"Dek terbiasa bangun pagi?" tanyanya lagi, yang sejenak didiamkan oleh si pemuda, yang rupanya tak terbiasa. Namun dia bisa mengusahakannya demi memuaskan rasa penasarannya itu. Si pemuda lalu menganggukkan kepala lagi.
"Baik, kalau begitu besok, di waktu subuh, jam tiga begitu, Dek temui saya di hulu sungai, nanti saya ajak berburu nasni."
"Siap, Bang," balas si pemuda dengan hati senang karena rasa penasarannya akan tuntas besok.
---
Si pemuda tergesa karena dia telat tigapuluh menit dari waktu yang dijanjikan. Sebagian dirinya merasa kecewa apabila ternyata sudah ditinggalkan oleh si penjual daging, dan sebagian lagi menyesali kesia-siaannya untuk bangun sepagi ini apabila memang itu yang terjadi.
Sampai di jalan setapak di hulu sungai, benarlah yang dikhawatirkannya. Tak tampak si penjual daging. Rasa kecewapun menimpa dirinya, dan disepaknya tanah yang diinjaknya untuk menegaskannya. Butiran kerikil berserakan karenanya. Si pemuda lalu merasakan sesuatu, pandangannya pun dia arahkan ke bawah dan dia melihat tanda peninggalan seseorang, yang dia yakini si penjual daging. Tanda berupa susunan bebatuan kerikil yang membentuk anak panah yang menunjuk ke arah hutan.
Diikutinya arah yang ditunjukkan tanda tersebut, lalu kemudian berusaha mencari-cari lagi tanda-tanda berikutnya yang mungkin ditinggalkan oleh si penjual daging. Benarlah demikian adanya, dan si pemuda semakin dalam memasuki hutan dengan mengandalkan petunjuk dari si penjual daging itu. Rasa penasarannya semakin bertambah seiring langkah-langkah kakinya.
Setelah mengikuti berbagai tanda yang ditinggalkan si penjual daging, mata si pemuda terpaku pada pondok yang ditunjuk oleh goresan tanda panah di pohon yang sedang ia pegangi sekarang. Sebuah pondok kayu biasa tanpa jendela, mungkin berukuran lima kali lima meter. Si pemuda menghela napas lega. Pastilah si penjual daging ada di dalam pondok itu, pikirnya. Dia lalu bergegas menghampiri pondok itu dan membuka pintunya.
Sedikit terkaget melihat belulang yang tergantung di dinding pondok yang menyambutnya ketika ia membuka pintu, si pemuda melanjutkan masuk ke dalam pondok itu. "Bang," ujarnya memanggil si penjual daging. Namun tanpa balasan. Pandangan matanya dia alihkan dari jejeran tulang yang dia kira tulang nasni itu, yang tergantung di dinding, untuk melihat ke dinding lainnya dari pondok itu.
Tubuh seorang manusia utuh namun tanpa kepala dan tanpa kulit, tergantung pada pengait daging. Darah masih menetes dari ujung kakinya. Si pemuda langsung terkesiap menyaksikan hal tersebut. Berbagai menu daging nasni yang telah ia coba pun melintas di benaknya. Bahwa betapa dia merasakan daging nasni itu enak, dan lebih enak lagi kalau dimasak setengah matang, tak ayal membuatnya pusing dan langsung muntah, seakan berusaha mengeluarkan semua daging nasni yang telah ia santap.
Tak butuh lama untuknya tersadar, bahwa dia harus secepatnya meninggalkan pondok si penjual daging yang gila itu. Dia langsung berlari menuju pintu. Namun satu langkah sekeluarnya ia dari pondok itu, sebuah pukulan dari balok kayu menghentikannya. Pukulan yang keras menghantam kepalanya menyebabkan ia terjengkang ke lantai pondok kayu itu. Si pemuda langsung bergerak refleks melindungi kepalanya dengan tangannya. Pandangannya yang buram karena efek pukulan itu dia arahkan ke pintu depan, dimana sebuah bayangan manusia menutupi sebagian pintu tersebut.