“Kami sudah melupakanmu.” Katanya tak bereaksi.
“Maafkan aku ayah…. Ampuni aku….” Aku meratap bersama penyesalan yang mendalam.
“Tak ada yang perlu dimaafkan lagi, ayah dan ibu sudah terbiasa melalui hari-hari penuh hina karena perbuatanmu. Bahkan sepanjang tahun ayah harus ngemil ke kantor polisi untuk melaporkan keberadaanmu yang sama sekali tidak kami ketahui.” Ayah berkata dengan suara datar.
“Ayah….” Suaraku tercekat.
Aku tak kuasa berkata apa-apa lagi. Tubuhku berguncang hebat. Sesak di dada semakin menjadi. Penyesalan, kepiluan, sakit hati, dan semua rasa keterpurukkan berkecamuk jadi satu.
“Mana Ibu, yah…?” Tanyaku serak.
Ayah menoleh ke kamar tidur satu-satunya yang ada di rumah itu. Aku mengikuti pandangannya. Di muara pintu kamar yang hanya ditutupi bebar kulihat ibu duduk menyender ke dinding. Ia hanya menangis terkulai. Matanya basah. Sesekali ia mengusap wajahnya dengan baju usang yang ia pakai.
“Ibu….” Pekikku.
Aku tak dapat menggerakkan badanku. Tubuhku roboh. Ku gapai-gapaikan tangan ke arah ibu. Ingin memeluknya lalu mengusap air matanya dan bersimpuh mengharapkan belaian tangan lembutnya. Tangisku yang tadi sudah mereda kini tak tertahankan deras kembali.
Ibu tak berbuat apa-apa. Ia hanya menunggu berurai air mata. Ia tak bergerak seperti lumpuh. Sesampainya aku kehadapan ibu. Kutarik kakinya yang menjulur, lalu kupeluk kaki itu dengan tangis sejadi-jadinya. Hingga dunia kurasakan ditutup awan gelap. Dan pekikan kepiluan saling menyahut di kepalaku yang mau pecah.
00000000