Mohon tunggu...
23
23 Mohon Tunggu... -

dua tiga hidupmu sepi; dimana dapat lepaskan dahaga, dua tiga mencari tepi; boleh-bolehlah disini juga.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mak Petir

30 April 2016   14:57 Diperbarui: 30 April 2016   15:06 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mak Petir | kosulnikova.com

Dua tiga kepala bergulir

siapa gerangan berikutnya

Mencari-cari Mak Petir

kala langit tak lagi bercahaya

Tetiba nyanyian itu berdengung di kepala Kimo, seiring langkahnya yang dipercepat untuk kembali pulang. Hari mulai gelap, dan petir mulai bersahutan, menakuti yang ada di bumi dengan gemuruhnya yang menggelegar. Dia menyesali dirinya yang terlarut, keasikan bermain sejak tadi pagi. Kini sesal menggelayutinya.

Kimo sudah berlari dengan cepat sekarang, dan lalu,

Brukkk!

Tersangkut kakinya oleh batu yang mencuat dari jalanan tanah itu, dan terguling ia beberapa kali karenanya. Dengkul kanannya pun menjadi lecet dan pakaiannya kotor. Lekas ia bangun kembali, perih di kakinya itu tak begitu ia hiraukan. Mak Petir sudah jelas akan lebih menakutkan. Dia bergidik membayangkannya, lalu lekas berlari lagi.

---

Sesosok mahluk menggesekkan aritnya secara perlahan namun dengan penuh penekanan kepada batu asah. Bunyi yang ditimbulkan akan membuat bergidik bagi yang mendengarkannya. Lalu untuk beberapa saat ia tertawa, seakan arit itu telah menceritakan sesuatu yang lucu.

"Ya, ya, ya. Kau akan dipoles dengan darah malam ini," katanya kemudian setelah tawanya mereda.

---

Baru terasa oleh Kimo perih di dengkul kanannya itu, dan diapun mulai letih untuk meneruskan larinya yang sedari tadi itu. Dia lalu menyandarkan tangannya ke sebuah pohon terdekat, dan membungkuk melepas lelah. Yang diingatnya dia tidak masuk terlalu jauh ke dalam hutan. Namun entah mengapa dia belum juga berhasil menyusur keluar dari kumpulan pepohonan ini. Di antara peluhnya yang menetes dan terserap oleh tanah di bawahnya, dan diiringi hawa dingin penanda hujan yang sebentar lagi, dia menyesalkan keputusannya untuk mengabaikan nasihat ibunya yang meminta dirinya untuk tidak bermain seorang diri, apalagi ke dalam hutan.

Kesombongannya lalu muncul dan membenturkan diri. Mana mungkin dia bermain dengan anak-anak sepantarannya itu, jikalau dia selalu lebih gesit dan lebih kuat apabila dibandingkan dengan mereka. Jadi keputusannya untuk bermain sendirian sudah tepat. Mungkin bila nanti, bila dia dapat teman bermain yang lebih seimbang, barulah dia tidak bermain sendiri lagi.

Maka, yang masih tinggal dalam penyesalannya kini adalah bermain ke dalam hutan ini. Yang juga mau tidak mau turut membingungkannya. Dia sudah berkali-kali main sendirian di hutan ini, tanpa pernah sekalipun merasa tersesat seperti ini. Dan gemuruh petir dan hawa dingin ini jelas tak membantunya untuk berpikir tenang.

Tapi dia tau, berdiam berlama-lama di dalam hutan ini, sedang hari sudah mulai gelap seperti ini, bukanlah suatu kombinasi yang baik. Bergegas mengambil napas untuk memulihkan lelahnya, Kimo menegakkan tubuhnya kembali, tepat bersamaan dengan suara sebuah petir yang menyambar.

Kilauan cahayanya menyentak Kimo yang terkesiap. Dan belum hilang keterkejutannya, sebuah suara tawa yang mengundang bulu kuduk berdiri menyambar telinganya.

"Hari sudah gelap, anak kecil, mengapa masih bermain di luar?" lanjut suara yang tadi tertawa itu. Darah Kimo mendesir-desir karenanya. Dia langsung mengambil langkah seribu. Namun baru beranjak berlari, suara itu terdengar lagi, kali ini seakan dari arah depannya.

"Kau pikir semudah itu untuk melarikan diri dariku, hei anak kecil?" berkata lagi suara itu, dengan tak kunjung melepaskan Kimo dari sensasi darahnya yang mendesir itu. Dia pun gugup dan berhenti untuk meneruskan larinya ke arah situ. Kebimbangan melandanya kini, memaku kakinya untuk diam di tempat.

Sebuah petir menyambar lagi.

"Sudah siap mati, anak kecil?" terdengar lagi ia berkata. Kimo hanya bisa menggelengkan kepalanya sekuat tenaga.

"Bukankah sudah terlambat untuk itu?" Lalu sebuah tendangan ke tubuh Kimo membuat tubuhnya terjerembap.

Hujan mulai meneteskan bagian-bagiannya.

Kilatan cahaya sejenak menerangi wajah si pemilik suara itu, dan Kimo sekilas melihatnya, sambil merayap mundur sebisanya. Lalu sebuah kilat menyambar lagi, dan Kimo melihat dengan lebih jelas lagi.

---

"I..I..Ibu?", ujarnya terbata-bata, bercampur antara ketakutan dan ketegangan.

"Apa maksudmu, anak kecil?" tanya suara itu kemudian.

"Ibu, sudah dong, Andi sudah ketakutan nih," ujar Andi memohon.

"Hm, begitu rupanya. Yakin kamu sudah ketakutan?" tanya ibu Andi kepadanya.

"Iya, Bu. Andi janji untuk tidak lagi main di luar sampai hari gelap. Andi akan pulang ketika matahari masih bersinar Bu. Janji," Andi memelas memohon iba ibunya.

"Benar kamu berjanji?" ibunya memastikan untuk terakhir kali, bahwa anaknya yang bandel ini akan mendengar perkataannya.

"Janji, Bu, Andi janji."

"Baik, kalau begitu. Tidurlah sekarang, Nak. Besok kamu mesti sekolah pagi-pagi."

"Iya, Bu."

Ibu Andi lalu beranjak bangun dari kursi di samping tempat tidur Andi, dan melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamar tidur Andi itu. Sebelum ia hendak mematikan lampu, Andi menanyakan kepadanya.

"Ibu, apakah Mak Petir itu benar-benar ada?"

Ibu Andi lalu menyeringai, dan memastikan wajahnya terlihat oleh Andi sebelum ia mematikan lampu. Lalu klik! lampu itu ia matikan. Sambil menutup pintu, ia berkata, diusahakannya seintens mungkin.

"Kamu coba saja, Nak, bermain di luar sampai malam, kalau bertemu sampaikan salam Ibu ya."

Saat pintu sudah tertutup, ibu Andi melangkahkan kakinya menuju basement, tempat dimana arit dan batu asahnya sudah menunggu.

[04-2016]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun