Mohon tunggu...
Dudun Parwanto
Dudun Parwanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Traveler

Owner bianglala publishing, penulis, komika sosial media dan motivator/ trainer penulisan,

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Apakah Demokrasi Sesuai dengan Syariat Islam?

24 Juli 2024   06:36 Diperbarui: 24 Juli 2024   06:36 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era milenial yang penuh dengan keterbukaan dan dinamis saat ini, tantangan dalam kehidupan bernegara semakin kompleks. Masyarakat dengan mudah mengakses berbagai informasi dari media digital sehingga doktrin atau paham dari luar mudah masuk yang dapat mempengaruhi pemikiran bangsa. Apabila arus pemikiran global tidak dikelola dengan baik, maka akan mempengaruhi tatanan dalam masyarakat yang berpotensi mengancam harmonisasi kehidupan bangsa.

            Sistem demokrasi di Indonesia sudah berjalan sejak tahun 1950-an, di tengah mayoritas umat Islam. Demokrasi merupakan satu diantara sejumlah sistem politik seperti monarki (kerajaan), tirani, aristokrasi, oligarki dan sebagainya. Hanya saja, jika dibandingkan dengan sistem yang lain, hingga saat ini demokrasi masih dinilai sebagai sistem politik yang paling baik.

            Menurut Baruch Spinoza (2007), demokrasi masih menjadi sistem pemerintahan terbaik karena bersifat alami dan paling sejalan dengan kebebasan manusia. Demokrasi adalah bagian dari sejarah masyarakat Barat, sehingga penerapaan di tempat lain belum tentu sama, sebab setiap bangsa memiliki budaya yang berbeda. Kendati sistem demokrasi dapat dipraktikkan di negara lain, namun tetap akan dibatasi dengan berbagai faktor yang bersifat doktrinal, sosial dan politik.

            Di negara Indonesia yang mayoritas muslim, kesiapan sosial dan entitas doktrinal (konsep yang dipertahankan sesuai ajaran) merupakan hal yang penting.   Meski tidak semua umat Islam memiliki tingkat pandangan dan sikap politik yang sama, namun nilai-nilai Islam menjadi pertimbangan tersendiri bagi diterapkannya sistem demokrasi di negara yang mayoritas muslim, sehingga demokrasi dapat tampil sesuai dengan prinsip dan nilai idealnya.

            Terbentuknya kehidupan demokrasi di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari respon masyarakat Islam itu sendiri. Oleh karena itu, pemahaman tentang kesamaan antara demokrasi dan nilai-nilai fundamental Islam sangat penting. Modal sosial umat Islam Indonesia yang mudah menerima gagasan dan nilai-nilai dasar demokrasi juga menjadi faktor penting dalam penerapan sistem politik yang demokratis.

            Prinsip-prinsip normatif Islam, seperti keadilan, kesetaraan, musyawarah, menghargai pluralitas, dan lain sebagainya, merupakan watak dasar ajaran Islam yang sejalan dengan konsep demokrasi. Namun, dalam implementasi nilai-nilai dasar Islam, diperlukan kesiapan sosial dari kehidupan masyarakat muslim. Keselarasan antara ajaran Islam dengan demokrasi membuat sebagian besar masyarakat Indonesia tidak mengalami kegamangan terhadap sistem ini.

            Permasalahan yang muncul kemudian menurut Bachtiar Effendy (2009) adalah ketika umat Islam meyakini akan keholistikan (keseluruhan) Islam. Ajaran Islam mengatur segala aspek kehidupan secara menyeluruh (kaffah), termasuk dalam kehidupan sosial politik.

            Dari pandangan ini, menurut Bachtiar Effendy (2009), terjadi kemunculan dua cara pandang Islam. Pertama, yakni pandangan dari sebagian masyarakat Islam yang hanya memahami keholistikan Islam secara organik, dimana hubungan antara Islam dan semua aspek kehidupan harus diwujudkan dalam bentuk yang legalitistik-formalistis (mengacu pada kepatuhan terhadap aturan dan prosedur hukum secara formal, tanpa memperhatikan substansi atau tujuan dari aturan tersebut).  

            Kedua, cara pandang yang hanya melihat Islam secara total dalam dimensi substantif. Yakni mengacu pada pemahaman dan praktik Islam yang berfokus pada substansi atau esensi ajaran agama tersebut, bukan hanya pada aspek formalitas atau tata cara ritual belaka.

            Dari cara pandang kedua itulah, banyak pemikir Muslim yang mencoba menempatkan Al Qur'an sebagai tuntunan hidup bagi umat Islam, bukan menjadi teksbook ilmu politik. Selama ini banyak pemikiran yang hanya memberikan wawasan pengetahuan, bukan tentang konsep politik Islam secara detail.

            Sesuai prinsip-prinsip demokrasi yang terdapat dalam ajaran Islam, maka praktik kehidupan demokratis bisa diukur dari terlaksananya prinsip-prinsip tersebut. Seluruh aspek kehidupan seperti hukum, pemerintahan, ekonomi, dan sebagainya disebut demokratis jika mengandung dan melaksanakan prinsip-prinsip tersebut.

            Dewasa ini, dalam skala global, kebangkitan Islam dan demokratisasi berlangsung sangat dinamis. Di berbagai penjuru bumi, orang-orang sangat ramai menyerukan kebangkitan agama dan demokratisasi sehingga keduanya menjadi tema yang paling menarik dalam dunia kontemporer.  

                Tuntutan demokrasi sangat kuat terjadi di negara-negara berkembang, termasuk di negara yang berpenduduk terbesar umat muslim. Hal ini disebabkan munculnya asumsi bahwa demokrasi merupakan sistem yang paling baik karena bisa menjamin stabilitas politik, menciptakan masyarakat yang secara sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan lebih baik. Ketika umat Islam tengah berjuang melawan penindasan baik dari kaum kolonial maupun dari konflik dengan sesama mereka, demokrasi akan dipandang sebagai pilihan yang terbaik.

            Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling banyak diterapkan di dunia. Menurut peletak dasar demokrasi yakni Abraham Lincoln, Presiden AS ke-16, demokrasi merupakan suatu pemerintahan yang berasal dari rakyat, dilakukan oleh rakyat dan ditujukan untuk rakyat. Intinya dalam sistem demokrasi pemegang kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Rakyatlah yang membuat undang-undang dan menentukan pemimpin untuk menjalankan undang-undang.            

            Dikutip dari buku I Wayan Landrawan dkk (2022), ciri-ciri negara demokrasi adalah: adanya kebebasan berpendapat dan berekspresi, pengakuan atas kedaulatan rakyat, sistem perwakilan dalam pemerintahan, pemisahan dan pembagian kekuasaan diselenggarakan oleh pemerintah, sistem pemilu untuk memilih wakil rakyat, sistem peradilan yang independen, partisipasi rakyat, perlindungan hak asasi manusia, terselenggaranya pemilu yang aktif dan pemerintahan yang berlandaskan hukum. 

            Pemilihan topik "Menuju Harmoni:Mengikis Benturan Islam dan Demokrasi," didasarkan atas beberapa pertimbangan.

Pertama, Islam sebagai salah satu agama yang memiliki pengikut terbesar di dunia mempunyai nilai-nilai yang selaras dengan prinsip-prinsip demokrasi. Penting bagi masyarakat untuk memahami nilai-nilai Islam yang diterapkan dalam sistem negara demokrasi. Dalam ajaran Islam, rujukan utama dalam kehidupan manusia adalah kitab suci Al Qur'an dan hadis. Sebagai pedoman hidup umat Islam, Al Qur'an memberikan nilai-nilai kehidupan politik yang harus dipatuhi umatnya.

            Setidaknya, terdapat sejumlah prinsip kebaikan yang telah digariskan dalam sejarah peradapan Islam, yakni: prinsip keadilan (al-'adlah), prinsip kesamaan (al-muswh), dan prinsip musyawarah (asy-syr). Satu diantara prinsip demokrasi adalah menegakkan keadilan melalui sistem peradilan atau penegakan hukum.

            Perundang-undangan dibentuk sebagai pegangan bagi penguasa untuk menciptakan keadilan. Dengan demikian, penegakkan keadilan atau lembaga peradilan menjadi tugas para Nabi, sebagaimana firman Allah Swt. dalam Al Qur'an surat d ayat 26.

Artinya "Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di bumi. Maka, berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan hak dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari Perhitungan."

            Pelaksanaan hukum dalam Islam harus dilakukan dengan adil secara mutlak tanpa pandang bulu. Dalam Al Qur'an, banyak ayat yang menyatakan keadilan harus ditegakkan sekali pun melibatkan keluarga dalam lingkaran kekuasaan. Penegakan keadilan dan supremasi hukum sangat penting dalam sebuah pemerintahan seperti ditegaskan Allah Swt. dalam surat An Nahl ayat 90:

Artinya: "Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberikan bantuan kepada kerabat. Dia (juga) melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu selalu ingat."

            Selain keadilan, ajaran Islam yang bersinggungan dengan nilai demokrasi adalah prinsip kesetaraan atau al-muswh. Prinsip kesetaraan dalam Islam merupakan fondasi yang signifikan. Rasulullah saw. menekankan pentingnya kesetaraan manusia saat memberlakukan hukum-hukum Islam, seperti disampaikan dalam Al Qur'an surat Al Hujurt ayat 13:

Artinya: "Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti."

            Dalam Islam, orang yang paling mulia di hadapan Allah Swt. adalah mereka yang paling bertakwa. Allah Swt. menilai seseorang bukan dari kekayaan, kekuasaan, suku, ras atau kecerdasannya, melainkan dari amal ibadahnya. Ini menegaskan bahwa dimata Tuhan, semua manusia memiliki kedudukan dan hak yang sama atau egaliter.

            Pentingnya keseimbangan kekuasaan dalam pemerintahan ditekankan untuk mencegah dominasi otoriter atas warga negara. Dalam konteks Islam, pemerintah adalah entitas yang diberi mandat dan amanah oleh rakyat melalui proses pemilihan yang adil dan transparan, untuk melaksanakan dan menegakkan hukum yang telah ditetapkan. Karena itu, pemerintah memiliki tanggung jawab moral yang besar, baik terhadap warga negara maupun kepada Tuhan.

            Prinsip kesetaraan atau egaliter ini merupakan konsekuensi logis dalam prinsip utama demokrasi yakni musyawarah atau asy-syr. Musyawarah adalah bagian dari prinsip demokrasi yakni kebebasan dan partisipasi. Dalam musyawarah, warga diharapkan berpartisipasi dan memberikan dukungannya dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu, setiap orang diberikan hak dan kebebasan yang sama dalam menyampaikan pendapatnya. Secara substansi nilai-nilai Islam dan demokrasi saling mengisi dalam pelaksanaan musyawarah.

            Firman Allah Swt. dalam Al Qur'an surat Asy Syr ayat 38 dengan gamblang memerintahkan umat Islam untuk bermusyawarah.

Artinya: "(juga lebih baik dan lebih kekal bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka. Mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka"

            Dengan musyawarah, maka masyarakat diberikan kebebasan untuk memutuskan sendiri setiap kebijakan atau aturan yang akan ditetapkan, termasuk membuat solusi dalam menghadapi permasalahan. Pada pelaksanaan musyawarah, setiap orang memiliki hak yang sama untuk menyampaikan pendapat sehingga tidak ada diskriminasi.

            Dalam Al Qur'an surat li Imrn ayat 159, Allah Swt. memerintahkan agar manusia melakukan musyawarah dalam memutuskan sebuah perkara atau urusan.

Artinya: "Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal."

            Kedua, peranan negara sangat diperlukan dalam menjalankan pemerintahan dan membuat kebijakan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Satu diantara peran negara adalah menjaga persatuan yang sudah berjalan selama ini ditengah kemajemukan bangsa.

             Diantaranya, negara harus mampu menjaga keharmonisan antara Islam dan demokrasi sehingga tidak terjadi benturan pemahaman dan gejolak sosial politik yang dapat menimbulkan perpecahan bangsa.  

            Indonesia adalah negara demokrasi dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Menurut laporan Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC) tahun 2024, jumlah penduduk Muslim di Indonesia sebesar 240,62 juta jiwa pada 2023, atau sekitar 86,7% dari jumlah penduduk secara nasional sebesar 277,53 juta jiwa. Dengan jumlah penduduk yang sangat besar, Indonesia juga menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah India (1,4 miliar jiwa) dan Amerika Serikat (340 juta jiwa).

Besarnya jumlah pemeluk Islam di Indonesia sangat mempengaruhi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk dalam menentukan ideologi bangsa, perundang-undangan dan sistem hukum yang berlaku di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sehingga nilai-nilai Islam akan ikut menyumbang dan menjiwai dalam pembentukan dasar negara, penyusunan peraturan dan produk hukum serta konstitusi lainnya.

Keberhasilan Indonesia sebagai negara demokrasi dengan penduduk Muslim terbesar dunia diwujudkan dengan terciptanya kedamaian dan kerukunan dalam masyarakat yang selama ini terjalin dengan harmonis. Apalagi Indonesia adalah negara dengan keanekaragaman budaya, agama, suku bangsa dan bahasa. Hal ini mendapat perhatian besar dunia, khususnya negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Menurut mantan Ketua DPR, Marzuki Ali seperti dikutip di www.marzukieali.com edisi 10 Agustus tahun 2012, negara Muslim seperti Afganistan datang untuk belajar demokrasi di Indonesia. Mereka ingin mengetahui bagaimana penerapan praktik demokrasi sehingga dapat berjalan ditengah mayoritas umat Islam.

Sebagai negara demokrasi dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki tantangan yang sangat besar dalam mencapai tujuan negara seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Tantangan tersebut tidaklah mudah, ditambah dengan mega diversifikasi (keberagaman) budaya, agama, suku, bahasa serta keyakinan, dengan tingkat kesenjangan sosial ekonomi yang masih tinggi. Tantangan ini harus dikelola dengan baik agar tidak menjadi sumber pemecah belah persatuan bangsa. Kemampuan berdialektika dan berkelindan dibutuhkan dalam pergulatan menuju Indonesia yang lebih maju dan beradab dalam bingkai Indonesia emas tahun 2045.

Islam merupakan komponen terpenting sebagai penopang terbesar dalam perjalanan kehidupan demokrasi Indonesia. Walaupun Indonesia bukan negara yang berdasarkan atas agama (teokrasi), namun agama telah menjadi inspirasi dan terus berkontribusi sebagai perekat sosial dalam segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Timbal baliknya, negara memberikan ruang yang sangat terhormat kepada agama, sehingga agama dapat tumbuh dengan subur. Pemeluk agama dan kepercayaan pun dapat beribadah dengan nyaman. Kehidupan agama yang harmonis menjadikan agama tidak sekadar menjadi perhiasan negara, namun menjelma sebagai sebuah panorama indah di bumi nusantara.

Perjalanan demokrasi di Indonesia dari awal kemerdekaan hingga abad ke-21, mendapat tantangan, terutama dari kelompok Islam. Meski sebenarnya sebagian besar kalangan Muslim Indonesia tidak mempermasalahkan hubungan antara Islam dan demokrasi. Hanya segelintir orang yang menyatakan bahwa syariah Islam tidak sesuai dengan prinsip demokrasi.

Penentangan ini menimbulkan arus pemikiran yang tak pernah surut untuk menemukan solusi paham terbaik bagi bangsa ini. Konsep alternatif bentuk negara selain demokrasi di Indonesia akan terus bergema dan selalu menimbulkan polemik di kalangan masyarakat.  

Akhirnya muncul wacana sebagian kelompok muslimin yang ingin mengganti sistem demokrasi dengan konsep negara berbasis agama. Seperti kemunculan Hizbut Tahrir yang mengusung sistem khilafah dalam tata kelola negara menjadi sebuah contoh kritik bagi pelaksanaan demokrasi di sejumlah negara muslim, termasuk Indonesia.

Pola pemikiran seperti ini akan mempengaruhi proses demokrasi yang sedang berjalan di Indonesia seiring dengan kebebasan berpendapat yang dijamin oleh Undang-Undang. Demokrasi Indonesia sangat kental dengan tingkat pemahaman dan penghayatan masyarakat pada agamanya. Substansi demokrasi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam. Dalam perkembangannya, Indonesia telah berhasil menciptakan sistem ketatanegaraan yang demokratis.

Bahkan, dikutip dari tribunnews.com edisi 5 November tahun 2013, menurut PM Malaysia, Anwar Ibrahim, demokrasi di Indonesia lebih baik daripada pelaksanaan demokrasi di Malaysia. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan Islam dan demokrasi yang harmonis mendapat apresiasi dari pemimpin negeri jiran.  

Tema "Islam dan Demokrasi" ini layak dijadikan subyek penulisan karena akan memberikan pemahaman dan wawasan yang sangat berharga bagi pembaca. Khususnya dalam menyikapi arus pemikiran global yang mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui pemaparan yang menyeluruh dalam tulisan ini, pembaca mendapat perspektif baru tentang keserasian nilai-nilai Islam dan demokrasi sehingga dapat menciptakan kehidupan yang semakin harmonis.

Buku ini ditulis bertujuan untuk memberikan pemahaman dan pemikiran akan keserasian antara nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam dengan prinsip-prinsip sistem demokrasi. Diharapkan setelah membaca buku ini, pembaca mendapat pemahaman yang lebih baik dan pencerahan yang logis sehingga mempunyai referensi yang mumpuni untuk melestarikan hubungan mesra yang telah terjalin antara Islam dan demokrasi. 

Dengan berbagai perspekstif dan argumen dalam buku ini akan memberikan pandangan yang komprehensif kepada pembaca dalam menghadapi tantangan menuju kehidupan masyarakat yang lebih baik. 

Penulisan buku ini mengunakan metode kajian pustaka, yakni dengan mengkaji beberapa referensi seperti buku, jurnal ilmiah, artikel, karya ilmiah dan sumber lainnya. Dari sumber pustaka yang ada kemudian diidentifikasi konsep, teori dan temuan penelitian lainnya untuk dilakukan kajian terhadap sumber yang relevan dengan tema penulisan. Kemudian penulis melakukan analisa dan memberikan perspektifnya. 

Tema buku ini sangat relevan dalam konteks lokal maupun global, dimana muncul isu-isu untuk mengganti sistem demokrasi oleh sebagian kaum Muslim dengan sistem yang lebih "Islami". Namun penggantian sistem yang dilakukan secara inkonstitusional justru berpotensi menimbulkan perpecahan bangsa, mengingat keanekaragaman bangsa yang sangat mudah untuk dibenturkan.

Bagaimana bangsa Indonesia mampu menghadapi tantangan dalam menciptakan harmonisasi antara Islam dan demokrasi ke depan? Masih adakah benturan-benturan pemikiran antara demokrasi dan Islam dan bagaimana cara mengatasinya agar tercipta masyarakat yang kondusif, akan dikupas tuntas dalam buku ini. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun