[caption caption="my diary"][/caption]1 Mei 2015
Dee,
Aku terkejut mendapatkan SK kepindahanku. Tempatnya tak pernah terbayangkan. Bahkan di alam mimpi sekalipun. Nun jauh di sana. Sibuhuan. Nama yang aneh bagiku. Kutanya pada orang-orang, tak ada yang tahu. Lalu kuterpekur di halaman Mbah Google.
Jawabnya : “tidak diketemukan.”
Perlahan, sambil menghitung dentingan waktu, detik demi detik, menit demi menit hingga jam demi jam, aku mendapat titik terang dari ranah Pulau Swarna Dwipa, ia ada di Tapanuli Selatan ibu kota Kabupaten Padang Lawas yang baru dimekarkan dari Padang Sidimpuan, bermargakan Hasibuan.
Dee,
Setelah melapor ke Kantor Wilayah di Medan, yang menjadi Supervisi Kantor Cabangku, aku melanjutkan perjalan darat berjarak 482 km, dengan waktu tempuh 10 Jam 31 menit. Akibat jalan yang berliku dan sulit. Mulailah rasa rindu itu menyerang tajam. Kulipat satu persatu ruang-ruang hampaku. Kesedihan meninggalkan semua cahaya terkasih. Keraguan terhampar bergemuruh mengingat istri dan anak-anak menghela nafas di tanah asal.
Kulepaskan pandangan pada angan-angan yang berkubang sedih bermandi suka. Sedih meninggalkan orang-orang tercinta, suka karena takdir beriak menjemput tahta dunia yang meningkat. Aku terkulai lemas berharap gerimis segera menyiram kemarau yang terisak diantara padang tandus berkabut. Namun di sana, di Sibuhuan, aku berharap matahari memekarkan tangkai kelopak bunga dari takdir beriak sebagai tanah pengharapan baru.
[caption caption="dokumen pribadi"]
2 Mei 2015
Dee,
Negeri kita sungguh elok. Tak terkecuali Sibuhuan. Struktur tanah yang berbukit, bersejajar dengan Bukit Barisan nan indah tiada duanya di dunia. Ia berada diantara Padang Sidimpuan dan Pekanbaru. Tak jauh pula dari Payakumbuh melintasi Kelok Sembilan-nya. Aliran Sungai Sosopan berbatu koral berair jernih nan sejuk menggoda untuk bermandi berhari-hari. Segarnya aliran Air Panas di Aek Milas membuat betah berendam berlama-lama. Air terjun dari dinding-dinding bumi menghias di sudut-sudut negeri bidadari ini.
[caption caption="dokumen pribadi"]
3 Mei 2015
Dee,
Penduduknya sangat bersahaja. Mereka menggunakan bahasa daerah yang memperkaya hazanah perbendaharaan kata kupunya. Aku disambut adat Margondang, yang disajikan ditengah-tengah pesta perkawinan salah satu temanku. Kedua mempelai menari dengan menyatukan tangannya di dada sambil diangguk-anggukkan, mengikuti nyanyian yang disenandungkan tetua kampung dalam bahasa daerah yang kental. Lagunya menceritakan perjalanan kedua mempelai sejak dilahirkan hingga menjelang akad pernikahan. Menceritakan rasa terima kasih kepada orang tua tercinta yang telah bersusah payah memelihara dari kecil hingga dewasa. Banyak yang tak tahan mendengarnya hingga mencucurkan air mata. Tak terkecuali aku, walaupun mamahami bahasa dengan meraba.
[caption caption="dokumen pribadi"]
Tapi Dee,
Keindahan bumi Sibuhuan terkikis oleh ketamakan manusia akan megahnya dunia. Tanah-tanah sudah ditumbuhi oleh garangnya pohon kelapa sawit. Yang membentang beribu-ribu hektar dari tapal batas satu ke tapal batas lainnya. Bukit-bukit menangis kepedihan, manakala hutannya yang asri diganyang api-api ganas melahap dahan demi dahan. Burung-burung dan hewan liar lainnya berlarian tak karuan mencari suaka yang masih tersisa. Sementara mereka berpesta pora menyambut musim petik buah dengan hasil melimpah mendatangkan rupiah yang meruah untuk berpesta ria.
Dee,
Aku mulai mengatur nafas semangat di kaki langit Sibuhuan. Langkah-langkah kurentangkan bersama team kecilku yang berjumlah 145 orang. Kutata puing-puing berserakkan dari peninggalan masa yang berkabut karat. Ajakan-ajakan penuh suka cita menapak pagi membuka pintu-pintu gerbang kejayaan terus aku kumandangkan. Dan nafas-nafas mulai beranjak hingga melupakan tidur melapangkan jejak terus mengikuti dinamika kehidupan berbaur dengan hukum-hukum langit yang berkuasa pada gelap dan terang.
Dan Dee,
Aku bagian dari ketamakan itu. Meraup mimpi hasil bumi yang dilahirkan dari kebun-kebun kelapa sawit. Menghitung satu demi satu laba penjualan pabrik-pabrik. Menyebarkan untung para pengepul sampai petani yang membutuhkan tambahan biaya tanam. Dan aku menikmatinya dari hari ke hari.
Dear Dee,
Perjuanganku tak semudah yang dibayangkan. Dukungan teman-teman teamku yang menggenggam percaya diri tinggi tak dapat menyingkirkan garis tanah yang sudah ditakdirkan. Buah kelapa sawit yang melimpah membuat harga menjadi tak ada. Musim paceklik telah tiba. Perekonomian menjadi sakit. Berimbas pula pada perdagangan dan jasa lainnya. Semua bermuara pada turunnya harga kelapa sawit.
Namun Dee,
Aku tidak ditakdirkan untuk berputus asa. Kusinggahi segelas air kehidupan. Ku tak mau melewati hari indah dari laju malam yang menanti pagi. Kala itu matahari tersenyum menggoda kaki-kaki penguasa menapakkan jalan bersuka. Lalu terbentanglah pintu kasih sesama yang menebarkan harap dan ruang percaya pada sang raja.
Perlahan bermekaranlah tawa atas gugur “hilangnya harga”. Mereka kembali berjingkrak merambah hidup yang sempat bersusah. Lalu lenyaplah bunga resah pada waktu fana dimana masa depan hampir musnah diketiadaan kuncup layak petik.
12 April 2016
Dee,
Hari-hari yang kulalui seperti tak berkesudahan. Hari ini, 18 hari lagi, genap sudah satu tahun beradaku di Sibuhuan. Tak ada yang berubah. Tak ada geliat yang membuat kejab-kejab menjelmakan kecantikkan bunga-bunga layak petik memekarkan senyum ke seantero jagat. Semua tetap berjalan seperti biasa. Harga sawit pun begitu pula. Adakalanya ia berharga tinggi, ada kalanya ia turun lagi. Tapi penduduknya seakan tak pernah siap mengantisipasi turun atau naiknya harga. Seperti aku ini yang juga tak punya pilihan untuk mengantisipasi masalah yang silih berganti, tiada nanti tiada kini, tertinggali bersama waktu yang terus mengarungi fakta ada dan tiada ada.
Kini Dee,
Aku berjalan menyusuri bebatuan Sungai Sosopan. Ikan-ikan bersisik perak sesekali berkilau mengerlipkan cahayanya. Batu-batu besar serta koral-koral memberikan warna indah ciptaan tuhan yang megah. Anak-anak bermain air yang dalamnya tak seberapa. Ibu-ibu berjaga siaga khawatir mereka terhanyut oleh derasnya aliran menuju muara yang entah dimana. Sementara para Bapak berceloteh satu sama lain sambil menghembusan asap rokok silih berganti tak pernah henti. Aku hanya tersenyum memaklumi perilaku-perilaku itu.
Tiba-tiba Dee,
Terselip jelma rasa terima kasih telah dihantarkan sang pencipta ke negeri Sibuhuan ini. Banyak batas-batas ruang yang menata hatiku menjabarkan sabar menjinakkan rindu. Sesekali ku pulang ke Palembang tatkala rindu mendera. Sesekali ku berkunjung ke negeri-negeri tetangga yang menjual beragam indah, seperti Sibolga, Padang Sidimpuan, Mandailing Natal, Sipirok, Balige, Tarutung dan seputaran Danau Toba hingga Brastagi dan Sidikalang. Boleh dikata, aku hampir menjelajahi semua daerah di Sumatera Utara.
[caption caption="dokumen pribadi "]
Namun aku tak boleh larut dalam euforia itu. Aku harus berlari dari iringan isak rindu pada keluarga nun jauh, aku harus melanjutkan pengabdianku hingga jelangkan laba berkunjung tak putus henti untuk mengantarkanku di pintu impian mengemban makna pada batas waktuku diberikan perusahaan ini.
Dan hari ini Dee,
Mimpi-mimpi itu tak pernah karam. Ia tak terhapus oleh gerimis yang berkunjung jelang hari senja tuk mengukir pelangi indah beruntaikan bunga-bunga rindu. Ia tak lenyap diburai sapuan pasir dari naik turunnya perekonomian akibat sepak terjang kebijakkan penguasa tak berpihak. Maka, kujemput jejak-jejak pedih tersisa untuk dilenyapkan dengan jelma mahligai menuju ruang terang.
Aku tak henti bersenandung, Dee. Lamat-lamat kulihat cahaya mentari mengintip dari celah jendela kamarku. Ada embun yang berlabuh di rerumputan tempat menjemput harap agar terelakkan dari jalan berkerikil tajam. Aku menggapai-gapai asa itu dengan penuh kepastian, bersama team kecilku dan orang-orang hebat di Sibuhuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H