“Aku mencintaimu, Rhein”. Ungkap Mr.J dengan suara serak berat
Aku terdiam. Kakiku bergetar gaduh dialiri tarian darah gejolak rasa. Maafkan aku J, kamu baik, namun hatiku telah menjadi rembulan mati, tercerabut oleh rayuan manis Gie, sang pencinta pongah tak bernurani mencampakkanku disaat cinta sedang tegak berdiri.
“Aku siap dengan semua jawabmu”, lanjut Mr. J lagi
Tapi aku tak akan menjawabnya. Karena di hati ini nyanyian sudah berubah mengeluarkan syair-syair geram. Tak ada lagi nada-nada yang memujakan cinta. Tak ada lagi kemanisan yang dirasa. Semua bersembunyi dibalik jubah-jubah dusta kamu, Gie.
“Aku akan menunggu sampai langit terbalik menjadi injakan kita”, bisik Mr. J datar.
Kali ini aku mengangguk.
“Maafkan aku J” suaraku serak menahan isak.
Kutinggalkan kota kecil itu diam-diam. Mr. J pun tidak kuberi tahu. Aku harus meraih hidupku kembali. Banyak tanya yang berkecamuk. Apa yang diceritakan Mr. J harus mendapat jawab pasti. Niatku sudah bulat. Sebelum bertemu dengan Gie, Ran, Nina atau pun Mr. J, aku harus merubah wajah agar tak dikenali lagi.
===
Malam itu, setelah sebulan operasi plastik - wajahku benar-benar sudah berubah, aku kembali ke Jakarta, kota yang telah membesarkanku selama ini. Tempat yang membangun indah - sekaligus hampir merengut jiwaku. Teringat malam kejadian, saat rem mobilku blong tanpa bisa dikendalikan lagi.
“Saya duluan Nin, Nugie memintaku bertemu di Kafe Manggis”, kataku pada Nina kala itu.
“Itukan jauh sekali”, kata Nina mengingatkanku. Kami biasa menghabiskan malam di kafe itu.