Pernahkah kita mendengar orang tua marah ketika anaknya berbuat salah?
Mereka bilang "Dasar nakal, dasar bodoh, susah diatur." Seloroh itu tentu pernah kita dengar saat orang tua merasa kesal terhadap kelakuan anaknya.
Namun menurut pakar psikologi bahwa apa yang dipersepsikan (anggap) orang tua itu kelak akan membentuk karakter anak.
Ya, anak akan menjadi benar-benar nakal, susah diatur dan persepsi buruk lainnya.
Ada pula yang mengatakan bahwa ucapan itu adalah doa.
Belum lagi jika kita merujuk kata agama bahwa berkatalah dengan lemah lembut, baik dan santun.
Tentu apa yang diucapkan di atas jauh panggang dari api sebagai orang tua idaman yang bisa mendidik anak-anaknya lewat kata dan perbuatan.
Ibu adalah pendidik pertama dan utama bagi putra-putrinya, sementara ayah adalah pemimpin bagi keluarga.
Jadi kemampuan mendidik dan memimpin sebuah keluarga haruslah didasari ilmu pengetahuan yang mumpuni.
Persepsi buruk orang tua akan selalu diingat sang anak sepanjang hidupnya.
Dalam benak anak berpikir "Aku anak nakal, Aku anak yang susah diatur."
Bagi orang tua yang minim pengetahuan bagaimana cara mendidik buah hati, mereka akan memosisikan anaknya sebagai orang dewasa padahal anak bukanlah miniatur orang dewasa.
Ilmu psikologi perkembangan mengatakan bahwa anak mempunyai fase-fase tertentu dalam kehidupannya.
Dari mulai masa bayi, kanak-kanak, pubertas hingga adolesen. Orang tua harus mampu menyikapi situasi sang anak sesuai dengan fase masanya.
Jika tidak banyak sekali anak yang brutal dan berontak dari proses salah asuh tersebut.
Tentu tidak semua orang tua cakap dalam pengetahuan cara mendidik anak.
Dalam mendidik anak orang tua di Indonesia masih menggunakan kekerasan baik fisik ataupun psikologi.
Berdasarkan data Statistik Ketahanan Nasional Badan Pusat Statistik (BPS) kekerasan orang tua terhadap anak di angka 54,08 persen, data tahun 2012.
Sementara berdasarkan hasil baseline survei dari Wahana Visi Indonesia (WVI) pada tahun 2017 masih ada 89,8 persen orang mendidik anaknya dengan kekerasan.
Dari data-data tersebut memang terlihat miris sekali.
Namun dalam adat ketimuran atau perilaku keseharian seseorang bisa menjadi orang tua yang baik.
Di pedesaan yang secara umum taraf pendidikannya di bawah masyarakat kota, mendapat asupan pendidikan tambahan lewat pengajian-pengajian yang di adakan di masjid-masjid desa.
Pelajaran tambahan itu tak jarang membahas problematika kompleks dalam rumah tangga, seperti bagaimana seorang istri harus taat kepada suami, seorang anak harus taat kepada orang tua dan sebagainya.
Dan bahkan secara detail terkadang seorang penceramah menerangkan tata cara mendidik anak yang baik berdasarkan aturan agama.
Salah satunya adalah bagaimana orang tua memersepsikan anak dengan persepsi positif.
Contoh cerita tentang seorang imam Masjid Al-Haram yang bernama Syaikh Abdurrahman as-Sudais.
Sudais kecil adalah seorang anak periang sama halnya dengan anak-anak sebayanya menggemaskan, nakal dan susah diatur.
Saat itu akan datang ke rumahnya tetamu, dan selayaknya disuguhi makanan serta minuman. Namun para tetamu itu tak kunjung datang.
Tanpa diduga Sudais kecil menaburkan pasir di atas makanan yang telah dihidangkan sang ibu.
Sontak sang ibu marah besar lalu berkata, "Idzhab! Ja'alakallahu imaman lil haramain." (Pergi kamu! Semoga Allah menjadikanmu imam Masjid al-Haram). Kata sang ibu dengan nada marah.
Tatkala Sudais dewasa terbuktilah perkataan sang ibu, kini syaikh Sudais merupakan imam Masjid al-Haram.
Apa pun persepsi kita kepada anak sematkanlah yang baik-baik, sebab persepsi itu akan terus terngiang-ngiang di benak buah hati kita.
Menjadi orang tua idaman tidak harus memiliki kesempurnaan yang paripurna. Namun berusaha selalu memberikan yang terbaik bagi anak-anak merupakan bekal tersendiri bagi mereka.
Sekali lagi anak bukanlah miniatur orang dewasa jadi perlakuan kita pun tak selayaknya memperlakukan mereka seperti kepada orang dewasa.
Akal anak belum mampu merespons luapan emosi kita, yang ada mereka seperti diintimidasi dan dipojokkan.
Dan hal tersebut tentu tidak baik bagi perkembangan kejiwaan anak.
Agama mengajarkan untuk mendidik anak dengan cara lemah lembut, Penuh kasih sayang.
Bukan dengan cara-cara kasar yang penuh dengan sumpah serapah. Cerita sang Malin Kundang yang dikutuk ibunya menjadi batu, karena kedurhakaannya terhadap sang ibu hanyalah mitos belaka.
Tentu ada hikmah dalam cerita tersebut yakni seorang anak terlarang untuk durhaka kepada orang tua.
Namun jika pun ada perlakuan anak yang nakal dan membuat gusar orang tua, hendaklah bijak dalam mendidiknya. Agar segala harapan yang kita inginkan sedari mengandung itu berbuah manis.
Landasan kita dalam mendidik anak, selain menyesuaikan dengan adat istiadat yang baik di lingkungan di mana kita berada, juga sebagai seorang yang beragama hendaknya tak lupa pula dalam mendidik harus menanamkan nilai-nilainya.
Nabi Saw. Bersabda, "Keridhaan Allah tergantung ridha dari orang tua dan kebencian Allah tergantung kebenciannya," HR. Tirmidzi.
Tentu kita tidak mau menjerumuskan buah hati kita dengan menutup pintu maaf bagi mereka.
Maafkanlah dan lapangkanlah hati kita untuk kebahagian sang anak, sampai kita menjadi orang tua idaman bagi mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H