Mohon tunggu...
Dues K Arbain
Dues K Arbain Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk membungkam pikun

Slogan Sufi Anak Zaman : Jika Allah mencintai manusia, maka akan terwujud dalam tiga kwalitas : 1. Simpatik Bagaikan Matahari 2. Pemurah Bagaikan Laut 3. Rendah Hati Bagaikan Bumi

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[MyDiary] Sibuhuan

13 April 2016   01:21 Diperbarui: 13 April 2016   10:18 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku bagian dari ketamakan itu. Meraup mimpi hasil bumi yang dilahirkan dari kebun-kebun kelapa sawit. Menghitung satu demi satu laba penjualan pabrik-pabrik. Menyebarkan untung  para pengepul sampai petani yang membutuhkan tambahan biaya tanam. Dan aku menikmatinya dari hari ke hari.

Dear Dee,

Perjuanganku tak semudah yang dibayangkan. Dukungan teman-teman teamku yang menggenggam percaya diri tinggi tak dapat menyingkirkan garis tanah yang sudah ditakdirkan. Buah kelapa sawit yang melimpah membuat harga menjadi tak ada. Musim paceklik telah tiba. Perekonomian menjadi sakit. Berimbas pula pada perdagangan dan jasa lainnya. Semua bermuara pada turunnya harga kelapa sawit.

Namun Dee,

Aku tidak ditakdirkan untuk berputus asa. Kusinggahi segelas air kehidupan. Ku tak mau melewati hari indah dari laju malam yang menanti pagi. Kala itu matahari tersenyum menggoda kaki-kaki penguasa menapakkan jalan bersuka. Lalu terbentanglah pintu kasih sesama yang menebarkan harap  dan ruang percaya pada sang raja.

Perlahan bermekaranlah tawa atas gugur “hilangnya harga”.  Mereka kembali berjingkrak merambah hidup yang sempat bersusah. Lalu lenyaplah bunga resah pada waktu fana dimana masa depan hampir musnah diketiadaan kuncup layak petik.

12 April 2016

Dee,

Hari-hari yang kulalui seperti tak berkesudahan. Hari ini, 18 hari lagi, genap sudah satu tahun beradaku di Sibuhuan. Tak ada yang berubah. Tak ada geliat yang membuat kejab-kejab menjelmakan kecantikkan bunga-bunga layak petik memekarkan senyum ke seantero jagat. Semua tetap berjalan seperti biasa. Harga sawit pun begitu pula. Adakalanya ia berharga tinggi, ada kalanya ia turun lagi.  Tapi penduduknya seakan tak pernah siap mengantisipasi turun atau naiknya harga. Seperti aku ini yang juga tak punya pilihan untuk mengantisipasi masalah yang silih berganti, tiada nanti tiada kini, tertinggali bersama waktu yang terus mengarungi fakta ada dan tiada ada.

Kini Dee,

Aku berjalan menyusuri bebatuan Sungai Sosopan. Ikan-ikan bersisik perak sesekali berkilau mengerlipkan cahayanya. Batu-batu besar serta koral-koral memberikan warna indah ciptaan tuhan yang megah. Anak-anak bermain air yang dalamnya tak seberapa. Ibu-ibu berjaga siaga khawatir mereka terhanyut oleh derasnya aliran menuju muara yang entah dimana. Sementara para Bapak berceloteh satu sama lain sambil menghembusan asap rokok silih berganti tak pernah henti. Aku hanya tersenyum memaklumi perilaku-perilaku itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun