Mohon tunggu...
23
23 Mohon Tunggu... -

dua tiga hidupmu sepi; dimana dapat lepaskan dahaga, dua tiga mencari tepi; boleh-bolehlah disini juga.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Si Penjual Daging

15 April 2016   16:20 Diperbarui: 15 April 2016   16:32 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="RIP daging | Ilustrasi: reaganiterepublicanresistance.blogspot.com"][/caption]"Disini jual daging nasni." Itu tulisan yang terpampang di lapak dagangannya.

"Daging apa itu, Bang, nasni?," tanya seorang pemuda yang tergerak rasa ingin tau.

"Daging hewan, Dek," jawab si penjual singkat dan acuh. Sedikit terganggu dengan respon si penjual daging yang ogah-ogahan dalam melayaninya, namun rasa penasaran terlanjur menghampiri benak si pemuda, sehingga dia memilih untuk bertanya lebih lanjut. Walau tak urung keketusannya timbul karena respon si penjual.

"Ya iyalah Bang, daging hewan, masa daging manusia. Yang saya maksud daging hewan apa, Bang?" ujarnya kemudian.

Si penjual menghentikan kegiatannya memotong daging nasninya itu. Lalu menatap si pemuda dengan pandangan setengah mengamati, sisanya datar. Dia lalu menjawab, "hewan jenis baru yang saya temukan di hutan belakangan ini, susah saya kalau diminta menggambarkan wujudnya."

Tambah penasaran jadinya si pemuda. "Susah bagaimana maksudnya, Bang. Kan tinggal digambarkan saja, seperti kucing, seperti burung, seperti kadal." Si penjual tersenyum mendengarnya.

"Susah, Dek. Karena rupanya sering tak menentu. Kadangkala mulutnya panjang, lain hari saya ketemu yang mulutnya pendek. Kadang lehernya tipis dan panjang, namun bisa juga tebal dan kekar. Dek coba sajalah dulu kalau memang penasaran. Nanti kalau dirasa enak, dan kalau Dek masih ingin tahu, saya ajak Dek berburu nasni."

Menggaruk kepala, si pemuda bimbang untuk sejenak. "Boleh, Bang, saya coba?"

Si penjual merespon pertanyaan itu dengan mengiris daging nasni itu kira-kira seperempat kilogram, dan lalu membungkusnya dengan kantong plastik hitam. "Iya Dek, boleh, ini saya kasih gratis untuk dicoba dulu, nanti kalau Dek suka besok-besok baru beli."

Pemuda itu merasa bimbang, tapi tangannya tetap terulur menyambut pemberian si penjual daging. "Terimakasih ya Bang, kalau begitu," ucapnya kemudian, lalu tak lama beranjak pergi dari situ.

---

"Wah, betul Bang, daging nasninya enak. Saya beli satu kilo ya," kata si pemuda kepada si penjual daging, setelah mencoba daging nasni itu beberapa hari yang lalu, yang dia tumis bumbu kecap. Penjual daging tersenyum mendengarnya.

"Betul kan kata saya," yang dijawab dengan anggukan kepala si pemuda. Penjual daging itu lalu memotongkan daging nasni itu sesuai permintaan si pemuda. "Akan lebih enak kalau dimakan setengah matang," lanjutnya kemudian sambil menyerahkan sekilo daging nasni itu kepada si pemuda.

"Berapa harganya, Bang?" tanya si pemuda sambil menyambut daging nasni itu. "Empatpuluh ribu," jawab si penjual yang ditanggapi si pemuda dengan merogoh sakunya.

"Wah, sudah enak, tidak begitu mahal pula," kata si pemuda sambil menyerahkan selembar limapuluh ribuan.

"Syukur kalau Dek suka rasanya," kata si penjual sambil menerima uang si pemuda lalu memberikan kembaliannya. Senyum mengembang di wajahnya.

---

Rasa penasaran si pemuda memuncak. Setelah beberapa kali menikmati daging nasni itu dengan memasaknya dalam berbagai menu kesukaannya, yang hebatnya daging itu tetap terasa enak di mulutnya walau dimasak dengan berbagai cara yang bervariasi. Dan benar pula kata si penjual mengenai dimasak setengah matang akan lebih enak lagi. Tak ayal kesemuanya mengerucut ke rasa penasarannya. Dia harus melihat wujud nasni ini.

"Bang, waktu itu Abang bilang saya boleh ikut Abang berburu nasni, apa masih berlaku, Bang?" si pemuda langsung bertanya tanpa basa-basi lagi.

"Oh tentu Dek, karena Dek menyukai daging nasni maka sudah kewajiban bagi saya untuk memperlihatkan kepada Dek seperti apa nasni itu. Saya bahkan sudah menunggu-nunggu Dek untuk berkata demikian."

"Wah, asyik kalau begitu. Kapan Bang mau mengajak saya?" tanya pemuda itu lagi.

"Besok bisa?" si penjual daging balas bertanya, dan langsung diiyakan oleh pemuda.

"Dek terbiasa bangun pagi?" tanyanya lagi, yang sejenak didiamkan oleh si pemuda, yang rupanya tak terbiasa. Namun dia bisa mengusahakannya demi memuaskan rasa penasarannya itu. Si pemuda lalu menganggukkan kepala lagi.

"Baik, kalau begitu besok, di waktu subuh, jam tiga begitu, Dek temui saya di hulu sungai, nanti saya ajak berburu nasni."

"Siap, Bang," balas si pemuda dengan hati senang karena rasa penasarannya akan tuntas besok.

---

Si pemuda tergesa karena dia telat tigapuluh menit dari waktu yang dijanjikan. Sebagian dirinya merasa kecewa apabila ternyata sudah ditinggalkan oleh si penjual daging, dan sebagian lagi menyesali kesia-siaannya untuk bangun sepagi ini apabila memang itu yang terjadi.

Sampai di jalan setapak di hulu sungai, benarlah yang dikhawatirkannya. Tak tampak si penjual daging. Rasa kecewapun menimpa dirinya, dan disepaknya tanah yang diinjaknya untuk menegaskannya. Butiran kerikil berserakan karenanya. Si pemuda lalu merasakan sesuatu, pandangannya pun dia arahkan ke bawah dan dia melihat tanda peninggalan seseorang, yang dia yakini si penjual daging. Tanda berupa susunan bebatuan kerikil yang membentuk anak panah yang menunjuk ke arah hutan.

Diikutinya arah yang ditunjukkan tanda tersebut, lalu kemudian berusaha mencari-cari lagi tanda-tanda berikutnya yang mungkin ditinggalkan oleh si penjual daging. Benarlah demikian adanya, dan si pemuda semakin dalam memasuki hutan dengan mengandalkan petunjuk dari si penjual daging itu. Rasa penasarannya semakin bertambah seiring langkah-langkah kakinya.

Setelah mengikuti berbagai tanda yang ditinggalkan si penjual daging, mata si pemuda terpaku pada pondok yang ditunjuk oleh goresan tanda panah di pohon yang sedang ia pegangi sekarang. Sebuah pondok kayu biasa tanpa jendela, mungkin berukuran lima kali lima meter. Si pemuda menghela napas lega. Pastilah si penjual daging ada di dalam pondok itu, pikirnya. Dia lalu bergegas menghampiri pondok itu dan membuka pintunya.

Sedikit terkaget melihat belulang yang tergantung di dinding pondok yang menyambutnya ketika ia membuka pintu, si pemuda melanjutkan masuk ke dalam pondok itu. "Bang," ujarnya memanggil si penjual daging. Namun tanpa balasan. Pandangan matanya dia alihkan dari jejeran tulang yang dia kira tulang nasni itu, yang tergantung di dinding, untuk melihat ke dinding lainnya dari pondok itu.

Tubuh seorang manusia utuh namun tanpa kepala dan tanpa kulit, tergantung pada pengait daging. Darah masih menetes dari ujung kakinya. Si pemuda langsung terkesiap menyaksikan hal tersebut. Berbagai menu daging nasni yang telah ia coba pun melintas di benaknya. Bahwa betapa dia merasakan daging nasni itu enak, dan lebih enak lagi kalau dimasak setengah matang, tak ayal membuatnya pusing dan langsung muntah, seakan berusaha mengeluarkan semua daging nasni yang telah ia santap.

Tak butuh lama untuknya tersadar, bahwa dia harus secepatnya meninggalkan pondok si penjual daging yang gila itu. Dia langsung berlari menuju pintu. Namun satu langkah sekeluarnya ia dari pondok itu, sebuah pukulan dari balok kayu menghentikannya. Pukulan yang keras menghantam kepalanya menyebabkan ia terjengkang ke lantai pondok kayu itu. Si pemuda langsung bergerak refleks melindungi kepalanya dengan tangannya. Pandangannya yang buram karena efek pukulan itu dia arahkan ke pintu depan, dimana sebuah bayangan manusia menutupi sebagian pintu tersebut.

"Bukankah Dek menyukai daging nasni? Kenapa sekarang mau lari?" tanya bayangan itu.

"Tolong, tolong Bang, jangan bunuh saya," berkata si pemuda terbata, sambil menyeret badannya menjauhi bayangan manusia yang kian mendekat itu.

Si penjual daging tertawa mendengar perkataan si pemuda. "Jangan egois begitu Dek," katanya kemudian. "Dek sudah menikmati, dan Dek sudah merasakan betapa enaknya. Bukankah akan lebih baik kalo Dek sekarang berbagi kenikmatan itu?"

"Tolong jangan Bang, jangan," tangis ketakutan si pemudapun pecah, sebisanya dia bangkitkan dirinya. Namun belum seutuhnya bangkit, sebuah pukulan dari balok kayu si penjual daging menghantamnya kembali, melemparkannya ke cermin yang tergantung di dinding, sehingga cermin itu pun jatuh ke lantai dan pecah. Sebuah pukulan lagi dari si penjual kayu menyusul, menyebabkan si pemuda tersungkur ke tempat pecahan cermin itu.

Di antara sadar dan tidak sadar, karena jelas sudah tidak banyak lagi yang bisa dia lakukan sekarang, mata si pemuda beralih ke salah satu kepingan pecahan cermin itu, yang masih menyandar pada dinding pondok dan memantulkan tulisan yang ada di dinding seberang. INSAN. Kesadarannya sudah tinggal seujung kuku dan lalu sebuah pukulan lagi menuntaskannya.

Brakk!!

[04-2016]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun