“Tak mungkin J”, teriakku dengan suara tercekat
Aku menangis sejadi-jadinya. Inginku teriak. Melolongkan amukan jiwa seperti lengkingan mawar yang dahaga menunggu datangnya hujan. Jiwaku tercekat. Tak percaya apa yang dikatakan oleh Mr. J. Tiba-tiba mataku berselimut gelap dan atap-atap langit berlinang melihat keburukkan nasibku.
====
Aku mengajak Mr. J meninggalkan danau. Tangan kami bergenggaman, ia merangkulku untuk mengarungi tanggungjawab pada janji yang terkisahkan di perapian singgasana senja. Ada desiran-desiran angin mengalir perkasa laksana air mata putri rembulan. Hati ragu di tengah badai mendera membuatku terbuai mimpi semu yang mencumbu waktu.
“Situasi di kantor semakin gawat, semua orang tak terkendali, Nugie dan Ran mulai berani menunjukkan kemesrahannya”. Kata Mr. J memulai percakapan.
Aku hanya diam. Walaupun tidak percaya Nugie seorang Gay, tapi aku jijik membayangkannya. Kenapa jadi begini Gie? Dulu kau selalu mengajakku untuk hidup bahagia. Katamu, bahwa hidup bagaikan hulu sungai yang mengalir kemana-mana, namun tak pernah melupakan muara yang menjadi nadinya. Katamu, kita hidup harus mengukir kisah-kisah legenda, agar menjadi ukiran besar untuk anak cucu kita yang bermuara dari cinta aku dan kamu, Gie.
“Aku curiga, apakah itu benar-benar Nugie?” Kataku pada Mr. J.
Tapi Mr. J tak menjawab. Ia menatapku – yang menimbulkan beribu halaman tanya berkubang di pikiranku. Laki-laki ini sangat memperhatikan aku. Hadirnya selalu ada di setiap keterkulaian jiwaku, atau kelemasan nafasku di setiap butuhku mengharapkan tangan-tangan perkasa.
“Bolehkah kita membahas yang lain?” Tanya Mr. J tersenyum manis
“Apa itu?” Tanyaku
Ia meluruskan pandangan matanya ke arahku. Satu misteri merasuk hatiku. Di sana kutemui beragam riak takdir terencana pada hempasan ombak murka yang melumat janji-janji masa depan. Hatiku dag dig dug, selintas sunyi menyapa, lalu senyumnya kembali meruam mimpi berkalang cahaya harapan.