Mohon tunggu...
Dues K Arbain
Dues K Arbain Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk membungkam pikun

Slogan Sufi Anak Zaman : Jika Allah mencintai manusia, maka akan terwujud dalam tiga kwalitas : 1. Simpatik Bagaikan Matahari 2. Pemurah Bagaikan Laut 3. Rendah Hati Bagaikan Bumi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fikber]#5 : Derita Cinta Membara

17 November 2015   08:44 Diperbarui: 20 November 2015   20:47 1906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Dues K. Arbain No. 05

Dalam duka lara yang diderita
Karenamu
Luka-luka itu mencium bau penawarnya
Kenangan tentangmu mengubur jiwa
Beribu-ribu di tiap sudut,
mengharap sekilas lirikanmu
tersesat dalam gurun kesedihan
Mengembara tanpa tujuan
kulihat mata-mata basah penuh derita cinta sambil menari di lorong rasa bersalah

 

Tengah malam telah tiba, aku tercekat di gulita selimut kegelapan jiwa. Mataku terkulai sekarat, letih tak berkesudahan - selalu berkunjung tak berujung. Aku ingin melupakanmu Gie, semua yang ada dalam angan dan cita berubah ke alam bawah sadar, di sana aku terbius mimpi semu dan terbuai oleh rayuan gelapnya burung malam.


Di sudut kota kecil ini - di tepian danau, bersama cahaya rembulan mati, aku lelap dalam ayunan anyaman akar pohon. Aku menjauh dari hingar bingar kehidupan yang kamu ciptakan Gie. Sudah berbulan-bulan setelah kecelakaan itu aku tak kembali pulang. Aku ingin melupakan kepenatan yang membosankan, biarkan orang menganggapku telah hilang. Biarkan Gie tidak menemukanku lagi.

”Kenapa kau menganiaya dirimu sendiri Rhein?”

“Bukankah kamu sangat mencintai Gie?”

“Lalu kenapa kau tinggalkan Gie?” sayup-sayup kudengar suara bergema dalam tidurku. Berkali-kali aku mencoba terjaga, namun sekerlip pun mataku tak dapat dibuka. Aku merasakan peluh yang bercucuran, bahkan air mata darah pun menetes deras basah.

Tiba-tiba aku tersentak bangun, sebuah tangan kekar menyentuh keningku. Mataku terbelalak, tapi tak lama. Aku langsung memeluk tubuh itu. Air mataku terus mengalir melanjutkan mimpi tentang rembulan mati. Untuk kesekian kali dalam hidupku, aku merasakan kelaparan jiwa yang menghapus antara rasa manis dan kegetiran. Dengan linangan air mata yang masih bergulir di pipi, aku tak ingin melepaskan pelukannya.

“Maafkan aku J, aku tak dapat melupakan Gie”. Kataku tercekat

Lelaki itu mengangguk senyum, kemudian sejenak mendaratkan kecupan di keningku, lalu kulabuhkan wajah pada bidang dadanya. kupandang bulir-bulir keringat yang jatuh dari pipiku. Berbagai kenangan tentang Gie, telah mengoyak dan merobek hati yang menghancurkan harapanku. Hanya Mr. J yang tahu keberadaanku. Aku memintanya untuk menjaga rahasia ini.

“Ada seseorang yang mengaku dirinya sebagai kamu Rhein”, suatu ketika Mr. J menyampaikan situasi di kantor.

“Aku tak heran J”. jawabku

Situasi perusahaanku penuh dengan intrik dan tingkah laku. Orang-orang bertopeng manis menyelinap diantara debu mercy. Satu persatu yang apa adanya terbakar dan terlempar. Tak ada lagi keceriaan seperti sedia kala, tak ada duka yang terobati segera, tak ada payung yang menahan terik sang surya.

“Kamu juga harus melupakan Gie”, kata Mr. J.

“Aku tak bisa”. Jawabku sembari menggelengkan kepala. Aku sangat mencintai Gie. Mana mungkin dapat melupakannya begitu saja.

“Baiklah, kuceritakan padamu suatu rahasia yang tidak kamu ketahui, Rhein”, Mr. J menatapku sejenak. Melihat tak ada reaksi dariku, ia melanjutkan ucapannya.

“Mereka punya rencana jahat, karena kamulah satu-satunya yang bisa menghalangi niat mereka menggelapkan keuangan perusahaan, maka menyingkirkan kamu dari perusahaan kita adalah keharusan”. Jelas Mr. J yang kusambut dengan gelengan kepala berkali-kali.

“Tak mungkin….”, lirih suaraku bergumam.

“Aku pernah mendengar pembicaraan mereka berdua”, lanjut Mr. J lagi menegaskan argumennya.

“Gie sangat mencintaiku” aku tak percaya

“Gie tidak hanya mencintaimu, tapi dia juga mencintai Ran”, kata Mr. J yang membuatku terkaget tak alang kepalang.

“Tak mungkin J”, teriakku dengan suara tercekat

Aku menangis sejadi-jadinya. Inginku teriak. Melolongkan amukan jiwa seperti lengkingan mawar yang dahaga menunggu datangnya hujan. Jiwaku tercekat. Tak percaya apa yang dikatakan oleh Mr. J. Tiba-tiba mataku berselimut gelap dan atap-atap langit berlinang melihat keburukkan nasibku.

====

Aku mengajak Mr. J meninggalkan danau. Tangan kami bergenggaman, ia merangkulku untuk mengarungi tanggungjawab pada janji yang terkisahkan di perapian singgasana senja. Ada desiran-desiran angin mengalir perkasa laksana air mata putri rembulan. Hati ragu di tengah badai mendera membuatku terbuai mimpi semu yang mencumbu waktu.

“Situasi di kantor semakin gawat, semua orang tak terkendali, Nugie dan Ran mulai berani menunjukkan kemesrahannya”. Kata Mr. J memulai percakapan.

Aku hanya diam. Walaupun tidak percaya Nugie seorang Gay, tapi aku jijik membayangkannya. Kenapa jadi begini Gie? Dulu kau selalu mengajakku untuk hidup bahagia. Katamu, bahwa hidup bagaikan hulu sungai yang mengalir kemana-mana, namun tak pernah melupakan muara yang menjadi nadinya. Katamu, kita hidup harus mengukir kisah-kisah legenda, agar menjadi ukiran besar untuk anak cucu kita yang bermuara dari cinta aku dan kamu, Gie.

“Aku curiga, apakah itu benar-benar Nugie?” Kataku pada Mr. J.

Tapi Mr. J tak menjawab. Ia menatapku – yang menimbulkan beribu halaman tanya berkubang di pikiranku. Laki-laki ini sangat memperhatikan aku. Hadirnya selalu ada di setiap keterkulaian jiwaku, atau kelemasan nafasku di setiap butuhku mengharapkan tangan-tangan perkasa.

“Bolehkah kita membahas yang lain?” Tanya Mr. J tersenyum manis

“Apa itu?” Tanyaku

Ia meluruskan pandangan matanya ke arahku. Satu misteri merasuk hatiku. Di sana kutemui beragam riak takdir terencana pada hempasan ombak murka yang melumat janji-janji masa depan. Hatiku dag dig dug, selintas sunyi menyapa, lalu senyumnya kembali meruam mimpi berkalang cahaya harapan.

“Aku mencintaimu, Rhein”. Ungkap Mr.J dengan suara serak berat

Aku terdiam. Kakiku bergetar gaduh dialiri tarian darah gejolak rasa. Maafkan aku J, kamu baik, namun hatiku telah menjadi rembulan mati, tercerabut oleh rayuan manis Gie, sang pencinta pongah tak bernurani mencampakkanku disaat cinta sedang tegak berdiri.

“Aku siap dengan semua jawabmu”, lanjut Mr. J lagi

Tapi aku tak akan menjawabnya. Karena di hati ini nyanyian sudah berubah mengeluarkan syair-syair geram. Tak ada lagi nada-nada yang memujakan cinta. Tak ada lagi kemanisan yang dirasa. Semua bersembunyi dibalik jubah-jubah dusta kamu, Gie.

“Aku akan menunggu sampai langit terbalik menjadi injakan kita”, bisik Mr. J datar.
Kali ini aku mengangguk.

“Maafkan aku J” suaraku serak menahan isak.

Kutinggalkan kota kecil itu diam-diam. Mr. J pun tidak kuberi tahu. Aku harus meraih hidupku kembali. Banyak tanya yang berkecamuk. Apa yang diceritakan Mr. J harus mendapat jawab pasti. Niatku sudah bulat. Sebelum bertemu dengan Gie, Ran, Nina atau pun Mr. J, aku harus merubah wajah agar tak dikenali lagi.

===

Malam itu, setelah sebulan operasi plastik - wajahku benar-benar sudah berubah, aku kembali ke Jakarta, kota yang telah membesarkanku selama ini. Tempat yang membangun indah - sekaligus hampir merengut jiwaku. Teringat malam kejadian, saat rem mobilku blong tanpa bisa dikendalikan lagi.

“Saya duluan Nin, Nugie memintaku bertemu di Kafe Manggis”, kataku pada Nina kala itu.

“Itukan jauh sekali”, kata Nina mengingatkanku. Kami biasa menghabiskan malam di kafe itu.

“Nampaknya Gie ingin menyampaikan sesuatu yang penting”, jawabku

“Ingin melamarmu?” Nina berselidik

“Bukan, sepertinya tentang perusahaan kita”, jawabku jujur

Lalu kupacu simerah menyusuri kilau cahaya lampu jalan ibu kota. Hiruk pikuk orang bersuka, dari yang gagah hingga gemulai, dari yang cantik sampai ke buruk rupa. Semua bersolek meneriaki cahaya rembulan mati. Duhai malam, apa yang kau tawarkan? Bukankah rembulan pun malu untuk menyapa gelap? Bukankah setiap bait-bait terangkai tanamkan simpul-simpul indah demi cinta yang didamba?

Mobil merahku melaju cepat, hingga suatu ketika aku menginjak rem dan mendapatkannya sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Dunia menjadi gelap, yang menggugah asa rawan lenyap, sejak itu aku tak ingat apa-apa.


====

Dan, malam ini. Aku menikmati white frappe dalam cangkir yang dituang indah sang pelayan. Ah, tempat ini begitu bersahaja. Aku seperti pernah ke sini, Gie. Ya, kita dulu sering bertemu di sini. Hanya tempat ini yang mewangikan aroma hubungan kita. Kita pernah berikrar untuk cinta yang didamba sumringah merajut masa depan. Kita mungkin pernah seperti telaga yang menyeduhkan sejuk tanpa riak menggulirkan rindu setiap malam tiba. Dan tempat ini… tempat ini adalah saksi abadi kita.

Tiba-tiba satu sosok datang. Ia memilih duduk di depanku. Dengan paras tak bersahaja menyiratkan api murka melumatkan asa. Aku mendongak. Darahku berdesir. Wajah itu sangat kukenal. Aku pernah merengkuh teduhnya cinta di situ. Aku pernah mendayung rindu dalam tatapan matanya. Aku pernah memimpikan malam menjadi terang benderang bersama harapan yang ditawarkannya. Hampir saja aku menyebut namanya, jika saja tak sadar kalau wajahku sudah berubah.

Nugie. Kamukah itu? Bibirmu berkumis - yang dulu tak pernah ada. Jambangmu panjang tak terurus – yang dulu tak pernah ada. Kantong di kelopak mata menggantung lebam - yang dulu juga tak pernah ada. Kamu sangat lusuh dan keriput.

Apa yang terjadi dengan kamu, Gie? Aku ingin memelukmu. Ingin sekali menyapamu dan mengatakan aku adalah Rhein-mu. Rhein yang sangat mencintai kamu, Gie. Tapi aku tak bisa. Aku harus mencari terang, agar aku dapat melangkah menuju benderang.

Tiba-tiba rasa ibaku menyeruak, menyingkirkan kebencian dan kejijikan. Aku semakin tak percaya kalau kamu gay, Gie. Mana mungkin, gambaranmu sama sekali tak serupa dengan yang diceritakan Mr. J. Tak tahan melihat kondisimu, Gie. Seketika tubuhku rubuh tersungkur. Badanku bergetar hebat, isak tangisku tak bisa kubendung lagi. Kugapai tanganmu, inilah tanganku, genggamlah dengan keindahan tanganmu, dan inilah tubuhku, rangkullah dengan tangan kecintaanmu, inilah wajahku, usaplah dengan rasa rindumu yang mendalam. Aku mencintaimu, Gie. Apapun adanya dirimu.

====0000====

 

Fiksi bersambung edisi sebelumnya :

1. Malam Bulan Mati, Balkon, dan Ciuman
2. Bulan Mati di Hati Rheinara
3. Pesan Cinta Dari Masa Lalu
4. Benang Merah
5. Derita Cinta Membara
Karya peserta lain : http://m.kompasiana.com/androgini
Group FB : Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun