku rindu Jakarta yang dulu
Mungkinkah kedamaian datang kembali?
Ataukah harus berakhir revolusi?
Dokumen Pribadi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI