Mohon tunggu...
Dues K Arbain
Dues K Arbain Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk membungkam pikun

Slogan Sufi Anak Zaman : Jika Allah mencintai manusia, maka akan terwujud dalam tiga kwalitas : 1. Simpatik Bagaikan Matahari 2. Pemurah Bagaikan Laut 3. Rendah Hati Bagaikan Bumi

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[TantanganNovel100HariFC] Cintaku Tertinggal di Pesantren - Dulmuluk

31 Maret 2016   18:44 Diperbarui: 31 Maret 2016   19:08 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Episode : Dulmuluk

Kelopak mataku perlahan membuka. Lalu menutup lagi manakala cahaya lampu menusuk bola mataku. Aku masih merasakan perih di sekujur tubuh dan menyadari bahwa aku sedang terbaring di bangsal rumah sakit.

“Tidak ada kamar kosong,” kata Vera menjelaskan keherananku.

Aku memintanya agar dirawat di rumah saja. Semula Vera menolak. Tapi aku berhasil membujuknya dengan mengatakan bahwa aku tidak apa-apa. Vera menemui perawat jaga dan mendapatkan izin untuk pulang, dengan alasan kalau sudah ada kamar kosong maka aku akan kembali dirawat di rumah sakit.

Setiba di rumah  kuutarakan niatku untuk pulang ke Palembang. Rasanya sudah bertahun-tahun aku tak pulang. Aku rindu menyapa orang tuaku. Terutama Ibu. Rindu dengan adik-adikku yang entah bagaimana nasib mereka sepeninggalanku. Juga teman-teman sepermainanku yang mungkin kulit tubuhnya telah dikunjungi keriput. Ah…. Sebagai lelaki sejati aku harus berani pulang, apalagi untuk menjenguk ibu yang dalam bayanganku sedang termenung memikirkan keberadaanku. 

Awalnya Vera bersikeras melarang, melihat kondisiku yang masih sakit. Namun ia luluh juga manakala kusampaikan  ia boleh menemaniku. Ia pun sigap mempersiapkan pakaian dan oleh-oleh kampung yang akan dibawa. Menurutnya, buah tangan itu perlu jika berkunjung ke rumah orang, apalagi  orang tua. Selain pengaruhnya besar untuk mendekatkan emosi kekerabatan. Juga kedatangan kita akan sangat dihargai, meskipun nilainya tak seberapa.

Apalagi perkawinanku dengan Vera belum diketahui oleh keluargaku. Saat menikah aku beralasan bahwa mereka sudah sepuh sehingga tidak bisa berjalan jauh. Sehingga Pak Haji Husin dan para penghuni pesantren lainnya memaklumi. Sementara Vera menunjuk Wali Hakim sebagai wali pernikahan kami.

“Assalamualaikum.” Ucapku mengetuk pintu kayu yang sudah lapuk.

Aku berada di bilah tangga paling atas. Tangganya langsung ke pintu masuk. Rumah itu tidak memiliki garang yang biasa terdapat pada rumah papan. Sedangkan Vera menunggu di halaman. Ia memandangi bunga yang ditanam pada pot kaleng bekas cat tersusun menuju anak tangga. Senyumnya sumringah mendapati serumpun mawar memekarkan bunga merah menjulang.

“Waalaikumsalam.” Kudengar sahutan menuju pintu.

Seorang lelaki tua menatapku ramah. Namun sekejab kemudian wajahnya berubah. Ia tak menunjukkan gairah, hanya mempersilahkan masuk dan kemudian duduk di lantai dengan menyilakan kakinya. Melihat itu, aku tak tahan. Kutubruk tubuh tua itu, lalu bersimpuh di kakinya sambil menangis sesegukan. Air mataku menggenangi sewet yang ia kenakan.

“Kami sudah melupakanmu.” Katanya tak bereaksi.

“Maafkan aku ayah…. Ampuni aku….” Aku meratap bersama penyesalan yang mendalam.

“Tak ada yang perlu dimaafkan lagi, ayah dan ibu sudah terbiasa melalui hari-hari penuh hina karena perbuatanmu. Bahkan sepanjang tahun ayah harus ngemil ke kantor polisi untuk melaporkan keberadaanmu yang sama sekali tidak kami ketahui.” Ayah berkata dengan suara datar.

“Ayah….” Suaraku tercekat.

Aku tak kuasa berkata apa-apa lagi. Tubuhku berguncang hebat. Sesak di dada semakin menjadi. Penyesalan, kepiluan, sakit hati, dan semua rasa keterpurukkan berkecamuk jadi satu.

“Mana Ibu, yah…?” Tanyaku serak.

Ayah menoleh ke kamar tidur satu-satunya yang ada di rumah itu. Aku mengikuti pandangannya. Di muara pintu kamar yang hanya ditutupi bebar kulihat ibu duduk menyender ke dinding. Ia hanya menangis terkulai. Matanya basah. Sesekali ia mengusap wajahnya dengan baju usang yang ia pakai.

“Ibu….” Pekikku.

Aku tak dapat menggerakkan badanku. Tubuhku roboh. Ku gapai-gapaikan tangan ke arah ibu. Ingin memeluknya lalu mengusap air matanya dan bersimpuh mengharapkan belaian tangan lembutnya. Tangisku yang tadi sudah mereda kini tak tertahankan deras kembali.

Ibu tak berbuat apa-apa. Ia hanya menunggu berurai air mata. Ia tak bergerak seperti lumpuh. Sesampainya aku kehadapan ibu. Kutarik kakinya yang menjulur, lalu kupeluk kaki itu dengan tangis sejadi-jadinya. Hingga dunia kurasakan ditutup awan gelap. Dan pekikan kepiluan saling menyahut di kepalaku yang mau pecah.

00000000

Selintas sepi. Kulihat Vera sedang menyuapi ibu. Sore tadi ia memasak pindang ikan patin kesukaan ibu. Ia sendiri yang membersihkan ikan dan meracik bumbunya yang ia beli di pasar pagi. Aku sempat menyicipinya. Sangat sedap, seperti masakannya yang sudah-sudah.

“Malam ini aku mau ke Benteng Kuto Besak.” Kataku pada Vera.

“Ngapai Bang?” Vera heran.

“Hanya ingin menikmati hembusan angin malam di Sungai Musi.” Jawabku.

“Saya ikut.” Kata Vera.

Ketika sampai di Benteng Kuto Besak, aku mendapati keramaian yang sangat padat. Kulihat di satu panggung sedang ada hiburan Dulmuluk. Pemain Dulmuluk berceloteh layaknya Lenong Betawi. Ia menggerakkan badannya ke sana kemari seperti pemain wayang. Sesekali ia berinteraksi dengan penonton. Suara gending dan gendang diiringi gesekan rebab melengking menyayat telinga. Sesaat mataku menangkap wajah Mas Bejo di jejalan penonton. Ia memalingkan muka begitu melihatku. Aku menarik tangan Vera menuju ke arahnya. Tapi ternyata Mas Bejo telah menghilang. Aku bingung, apakah tadi aku salah lihat orang?

“Ah, sudahlah.” Bathinku.

Suara tanjidor melengking tinggi. Suling menusuk telingaku mengiringi pergantian pemain yang mengangkat lakon Pak Pandir, lelaki bodoh tapi cerdik, atau lelaki cerdik tapi bodoh. Saat Pak Pandir muncul di panggung, suasana jadi meriah. Penonton bertepuk tangan gaduh. Sebagian bersiul-siul nyaring. Bagaikan sedang menggoda cewek lewat.

Dikisahkan Pak Pandir membeli sepuluh ekor ayam di pasar. Di pertengahan jalan, ia berjumpa karibnya yang mengajaknya bermain judi. Tak kuat menerima tantangan itu, dengan penuh rasa percaya diri ia menerima. Agar tidak mengganggu ia pun melepaskan ayam-ayam bawaanya.

“Pergilah kau ke rumah saya, ini alamatnya.” Kata Pak Pandir pada ayam-ayam tersebut, sambil menyelipkan sobekan kertas berisikan alamat di kepak sayap seekor ayam jago.

“Sesampai di rumah, jangan lupa bilang ke istri saya, agar kalian dipotong semua.” Lanjut Pak Pandir lagi sumringah melihat ayam-ayam sudah berlarian ke sana kemari.

Tawa para penonton tak tertahankan. Tak terkecuali aku dan Vera. Merasakan himpitan penonton semakin berjubel, aku mengajak Vera menyingkir ke tembok benteng. Ada banyak orang berjualan makanan khas Palembang, seperti Mpek-mpek, Tekwan, Laksan, Celimpungan, Model, bahkan sampai makanan nasional seperti bakso pun ada.

Aku memesan Tekwan. Rasanya lezat dan pedas, aku bersyukur menemukannya. Tiba-tiba mataku tertuju pada tukang bakso yang tak jauh dari situ.  Pikiranku langsung teringat Mas Bejo.

“Tadi aku melihat Mas Bejo dikerumunan, makanya aku menarik tanganmu mencarinya, tapi ia tidak ada.” Aku menjelaskan pada Vera kenapa tadi aku menariknya menyeruak diantara penonton.

“Oh…,” kata Vera.

“Mungkin ia sedang ke Palembang juga Bang.” Lanjutnya lagi.

“Mungkin.” Kataku pendek.

Aku mendekati tukang bakso. Lalu aku bercerita bahwa di kampungku ada juga orang yang berjualan bakso. Aku berharap tukang bakso itu mengenal Mas Bejo. Tapi ternyata harapanku hampa. Aku menunggu kemunculan Mas Bejo di situ, siapa tahu ia tertarik untuk membeli bakso atau menikmati panganan lainnya. Entah kenapa dadaku berdebar tak karuan.

Penjual bakso tersenyum. Senyum yang tak biasa. Aku tak peduli, yang jelas senyum lebarnya telah melumerkan kekakuanku yang mencoba tersenyum bercerita banyak. Pada malam ini, saat ada pertunjukan Dulmuluk, hatiku bergetar. Aku tak sengaja datang, dan tak sengaja pula bertemu Mas Mejo yang akhirnya membebani pikiranku.

Aku percaya  pada takdir. Tuhan pasti telah memilihkan jalanku. Tapi aku percaya pula bahwa menghindari takdir untuk mendapatkan takdir lainnya juga disebut takdir. Oleh sebab itu aku hendak mengajak Vera pulang. Jantungku berdebaran menyadari Vera tak Nampak lagi. Tiba-tiba wajahku pucat, seperti orang mati. Air mata jatuh dengan sendirinya dari sudut mataku, aku sangat takut kehilangan Vera. Aku memandangi sekeliling beberapa saat dan tidak menemukan apa-apa kecuali orang berjualan dan berlalu lalang.

 

Catatan :

Garang = teras rumah panggung

Sewet = kain sarung

Bebar = hordeng pintu

http://fiksiana.kompasiana.com/dues_68/tantangannovel100harifc-cintaku-tertinggal-di-pesantren-prolog_56e83a8ef496730e1fcab31b

http://fiksiana.kompasiana.com/dues_68/tantangannovel100harifc-cintaku-tertinggal-di-pesantren-pelarian_56f177eb4023bdb904d160f5

http://fiksiana.kompasiana.com/dues_68/tantangannovel100harifc-cintaku-tertinggal-di-pesantren-mas-bejo_56f8dbecc4afbd801c114999

http://fiksiana.kompasiana.com/dues_68/tantangannovel100harifc-cintaku-tertinggal-di-pesantren-aku-tak-layak-mendapatkan-perawan_56fa241b8523bd06077b57c9

http://fiksiana.kompasiana.com/dues_68/tantangannovel100harifc-cintaku-tertinggal-di-pesantren-ternyata-arman_56faa613547a61720b08827f

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun