“Nampaknya Gie ingin menyampaikan sesuatu yang penting”, jawabku
“Ingin melamarmu?” Nina berselidik
“Bukan, sepertinya tentang perusahaan kita”, jawabku jujur
Lalu kupacu simerah menyusuri kilau cahaya lampu jalan ibu kota. Hiruk pikuk orang bersuka, dari yang gagah hingga gemulai, dari yang cantik sampai ke buruk rupa. Semua bersolek meneriaki cahaya rembulan mati. Duhai malam, apa yang kau tawarkan? Bukankah rembulan pun malu untuk menyapa gelap? Bukankah setiap bait-bait terangkai tanamkan simpul-simpul indah demi cinta yang didamba?
Mobil merahku melaju cepat, hingga suatu ketika aku menginjak rem dan mendapatkannya sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Dunia menjadi gelap, yang menggugah asa rawan lenyap, sejak itu aku tak ingat apa-apa.
====
Dan, malam ini. Aku menikmati white frappe dalam cangkir yang dituang indah sang pelayan. Ah, tempat ini begitu bersahaja. Aku seperti pernah ke sini, Gie. Ya, kita dulu sering bertemu di sini. Hanya tempat ini yang mewangikan aroma hubungan kita. Kita pernah berikrar untuk cinta yang didamba sumringah merajut masa depan. Kita mungkin pernah seperti telaga yang menyeduhkan sejuk tanpa riak menggulirkan rindu setiap malam tiba. Dan tempat ini… tempat ini adalah saksi abadi kita.
Tiba-tiba satu sosok datang. Ia memilih duduk di depanku. Dengan paras tak bersahaja menyiratkan api murka melumatkan asa. Aku mendongak. Darahku berdesir. Wajah itu sangat kukenal. Aku pernah merengkuh teduhnya cinta di situ. Aku pernah mendayung rindu dalam tatapan matanya. Aku pernah memimpikan malam menjadi terang benderang bersama harapan yang ditawarkannya. Hampir saja aku menyebut namanya, jika saja tak sadar kalau wajahku sudah berubah.
Nugie. Kamukah itu? Bibirmu berkumis - yang dulu tak pernah ada. Jambangmu panjang tak terurus – yang dulu tak pernah ada. Kantong di kelopak mata menggantung lebam - yang dulu juga tak pernah ada. Kamu sangat lusuh dan keriput.
Apa yang terjadi dengan kamu, Gie? Aku ingin memelukmu. Ingin sekali menyapamu dan mengatakan aku adalah Rhein-mu. Rhein yang sangat mencintai kamu, Gie. Tapi aku tak bisa. Aku harus mencari terang, agar aku dapat melangkah menuju benderang.
Tiba-tiba rasa ibaku menyeruak, menyingkirkan kebencian dan kejijikan. Aku semakin tak percaya kalau kamu gay, Gie. Mana mungkin, gambaranmu sama sekali tak serupa dengan yang diceritakan Mr. J. Tak tahan melihat kondisimu, Gie. Seketika tubuhku rubuh tersungkur. Badanku bergetar hebat, isak tangisku tak bisa kubendung lagi. Kugapai tanganmu, inilah tanganku, genggamlah dengan keindahan tanganmu, dan inilah tubuhku, rangkullah dengan tangan kecintaanmu, inilah wajahku, usaplah dengan rasa rindumu yang mendalam. Aku mencintaimu, Gie. Apapun adanya dirimu.